Zakat

HUKUM, JENIS DAN PENDISTRIBUSIAN ZAKAT

1. Definisi dan Pensyariatan Zakat

Zakat menurut bahasa berarti “berkembang”, “berkah”, “bertambahnya kebaikan”, dan terkadang diartikan “menyucikan”, seperti firman Allah SWT, “Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu),” (QS. asy-Syams [91 ]: 9). Yakni orang yang membersihkan dirinya dari segala kotoran. Juga dapat diartikan “pujian”, seperti firman Allah SWT, “Maka janganlah kalian menganggap diri kalian suci,” (QS. an-Najm [53]: 32). Yakni jangan memuji diri kalian.

                Menurut syara’ zakat adalah sebutan untuk sesuatu yang dikeluarkan dari kekayaan atau badan dengan cara tertentu; atau ungkapan untuk kadar tertentu yang diambil dari kekayaan tertentu, yang wajib diberikan kepada golongan tertentu. Dinamakan zakat karena berkat dikeluarkannya zakat dan doa penerimanya, harta menjadi berkembang. Selain itu, karena zakat dapat membersihkan harta, melebur dosa, dan memuji pelaku zakat sebagai saksi keabsahan iman.

                Zakat diwajibkan pada tahun 2 H setelah pensyariatan zakat fitrah. Dasar pensyariatannya yaitu al-Qur’an, sunah, dan Ijma’. Allah SWT berfirman, “Tunaikanlah zakat..,” (QS. al-Baqarah [2]: 43)dan firman-Nya, “Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka…,” (QS. at-Taubah [9]: 103).

                Dalam sunah Nabi banyak disampaikan hadits tentang zakat, di antaranya ”Islam dibangun atas lima dasar, antara lain menunaikan zakat,” (HR. Syaikhani dari Ibnu Umar). Para ulama kemudian sepakat mewajibkan zakat. Hadits tersebut menunjukkan bahwa zakat merupakan salah satu rukun Islam, seperti shalat. Orang yang mengingkari zakat dinyatakan kafir meskipun dia menunaikannya. Orang yang menolak untuk mengeluarkan zakat harus diperangi dan dirampas hartanya secara paksa, seperti yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar Shiddiq Ra.

                Ketentuan tersebut berlaku dalam masalah zakat fardhu yang telah disepakati ulama. Adapun zakat yang masih diperdebatkan kefardhuannya seperti zakat barang dagangan, barang tambang, buah-buahan, dan padi yang ditanam pada tanah rampasan (al-ardh al-kharajiyah) dan zakat harta orang yang belum mukallaf, maka orang yang mengingkari semua itu tidak kafir.

2. Orang yang Wajib Menunaikan Zakat dan Syarat Wajib Zakat

Zakat diwajibkan kepada setiap muslim yang merdeka meskipun belum mukallaf dan memiliki harta mencapai nisab dalam masa satu tahun. Karena itu orang yang belum merdeka (hamba sahaya) dan non muslim tidak wajib zakat. Sedangkan orang murtad yang kembali masuk Islam wajib mengeluarkan zakat yang telah lewat. Apabila dia meninggal dalam keadaan murtad maka tidak wajib menunaikan zakat.

                Zakat juga diwajibkan bagi anak-anak dan orang gila, karena hadits shahih menyatakan, zakat wajib hukumnya bagi kaum muslimin. Maksud-nya, zakat diambil dari harta mereka, dan wali wajib mengeluarkannya.

                Orang yang baru masuk Islam tidak wajib mengeluarkan zakat, pada masa kekafirannya. Namun, apabila dia meninggal dalam kondisi kafir, dia mendapat tuntutan dan siksaan di akhirat sebagaimana halnya jika meninggalkan kewajiban lainnya.

Apabila anak-anak dan orang gila telah mukallaf, dia wajib mengeluarkan zakat yang diabaikan walinya pada masa lalu. Jika hartanya dighashab, dicuri, hilang, jatuh ke laut, atau mempunyai piutang yang ditangguhkan dan sulit ditagih, dia wajib mengeluarkan zakat yang telah lewat masanya, bila mampu.

Jika seorang anak dan semisalnya menyewakan rumah miliknya selama dua tahun seharga 40 dinar yang telah diterimanya dan menjadi miliknya sampai akhir masa sewa, maka begitu memasuki haul pertama, dia hanya wajib menzakati harta yang 20 dinar. Kemudian ketika memasuki haul kedua, dia wajib menzakati sisa harta yang 20 dinar yang telah dizakati pada tahun sebelumnya dan menzakati harta 20 dinar yang belum dizakati.

Apabila seorang anak memiliki barang yang telah mencapai nisab zakat dan mempunyai utang dalam jumlah yang sama, dia wajib mengeluarkan zakat harta yang dimilikinya, karena utang tidak menghalangi kewajiban atas harta yang dimilikinya.

Zakat wajib segera dikeluarkan dari harta yang tidak ada di tempat (ghaib) apabila mampu, karena ia seperti harta yang jelas ada. Jika kita tidak mampu, hukumnya seperti harta yang dighashab. Menurut pendapat  yang  azhar, harta yang dighashab, harta yang hilang, atau harta sengketa baik berupa barang maupun piutang, wajib dizakati. Namun, tidak wajib menyerahkan zakatnya sebelum harta tersebut kembali.

• Harta Utang Piutang

Uang atau harta utang piutang tidak membatalkan kewajiban zakat.

Utang tidak membatalkan kewajiban zakat sesuai ketentuan berikut.

