Saksikan Sifat Tuhan, Hilangkan Sifat Tercela

لَا يُخْرِجُكَ عَنِ الْوَصْفِ اِلَّا شُهُوْدُ الْوَصْفِ

Engkau tidak bisa keluar dari sifat tercelamu kecuali dengan menyaksikan sifat agung Tuhanmu.

 

SESEORANG tidak akan keluar dan terlepas dari sifat-sifat tercela dirinya kecuali dengan menyaksikan sifat-sifat mulia Tuhannya. Hamba itu tidak akan keluar dari kehinaan dirinya kecuali dengan meyaksikan kamuliaan Tuhannya. Seseorang tidak akan keluar dari sifat-sifatnya yang baru kecuali dengan melihat sifat-sifat Allah yang qadim.

Misalnya, seseorang yang ingin menghilangkan kesombongan dirinya maka dia harus melihat kesombongan atau kebesaran Allah. Kalau dia melihat kebesaran Allah maka sirnalah kesombongannya. Seseorang yang menyaksikan betapa Maha Kaya-nya Allah maka dia tidak akan merasa punya kekayaan. Bahkan ia akan merasa sebagai orang yang paling fakir di dunia ini. Orang yang melihat qudrot (kekuasaan) Allah maka dia akan merasa tidak punya kekuasaan dan daya apapun. Ia akan merasa sebagai orang yang paling lemah. Orang yang menyaksikan ilmu Allah maka ia akan merasa tidak punya ilmu sama sekali. Ia menganggap dirinya orang yang paling bodoh. Disebutkan bahwa seekor musang tidak akan menyadari kelemahan dirinya kecuali kalau dia melihat keperkasaan seekor singa.

Tentu saja orang yang menyaksikan sifat-sifat kebesaran Allah itu akan terus bergantung kepada-Nya bukan pada dirinya, karena orang yang menyaksikan sifat-sifat Tuhannya maka pasti ia akan sirna dari dirinya.

Menyaksikan keagungan sifat-sifat Allah subhanhu wa ta’ala merupakan satu-satunya jalan untuk menggapai Tawadhu’ Hakiki yang disebut dengan Dhi’ah atau Adz-Dzull Al-Mutlaq di hadapan Allah. Orang itu tidak pernah merasa punya kedudukan apapun sehingga perlu direndahkan. Ia memang rendah, bukan merendahkan diri.

Syekh Abu Abdillah Al-Qurasyi berkata, “Siapa yang masih mendapatkan rasa kehinaan dirinya dalam kehinaannya maka berarti ia masih merasa mulia. Itu masih tersisa.”

Imam Junaid berkata:

التَّوَاضُعُ عِنْدَ اَهْلِ التَّوْحِيْدِ تَكَبُّرٌ

“Tawadhu’ menurut ahli tauhid adalah takabbur.”

Imam Ghazali mengomentari maksud perkataan Imam Junaid. Al-Ghazali berkata, “Mungkin maksud Imam Junaid ialah orang yang tawadhu’ (merendahkan diri) masih menetapkan bagi dirinya merasa tinggi. Sedangkan seorang muwahhid (murni tauhidnya) tidak menetapkan pada dirinya apapun dan tidak menganggap dirinya sehingga perlu direndahkan atau ditinggikan dengan tawadhu” (merasa rendah diri).”

Dikutip dari Buku al Hikam Mutiara Hikmah Kehidupan asuhan Habib Ahmad bin Husen Assegaf.

Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya

Dua Macam Berpikir, Karena Iman ...
الْفِكْرَةُ فِكْرَتَانِ فِكْرَةُ تَصْدِيْقٍ وَإِيْمَانٍ وَفِكْ...
Berpikir Adalah Pelita Hati
الْفِكْرَةُ سِرَاجُ الْقَلْبِ فَإِذَا ذَهَبَتْ فَلَا إِضَاءَةَ...
Pikirkan Makhluk-Nya
الْفِكْرَةُ سَيْرُ الْقَلْبِ فِى مَيَادِيْنِ الْأَغْيَارِ Berp...
Sangat terhina, waktu kosong tap...
الْخِذْلَانُ كُلَّ الْخِذْلَانِ اَنْ تَتَفَرَّغَ مِنَ الشَّوَا...
Orang Yang Diberkati Umurnya
مَنْ بُوْرِكَ لَهُ فِى عُمْرِهِ اَدْرَكَ فِى يَسِيْرٍ مِنَ الز...
Ada kalanya, Umur Panjang Tapi K...
رُبَّ عُمْرٍ اِتَّسَعَتْ امَادُهُ وَقَلَّتْ اَمْدَادُهُ وَرُبّ...

Anggota DINULQOYIM