1) Utang tersebut berupa ternak, bukan untuk diperdagangkan. Misalnya seseorang meminjamkan 40 ekor kambing atau menyerahkan ternak kepada pemesan, dan belum menerima kembali setelah lewat satu tahun, atau utang yang tidak lazim seperti harta mukatabah. Harta tersebut tidak dikenai zakat. Ilat kewajiban zakat pada hewan ternak adalah adanya pertumbuhan, sedangkan pada harta yang ada dalam tanggungan orang lain tidak memuat ilat tersebut. Berbeda dengan harta tunai, di sini ditemukan ilat yakni sifat tunai tersebut. Selain itu penggembalaan menjadi syarat dalam kewajiban zakat hewan ternak. Ternak yang ada pada tanggungan orang lain tidak digembalakan. Mengenai tidak wajib dizakatinya utang akad kitabah, sebab seorang hamba sahaya boleh membatalkannya kapan saja.

2) Dalam qaul jadid disebutkan, jika utang telah jatuh tempo, namun sulit menagihnya karena pailit dan lain sebagainya, seperti mengulur waktu pembayaran, tidak adanya harta dalam waktu lama, atau mengingkari utang, hukumnya seperti harta yang dighashab. la wajib dizakati namun tidak harus mengeluarkannya sebelum harta kembali.

Jika penagihan utang yang jatuh tempo dari peminjam berlangsung mudah, misalnya tersedianya harta secara tunai, seketika itu juga zakatnya wajib dikeluarkan karena harta sudah dapat diterima, sama seperti harta yang dititipkan kepada orang lain.

3) Apabila utang tersebut ditangguhkan sampai waktu yang akan datang, menurut al-madzhab, hukumnya seperti harta yang dighashab.

Adapun piutang pemberi pinjaman meminjamkan uang atau barang kepada orang lain -menurut pendapat yang azhar tidak membatalkan kewajiban zakat, baik piutang tersebut tunai atau ditangguhkan, dan harta sejenis atau bukan, baik menjadi hak Allah SWT seperti zakat, kafarat, nadzar atau bukan. Sebab, kewajiban zakat bersifat mutlak, dan pemberi pinjaman tersebut dikenai batasan nisab serta transaksinya tidak dicekal. Kesimpulannya, kewajiban zakat dikenakan pada orang yang memiliki harta, baik statusnya sebagai peminjam ataupun pemberi pinjaman.

Andaikan harta peninggalan seseorang terkena kewajiban zakat sekaligus tagihan utang, maka zakat lebih dahulu ditunaikan -meski berupa zakat fitrah- daripada melunasi utang, demi mengutamakan utang kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim, “Utang kepada Allah lebih berhak dilunasi”.

Ghanimah  yang  dijadikan hak milik  pribadi yang  telah  melewati  masa setahun, termasuk jenis harta yang harus dizakati, dan bagian masing-masing menghitung bagian seperlima sebagai harta milik bersama, wajib ditunaikan zakatnya.

jika seorang suami memberikan maskawin berupa ternak tertentu yang mencapai nisab kepada  istrinya, si suami wajib mengeluarkan zakat apabila ternak tersebut telah mencapai haul pasca penyerahan.

Andaikan seseorang menyewakan rumah selama empat tahun senilai 80 dinar dan uangnya sudah diterima, menurut pendapat  yang azhar, dia hanya wajib mengeluarkan zakat harta yang telah menjadi miliknya. Jika satu tahun pertama telah sempurna, dia hanya wajib menunaikan zakat harta yang 20 dinar. Zakat harta tersebut sebesar setengah dinar.

Jika tahun kedua telah sempurna, orang tersebut  membayar zakat harta  yang 20 dinar yang telah dizakati pada tahun pertama dan menzakati. Begitu telah genap tiga tahun,dia wajib mengeluarkan zakat harta yang 40 dinar untuk satu tahun dan menzakati harta yang 20 dinar untuk tiga tahun. Selanjutnya, setelah genap empat tahun dia menzakati harta yang 60 dinar untuk satu tahun dan menzakati harta yang 20 dinar untuk tahun keempat, karena dia menyegerakan pembayaran zakat sebelum masuknya setiap haul. Jadi, haulnya belum sempurna.

B. Macam-Macam Zakat

Ada lima jenis harta yang wajib dizakati.

1. Hewan ternak:  unta, sapi, dan kambing.

2. Hasil pertanian dan buah-buahan:  makanan pokok. Zakat yang wajib dikeluarkan adalah sepersepuluh atau seperlima hasil pertanian.

3. Mata uang :  emas dan perak, meskipun belum dicetak, termasuk bijih emas, begitu juga uang logam dan uang kertas.

4. Zakat niaga  (perdagangan).

5. Zakat fitrah.

Lima jenis harta benda ini secara rinci terdiri dari delapan macam yaitu emas, perak, unta, sapi, kambing ternak, hasil pertanian, kurma, dan anggur. Karena itu, delapan macam harta ini diperuntukkan bagi delapan golongan mustahiq.

Zakat yang dikeluarkan wajib dari jenis benda yang dizakati. Tetapi seandainya ia dari jenis benda yang berbeda, ini diperbolehkan.

Dengan berlalunya haul, seorang muzakki harus menyalurkan sebagian hartanya kepada orang-orang faqir sesuai bagiannya. Bahkan, meskipun dia hanya mempunyai 200 dirham saja, dan belum menzakatinya selama beberapa haul. Maka dia wajib mengeluarkan zakat untuk tahun pertama saja, sebab harta miliknya telah berkurang sebesar harta yang disalurkan kepada kaum faqir.

Seandainya seluruh harta muzakki rusak setelah haulnya telah sampai, tetapi sebelum memungkinkannya untuk menyalurkan maka kewajiban zakatnya gugur. Sebab, kerusakan tersebut bukan ditimbulkan oleh tindakan gegabah.

1. Zakat Hewan Ternak

Zakat hanya diwajibkan bagi setiap muslim yang merdeka, tidak termasuk janin. Islam mewajibkan zakat hewan ternak berdasarkan nash dan ijma’ ulama. Dalil nashnya adalah hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dari Anas bin Malik bahwa Abu Bakar mengirim pesan kepada Anas ketika dia hendak berangkat ke Bahrain untuk urusan zakat. Berikut isi pesan tersebut. “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Inilah sedekah yang difardhukan oleh Rasulullah SAW kepada kaum muslimin dan diperintahkan Allah kepada rasul-Nya. Siapa yang meminta sedekah dari kalangan muslimin sesuai ketentuannya maka berikanlah. Siapa yang meminta zakat melebihi ketentuan, janganlah diberi. Orang yang memiliki 24 unta ke bawah, zakatnya kambing: untuk setiap kelipatan lima ekor unta zakatnya seekor kambing. Jika dia mempunyai 25-35 unta, zakatnya seekor bintu makhadh (anak unta betina). Jika tidak ada, zakatnya seekor ibnu labun (anak unta jantan berumur dua tahun). Unta 36-45 ekor, zakatnya seekor bintu labun (unta betina umur dua tahun). Apabila mencapai 46-60 unta, zakatnya seekor hiqqah (unta berumur tiga tahun) yang mendekati unta dewasa. Jumlah unta 61-75 ekor, zakatnya seekor jadza’ah (unta yang telah dipisah dari induknya). Setiap 76-90 ekor unta, zakatnya 2 ekor bintu labun. Jumlah unta 91-120 ekor, zakatnya 2 unta hiqqah. Jika memiliki lebih dari 120 unta maka untuk setiap kelipatan 40 ekor, zakatnya seekor bintu labun, atau setiap 50 ekor zakatnya seekor hiqqah.”

• Syarat Zakat Hewan Ternak

Pertama, jenis hewan yang telah ditetapkan oleh syara’, yaitu hewan ternak berupa unta, sapi, dan kambing. Kuda, budak, dan peranakan kambing dengan rusa tidak dikenai zakat.

Kedua, mencapai nisab. Nisab adalah batas minimal jumlah harta yang dikenai kewajiban zakat secara syara’.

• Nisab Unta

Nisab unta adalah 5 ekor. Setiap kelipatan 5 ekor unta, zakat yang dikeluarkan adalah seekor domba berumur satu tahun, atau kambing kacang yang sudah tumbuh gigi seri, atau kambing yang sudah tumbuh gigi seri berumur dua tahun. Ketentuan ini berlaku hingga nisabnya mencapai 20 ekor unta.

Lebih jelasnya, setiap 5 unta zakatnya seekor kambing; setiap 10 unta zakatnya 2 kambing; setiap 15 unta zakatnya 3 kambing; dan setiap 20 unta zakatnya 4 kambing. Selanjutnya, setiap 25 unta zakatnya seekor bintu makhadh atau ibnu labun.

Setiap 36 unta zakatnya seekor bintu labun. Dinamakan bintu labun karena induk unta tersebut baru melahirkan anak kedua sehingga air susunya melimpah.

Setiap 46 unta zakatnya seekor unta hiqqah. Dinamakan hiqqah karena sudah siap dijadikan sarana transportasi atau siap dikawinkan dengan pejantan.

Setiap 61 unta zakatnya jadza’ah. Dinamakan jadza’ah karena gigi depannya telah tanggal.

Setiap 76 unta zakatnya 2 bintu labun ;  dan setiap 91 unta zakatnya 2 hiqqah. Setiap 121 ekor unta zakatnya 3 bintu labun, dan setiap 130 unta zakatnya seekor hiqqah dan 2 bintu labun, setanjutnya setiap 40 unta zakatnya seekor bintu labun, dan setiap 50 unta zakatnya seekor hiqqah.

BESARAN  ZAKAT  UNTA

Jumlah Unta       Zakat yang Wajib Dikeluarkan

5-9                           l  ekor kambing

10-14                     2 ekor kambing

15-19                      3 ekor kambing

20-24                     4 ekor kambing

25-35                       1 ekor unta bintu makhadh (unta betina yang berumur setahun dan masuk tahun kedua)

36-45                       1 ekor bintu labun (unta betina yang berumur dua tahun dan masuk tahun ketiga)

46-60                      1 ekor hiqqah (unta betina yang berumur tiga tahun dan masuk tahun keempat)

61 -75                     1 ekor jadza’ah (unta betina yang berumur empat tahun dan masuk tahun kelima)

76-90                      2 ekor bintu labun

90-120                   2 ekor hiqqah

>120                       1 bintu labun setiap kelipatan 40 ekor, atau 1 ekor hiqqah setiap kelipatan 50 ekor.

Jika muzakki tidak menemukan hewan ternak yang mencukupi untuk zakat, dia beralih pada hewan yang lebih tinggi dan menyerahkan 2  ekor kambing yang memenuhi syarat kurban, misalnya domba umur setahun atau kambing umur dua tahun.

Muzakki juga boleh beralih pada hewan yang lebih muda dan menyerahkan dua ekor kambing yang memenuhi syarat kurban, atau uang 20 dirham, atau beralih pada hewan yang lebih muda dari itu. Dan dia diperkenankan  menentukan  pilihan untuk memberikan dua ekor kambing  atau uang 20 dirham. Yaitu, memilih domba umur setahun atau kambing  yang sudah tumbuh gigi depannya umur dua tahun, tidak harus kambing 1 yang dominan di daerahnya. Kambing jantan juga mencukupi.

                Menurut pendapat yang ashah, dalam kasus di atas, selain menyerahkan hewan yang lebih tua atau lebih muda, muzakki  juga  boleh menyerahkan kambing yang sudah  tumbuh  gigi seri sebagai pengganti jadza’ah. Mengeluarkan seekor kambing dan 10 dirham tidak dianggap cukup, sedangkan dua ekor kambing dan 20 dirham cukup untuk dua pengganti.

Jika kurang dari 25 unta maka zakat yang dikeluarkan cukup seekor unta yang telah tumbuh gigi taringnya. Unta bintu makhadh yang cacat dianggap tidak ada.

Muzakki yang hanya memiliki unta kurus tidak boleh dipaksa untuk mengeluarkan unta yang baik. Rasulullah SWT bersabda kepada Mu’adz, “Waspadalah kamu dan pada harta mereka yang baik,” (HR. al-Bukhari dan Muslim).  Jika semua unta  yang  dimiliki  muzakki berkualitas baik, dia harus mengeluarkan unta yang baik pula. Menurut pendapat yang ashah, tidak cukup mengeluarkan ibnu labun sebagai pengganti bintu makhadh yang baik, bila muzakki memiliki bintu makhadh.

Muzakki  boleh menyerahkan unta jantan umur tiga tahun (al-hiqq) sebagai pengganti bintu makhadh, jika tidak memilikinya. Karena unta hiqqah  lebih baik daripada bintu labun. Unta hiqqah tidak bisa menggantikan bintu labun,  ketika muzakki  tidak memilikinya. Jika hal tersebut  terjadi, menurut pendapat yang ashah, itu tidak dianggap cukup

                Jika muzakki dikenai dua kewajiban yang sama, misalnya memiliki dua ratus unta, zakat yang harus dikeluarkan boleh memilih antara empat unta hiqqah atau lima unta bintu labun. Sebab, dua ratus sama dengan lima puluh dikali empat, atau empat puluh dikali lima. Hal tersebut sejalan dengan hadits Abu Dawud dan periwayat lainnya yang bersumber dari surat Rasulullah SAW “Jika jumlah unta mencapai dua ratus ekor maka zakat yang harus dikeluarkan adalah empat unta hiqqah atau lima unta bintu labun” Maksudnya, unta umur berapa pun yang ada, itu yang dikeluarkan.

Apabila pada harta muzakki ditemukan dua macam barang yang mencukupi sebagai zakat, dipilih jenis yang paling bermanfaat bagi muzakki, sesuai firman  Allah SWT, “Janganlah kalian memilih yang buruk untuk kalian keluarkan,” (QS. al-Baqarah [2]: 267).

• Nisab  Sapi

                Nisab sapi adalah 30 ekor; Setiap 30 ekor  sapi  zakatnya seekor  anak  sapi  umur setahun (tabi’ah), baik jantan atau betina. Setiap 40 sapi zakatnya seekor anak sapi yang sudah tumbuh gigi (musinnah) umur dua tahun. Setiap 60 sapi zakatnya 2 ekor anak sapi. Selanjutnya setiap kelipatan 30 sapi zakatnya seekor anak sapi; kelipatan 40 ekor sapi zakat¬nya seekor musinnah. Jumlah sapi di bawah 30 ekor tidak diwajibkan zakat.

BESARAN  ZAKAT  SAPI

Jumlah Sapi                        Zakat Yang Wajib Dikeluarkan

30-39                                     1 ekor tabI’ atau tabi’ah

40-59                                     1 ekor musinnah

60                                           2 ekor tabi’

61 dan seterusnya           Untuk setiap 30 ekor sapi, zakatnya seekor tabi’; dan untuk setiap 40 ekor sapi, zakatnya seekor musinnah

•  Nisab Kambing

Nisab kambing adalah 40 ekor. Setiap 40-120 kambing zakatnya seekor kambing. Jika telah mencapai 121 ekor zakatnya dua ekor kambing. Jumlah 201 kambing zakatnya 3 ekor kambing. Bila mencapai 400 ekor kambing  zakat yang harus dikeluarkan 4 ekor kambing. Jadi, setiap kelipatan 100 ekor kambing zakatnya seekor kambing. Jumlah kambing kurang 40 ekor tidak dikenai zakat.

Auqash, selisih antara dua nisab, tidak wajib dizakati, mengingat itu dimaklumi.

BESARAN ZAKAT KAMBING

Jumlah Kambing               Zakat yang Wajib Dikeluarkan

40-120                                   1 ekor kambing

121-200                                2 ekor kambing

201-300                                3 ekor kambing

301 dan seterusnya         Untuk setiap kelipatan seratus, zakatnya seekor kambing

• Mengganti Hewan Zakat dengan yang Lain

Menurut pendapat yang ashah amil boleh mengambil kambing sebagai pengganti domba. Demikian sebaliknya. Amil tidak boleh mengambil kambing cacat kecuali semua ternak milik muzakki dalam kondisi cacat. Juga tidak boleh mengambil ternak yang baru lahir (rubba), banyak makan (akulah), atau sedang hamil. Amil juga tidak boleh memilih semua jenis hewan ternak tersebut tanpa seizin muzakki, sesuai hadits di atas, “Takutlah kamu dan kekayaan terbaik mereka…,” dan pernyataan Umar ra : “Tidak boleh mengambil ternak rubba, akulah, hamil, atau kambing pejantan.”

Amil Tidak boleh mengambil ternak jantan sebagai pengganti ternak betina, kecuali sesuai ketentuan yang berlalu dan seluruh ternak yang dimiliki adalah pejantan. Selain itu, amil pun tidak boleh mengambil ternak yang masih kecil, kecuali jika seluruh ternak milik muzakki masih kecil.

• Zakat Hasil Percampuran

Jika dua orang muzakki bersekutu dalam nisab hewan ternak yang sejenis baik melalui warisan, jual beli, atau dengan cara lain maka mereka wajib mengeluarkan zakat, seperti harta yang dimiliki satu orang. Hal ini diqiyaskan dengan serikat jiwar yang akan disinggung dalam hadits di bawah ini. Bahkan lebih utama, kecuali bila salah seorang di antara mereka bukan muzakki seperti kafir dzimmi atau janin. Kerjasama dengan mereka tidak berkonsekuensi apa pun.

Dalil kewajiban zakat dalam serikat jiwar adalah hadits, “Tidak boleh mengumpulkan dua harta yang terpisah; dan tidak boleh memisahkan harta yang telah dikumpulkan, untuk menghindari sedekah,” (HR. al-Bukhari dan” Anas). Seorang muzakki dilarang membagikan atau mengumpulkan hartanya untuk menghindari kewajiban zakat atau agar zakat yang dikeluarkan tidak banyak. Petugas penarik zakat juga dilarang demikian, untuk menggugurkan zakat atau memangkas perolehan zakat. Hadits ini secara tekstual menjelaskan serikat jiwar, sama halnya dengan khulthah asy-syuyu’ bahkan lebih tepat.

Serikat terbagi menjadi dua macam. Pertama, serikat khulthah atau serikat benda -sebab setiap benda perserikatan menjadi milik bersama antara para pihak yang berserikat- atau serikat syuyu’ yaitu kerjasama dengan penggabungan total antara sekutu. Kedua, serikat jiwar atau serikat sifat, yaitu serikat yang bagian satu sekutu berbeda dengan yang lain.

Meski demikian kewajiban zakat dalam serikat jiwar harus memenuhi beberapa syarat. Antara lain tidak ada perbedaan dalam tempat minum ternak, tempat berkumpul saat hendak digembalakan, tempat menggembala ternak, kandang ternak di malam hari, dan tempat memerah susu. Begitu halnya hewan penjantan dan penggembala, menurut pendapat yang ashah. Sebab, apabila terjadi perbedaan dalam beberapa hal ini tentu tidak seperti harta milik satu orang. Tujuan ketentuan ini agar tidak mengistimewakan ternak seseorang dari ternak lainnya dalam masalah kandang, tempat berkumpul, dan lain-lain.

Menurut pendapat yang ashah, serikat jiwar tidak mensyaratkan adanya niat menggabungkan harta (milik dua orang atau lebih-ed). Hal itu karena dengan segala fasilitas yang sama, tidak ada bedanya soal keringanan biaya baik disertai niat maupun tidak. Syarat harus memberi perlakuan yang sama dalam beberapa hal di atas bertujuan agar dua harta menjadi satu seperti milik satu orang, juga untuk meringankan biaya bagi muzakki. Menggabungkan buah-buahan, hasil pertanian, uang emas dan perak, dan barang dagangan lewat perkongsian atau perserikatan mempunyai konsekuensi yang sama dengan penggabungan ternak. Hal ini karena sabda Nabi SAW, ‘Tidak boleh mengumpulkan dua harta yang terpisah; dan tidak boleh memisahkan harta yang telah dikumpulkan, karena menghindari sedekah.” bersifat umum.

Selain itu, tujuan penggabungan ternak (yaitu keringanan biaya) juga ditemukan dalam penggabungan barang-barang di atas. Mengingat para pihak yang bekerjasama sepakat untuk menyamakan gudang penyimpanan, pengawasan, dan sebagainya.

Ketiga, kepemilikan harta telah memasuki masa satu tahun (haul), sesuai dengan hadits, “Tidak ada kewajiban zakat harta sebelum memasuki masa satu tahun,” (HR. Abu Dawud). Sebab, harta yang dimiliki biasanya tidak berkembang secara sempurna sebelum lewat satu tahun.

Hewan yang lahir dari induk yang menyempurnakan hitungan nisab dan telah dipisah dari induknya sebelum nisab mencapai setahun -meskipun dalam tempo yang singkat- harus dizakati berdasarkan haul nisab yang akan datang. Berdasarkan hal itu, jika seseorang memiliki 120 kambing, kemudian salah satunya melahirkan seekor anak kambing sebelum masuk haul -meskipun kurang sekian detik dan seluruh induknya masih tetap utuh- dia wajib mengeluarkan zakat dua ekor kambing.

Jika anak dan induknya dipisah setelah sempurna setahun maka haul nisab induk tidak menjadi haul anak, karena haul induk telah terlewat, dan haul kedua lebih utama diberlakukan pada anaknya.

Kepemilikan baru (dalam hal ini hewan ternak) yang diperoleh melalui jual beli atau cara lainnya seperti hibah, warisan, atau wasiat tidak dapat disatukan dengan harta yang telah dimiliki pada haul berikutnya, Sebab, ia bukan termasuk hasil dari harta yang telah dimilikinya.

Apabila seseorang mengaku bahwa harta baru itu adalah hasil dari harta miliknya setelah satu haul, pengakuannya dapat dibenarkan. Jika ada dugaan lain, boleh melakukan sumpah. Karena kita disunahkan untuk bertindak hati-hati dan menjaga hak mustahik.

Jika seseorang kehilangan hak milik atas harta, baik sebagian maupun keseluruhan, setelah mencapai haul dan memungkinkan untuk menunaikan zakat, dia wajib mengeluarkan zakat harta yang tersisa dan yang hilang.

Apabila seseorang kehilangan hak milik atas suatu barang menjelang masuk haul -meskipun kurang sebentar- kemudian kembali saat masuk haul, atau tidak kembali, atau mati pada pertengahan haul, maka kewajiban zakatnya gugur.

Pembeli atau pewaris memulai hitungan haul sejak memiliki benda tersebut. Sengaja menghilangkan hak milik saat masuk haul untuk menghindari zakat hukumnya makruh. Bahkan menurut pendapat yang ashah hukumnya haram, tetapi jual beli tetap sah.

Andaikan seseorang menjual hak miliknya setelah masuk haul dan belum mengeluarkan zakat, akad jual beli pada jumlah harta yang dikenai zakat batal, sedangkan selebihnya sah.

Keempat, kepemilikan hewan ternak bersifat tetap selama setahun. Apabila pada pertengahan tahun hak milik’seseorang berkurang dari nisab atau tersisa sebagian, akibat dijual atau oleh sebab lain, kemudian hak milik diperoleh kembali dengan cara membeli, atau dengan cara lain, atau menggantinya dengan ternak yang serupa sepenuhnya, bukan untuk diperdagangkan, maka hitungan haul dimulai dari awal. Sebab, keberlangsungan haul pertama terputus oleh tindakannya. Ternak tersebut merupakan hak milik yang baru. Jadi, haulnya harus dimulai dari awal.

Kelima, hewan ternak harus digembalakan, sesuai dengan hadits Anas  Ra.  di depan, “Zakat kambing hanya pada kambing yang digembala¬kan.” Nash ini mengindikasikan bahwa kambing yang diberi makan dalam kandang tidak wajib dizakati, demikian halnya dengan unta dan sapi. Senada dengan ini adalah hadits Abu Dawud dan periwayat lainnya, “Setiap unta yang digembalakan dan telah mencapai empat puluh ekor, zakatnya seekor bintu labun.

Jika dalam masa satu tahun ternak lebih sering diberi makan dalam kandang maka tidak wajib dizakati, meski sesuatu yang dominan memengaruhi beberapa hukum. Ketika hewan ternak seseorang telah mencapai nisab, haul yang sempurna, dan menggembalanya sepanjang tahun, maka dia wajib mengeluarkan zakat.

Adapun jika hewan ternak diberi pakan dalam kandang dalam beberapa lama, meskipun tanpa itu ia dapat bertahan hidup tanpa menimbulkan bahaya besar, maka wajib dizakati. Berbeda jika selama masa tersebut ternak tidak dapat bertahan hidup bila tidak diberi pakan dalam kandang atau dapat bertahan tetapi membahayakan keselamatannya, maka tidak wajib dizakati, sebab ternak tersebut masih membutuhkan biaya.

Jika ternak merumput sendiri, membajak sawah, mengairi ladang, atau lain sebagainya, menurut pendapat yang ashah ternak tersebut tidak wajib dizakati. Maksudnya, hewan ternak yang diberi makan dalam kandang dan dipekerjakan tidak wajib dizakati, karena ia tidak dikembangbiakkan melainkan digunakan sebagai alat bantu, seperti halnya pakaian dan perkakas rumah.

Syarat wajib zakat ternak adalah telah masuk satu haul penuh menjadi hak milik tetap -kecuali anak ternak, maka haulnya mengikuti induknya, digembalakan setahun penuh di padang rumput yang mubah, dan penggembalaan dilakukan oleh pemilik ternak. Oleh karena itu, tidak wajib mengeluarkan zakat pada ternak yang merumput sendiri atau digembalakan oleh selain pemilik ternak seperti oleh orang yang ghashab atau pembeli dengan akad yang fasid. Ternak juga tidak difungsikan sebagai alat pembajak sawah dan sejenisnya. Tidak ada kewajiban zakat pada ternak yang diberi makan dalam kandang.

•             Tempat Pengambilan Zakat

Jika ternak berada di tempat minum, zakat diambil di sekitarnya. Hal ini mempermudah pemilik ternak dan petugas penarik zakat serta lebih membatasi tempat penggembalaan. Petugas penarik zakat tidak boleh memaksa pemilik ternak menggiring ternaknya ke dusun, sebab dalam sebuah hadits disebutkan, “Zakat kaum muslimin dipungut di sekitar tempat mereka memberi minuman ternak,” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya).

Jika seseorang mempunyai ternak di dua tempat minum yang berbeda, dia harus mengumpulkannya dalam satu tempat, kecuali dia kesulitan.

Jika ternak tidak menghendaki minum -misalnya ia cukup makan rumput pada musim semi-zakat diambil di rumah pemilik atau di padang rumput mereka. Hal tersebut sesuai hadits al-Baihaqi, “Zakat ternak orang badui dipungut di tempat mereka memberi minum ternak atau di padang rumput mereka.”

Penghitungan jumlah ternak oleh pemilik ternak dapat dibenarkan apabila dia dapat dipercaya. Jika tidak demikian, hitunglah hewan ternak di jalan sempit yang mereka lewati, sebab ini dapat menghindari kesalahan. Biarkan ternak lewat satu demi satu. Sehingga mudah untuk menghitungnya.

Setelah menarik zakat, petugas disunahkan mendoakan pemilik ternak agar gemar melakukan kebaikan,

أَجَرَكَ اللهُ فِيْمَا أَعْطَيْتَ وَجَعَلَهُ لَكَ طَهُوْرًا, وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا أَبْقَيْتَ

“Semoga Allah membalas apa yang kamu berikan, menjadikannya suci bagimu, dan memberkahi apa yang tersisa bagimu.” Doa yang dibaca tidak harus sama seperti ini.

2. Zakat Tanaman

Zakat tanaman hanya diberlakukan pada makanan pokok, baik dalam kondisi normal maupun darurat yang dapat mengancam keselamatan jiwa. Berbeda halnya dengan makanan selingan seperti tin, safarjal, dan delima. Makanan pokok merupakan tanaman terpenting yang membantu pertumbuhan tubuh.

Makanan pokok yang wajib dizakati dari jenis buah-buahan adalah kurma dan anggur;  dari jenis biji-bijian adalah gandum, jelai, beras, adas, sayur-sayuran, dan seluruh makanan pokok yang dikonsumsi dalam kondisi normal seperti kacang himmish, buncis, jagung, dan hurthuman (sejenis gandum). Biji masy (sejenis kacang-kacangan) termasuk jenis gandum sesuai dengan hadits yang akan dikemukakan nanti. Jenis biji-bijian dan sayuran-sayuran yang lain diqiyaskan dengan ini. Jadi, zakat tanaman hanya diwajibkan pada biji-bijian dan sayur-sayuran.

Tanaman yang umumnya tidak di jadikan makanan pokok tidak wajib dizakati, seperti za’faran, wars, madu, hurthum,  turmus, biji lobak, biji kapas, semangka, kummatsra, delima, jenis buah-buahan lainnya, dan zaitun.

Mengecualikan bahan makanan pokok yang dikonsumsi dalam kondisi normal, adalah tumbuhan yang dikonsumi sebagai makanan pokok dalam kondisi darurat seperti biji labu dan marhmallow (asynan). Tumbuhan ini tidak wajib dizakati, sama halnya dengan binatang liar seperti kijang dan sebagainya.

Alhasil, tanaman pertanian yang tidak dijadikan makanan pokok; tanaman obat seperti karawiya dan adas, buah-buahan pencuci mulut seperti semangka dan kummatsra, serta sayur-sayuran seperti bamiyah dan kazbarah tidak wajib dizakati.

Beberapa hadits yang menjelaskan hukum di atas antara lain, “Tanaman tadah hujan, air bah, dan tidak dialiri air, zakatnya sepersepuluh. Sedangkan tanaman yang dialiri melalui irigasi zakatnya seperduapuluh,” (HR. al-Hakim, sanadnya shahih). Ketentuan ini berlaku pada buah-buahan, gandum, dan biji-bijian.

Nabi SAW  berpesan kepada Abu Musa al-Asy’ari dan Mu’adz saat diutus ke Yaman, “Janganlah menarik zakat kecuali empat jenis  tanaman  yaitu gandum, jelai, kurma, dan anggur,” (HR. al-Hakim, sanadnya shahih). Namun pembatasan ini bersifat nisbi. Maksudnya, pernyataan Nabi tersebut dinisbahkan pada tanaman yang ada di Yaman.

• Nisab Makanan Pokok yang Wajib Dizakati

Nisab tanaman adalah 5 wasaq, sesuai sabda Nabi SAW  riwayat al-Bukhari dan Muslim, “Tanaman yang kurang dari 5 wasaq tidak wajib dizakati.  Satu wasaq sama dengan 60 sha’; 1 sha’ sama dengan 4 mud; 1 mud sama dengan 1 1 /3 kati Baghdad.

Ukuran 5 wasaq tersebut berupa takaran kurma kering atau anggur kering, bukan kurma basah atau anggur basah. Sedangkan pada biji-bijian, penghitungan tersebut setelah seluruh biji-bijian dibersihkan dari jerami.

Nisab satu jenis tanaman tidak boleh disempurnakan dengan jenis yang lain. Penyempurnaan nisab bisa dilakukan dengan menggabungkan jenis tanaman yang sama. Biji ‘alas (makanan pokok penduduk San’a, Yaman) bisa dikumpulkan dengan gandum putih untuk menyempurnakan nisab. Sebab ‘alas termasuk jenis gandum. Berbeda halnya dengan sult yang menyerupai jelai namun sifatnya mirip gandum merah. la mempunyai dua karakter yang berbeda. Karena itu, ia masuk jenis gandum tersendiri.

Buah-buahan hasil panen pada tahun tertentu tidak digabung dengan hasil panen pada tahun berikutnya, begitu pula dengan hasil pertanian pada tahun tertentu tidak disatukan dengan hasil pertanian pada tahun yang lain. Namun, buah-buahan dan hasil pertanian dalam tahun yang sama boleh dikumpulkan. Dengan kata lain, buah-buahan dan hasil pertanian tahun tertentu tidak dikumpulkan dengan buah-buahan dan hasil panen tahun yang lain. Buah-buahan dan hasil pertanian tahun tertentu boleh dikumpulkan dengan buah-buahan dan hasil pertanian tahun yang sama untuk menyempurnakan nisab. Meskipun masa panennya berbeda sesuai jenis tanaman dan kondisi geografis, seperti wilayah Najed yang dingin dan Tihamah yang panas.

Menurut pendapat yang azhar, acuan dalam penghimpunan dua hasil pertanian adalah panen keduanya terjadi pada satu tahun yang sama. Yaitu dua belas bulan kalender Hijriyah.

• Besaran Zakat Tanaman

Zakat tanaman yang pengairannya tanpa biaya atau tanpa tenaga adalah 10 persen. Sedangkan zakat tanaman yang pengairannya membutuhkan biaya seperti ditimba atau dengan mesin adalah 5 persen.

Nabi SAW  bersabda, “Tanaman tadah hujan atau dialiri sumber air atau air pasang (‘atsariyan) zakatnya 10 persen; sedangkan tanaman yang dialiri dengan nadh (timba) zakatnya 5 persen.

Dalam Shahih Muslim disebutkan riwayat Jabir, “Tanaman yang dialiri dengan air sungai atau hujan zakatnya 10 persen; sedangkan tanaman yang dialiri dengan kincir air zakatnya 5 persen.”

Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan, “Tanaman yang akarnya menyerap air zakatnya 10 persen.” Nisab zakat hasil pertanian yang telah kering dan bersih dari kulit dan jerami adalah 5 wasaq.

Irigasi dan saluran air yang berasal dari aliran sungai dan diperuntukkan bagi masyarakat umum, menurut pendapat yang shahih, statusnya seperti air hujan. Karena itu, tanaman yang dialiri air dari sungai tersebut zakatnya 10 persen. Sebab anggaran irigasi ditujukan bagi kesejahteraan rakyat di suatu wilayah. Manfaat sungai bisa dirasakan oleh semua orang, tidak dimonopoli oleh satu orang.

Zakat tanaman yang dialiri dengan dua cara sekaligus -timba dan air hujan- dengan kadar yang sama adalah 7,5 persen. Hitungan ini agar kita tetap melaksanakan kewajiban zakat berdasarkan dua cara tersebut.

Tanaman yang sering disiram air hujan zakatnya 10 persen. Sebaliknya, jika ia sering dialiri dengan timba maka zakatnya 5 persen, untuk memprioritaskan yang lebih dominan. Hanya saja, menurut pendapat yang azhar sebagaimana dikemukakan oleh an-Nawawi, harus ada pembagian yang adil, mengingat besaran zakat mengacu pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Jadi, apabila 2/3 tanaman dialiri air hujan dan sisanya (1/3) dengan timba (atau mesin) total zakat yang wajib dikeluarkan adalah 8,3 persen: 6,6 persen dari 2/3 tanaman yang disiram air hujan dan 1,7 persen dari 1/3 tanaman yang disiram dengan mesin. Sebaliknya, jika 1/3 tanaman dialiri air hujan dan 2/3 tanaman disiram dengan mesin maka zakatnya adalah 6,6 persen.

• Waktu Kewajiban Zakat

Zakat hasil pertanian wajib dikeluarkan ketika buah-buahan sudah tampak ranum dan biji-bijian telah mengeras, sebab pada saat itu tanaman sudah cukup matang. Tanaman pertanian yang bijinya telah mengeras disebut tha’am (bahan makanan), sebelumnya dinamakan baql (kacang-kacangan).

Kewajiban di sini bukan berarti kita harus mengeluarkan zakat hasil panen seketika itu juga, melainkan hanya indikator bahwa kita telah dikenai kewajiban zakat hasil pertanian. Karena itu, zakat biji-bijian hanya  dikeluarkan setelah dibersihkan, dan untuk buah-buahan dikeluarkan setelah kering.

Pemilik kebun disunahkan untuk menaksir tanaman yang berbuah jika memang telah ranum. Nabi SAW menganjurkan untuk menaksir buah anggur, demikian halnya dengan buah kurma. Zakat yang dikeluarkan berupa anggur kering, dan zakat kurma berupa kurma kering.

Menurut pendapat yang masyhur, buah-buahan atau hasil pertanian semuanya masuk dalam taksiran. Pekerjaan ini cukup dilakukan oleh seorang juru taksir.

Syarat juru taksir adalah laki-laki, muslim, adil, merdeka, dan memiliki kemampuan menaksir. Pemilik menjamin zakat hasil panen tersebut dalam tanggungannya, dan juru taksir menerima penjaminan tersebut. Selanjutnya pemilik boleh memanfaatkan seluruh hasil panen untuk dijual, dikonsumsi, dan lain sebagainya. Sebab tidak ada lagi hubungan antara mustahiq dengan obyek harta atau buah tersebut, yang akan disalurkan setelah kering.

Menurut al-madzhab, penjaminan dan penerimaan pemilik disyaratkan harus transparan. Jika pemilik telah memberi jaminan, seluruh hasil pertanian yang telah ditaksir boleh dikelola untuk dijual dan lain-lain.

Jika pemilik mengaku hasil pertanian yang telah ditaksir musnah oleh sesuatu yang tidak jelas seperti pencarian atau penyebab yang sudah tidak asing seperti kebakaran, cuaca dingin, dan perampokan. Maka pengakuan tersebut dapat dibenarkan dengan sumpah. Jika diketahui bahwa penyebabnya adalah sesuatu yang jelas dan bersifat umum, dia dapat dibenarkan tanpa disumpah.

Menurut pendapat yang ashah pengambilan sumpah dalam berbagai persoalan zakat hukumnya sunah. Jika pemilik tidak mengetahui penyebab yang pasti, menurut pendapat yang shahih, dia dituntut untuk mendatangkan saksi. Setelah dia mengajukan saksi maka pengakuan tentang kerusakan harta tersebut dapat dibenarkan di bawah sumpah, karena memungkinkan   tidak terjadi kebakaran.

                Jika pemilik mengadukan penyimpangan juru taksir dalam menjalankan tugas atau melakukan kesalahan metode taksiran yang tidak sesuai dengan para ahli taksir pada umumnya, seperti melakukan mark up, pengakuan tersebut hanya dapat dibenarkan apabila ada saksi. Adapun jika dia mengadukan kesalahan juru taksir yang mungkin biasa terjadi seperti kesalahan hitungan (lebih atau kurang) satu dari seratus buah, menurut pendapat yang ashah pengaduan tersebut dapat diterima. Jumlah hitungan yang salah menurut pengakuan pemilik harus dibenarkan, karena dia jujur. Orang jujur harus dibenarkan.

3. Zakat Naqd (Emas dan Perak)

Naqd lawan kata dari ‘barang niaga’ dan ‘utang’, sebagaimana dikemukakan oleh Qadhi lyadh dan yang lain. Naqd adalah emas dan perak baik yang sudah dicetak maupun belum dicetak. Uang kertas yang kita kenal sekarang ini sama seperti naqd.

• Nisab Naqd

Nisab perak adalah 200 dirham (595 gram) dan zakatnya dirham murni. Kurang dari itu tidak wajib zakat. Nisab emas menurut ijma’ adalah 20 mitsqal (85 gram) menggunakan timbangan Mekah. Nabi SAW  bersabda, “Takaran yang berlaku adalah takaran Madinah; dan timbangan yang digunakan adalah timbangan Mekah,” (HR. Abu Dawud dan an-Nasa’i dengan sanad yang shahih). Masalah ini telah disepakati ulama. Zakat yang dikeluarkan adalah 1/2 mitsqal. Emas yang kurang dari nisab tidak wajib zakat.

Zakat emas dan perak adalah 2,5 persen. Ketentuan ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah SAW  bersabda, “Perak yang kurang dari lima auqiyah tidak wajib dizakati.” Al-Bukhari meriwayatkan, “Zakat perak adalah 2,5 persen.”

Abu Dawud dan perawi lain meriwayatkan hadits dengan sanad yang  shahih (atau hasan) dari Ali, dari Nabi SAW. Beliau bersabda, “Bobot emas yang kurang dari 20 dinar tidak wajib dizakati; setiap 20 dinar emas zakatnya 1/2 dinar.”

Abu Dawud dan al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang bagus, “Tidak diwajibkan kepadamu mengeluarkan zakat kecuali telah mencapai 10 dinar emas. Jika kamu memilikinya dan telah masuk haul, zakat yang harus dikeluarkan adalah 1/2 dinar.”

Hikmah ketentuan ini adalah bahwa emas dan perak merupakan barang tambang yang nilainya bisa berkembang, seperti halnya ternak yang digembalakan. Barang siapa menimbun naqd berarti dia telah merusak hikmah tersebut, seperti orang yang menahan pemimpin suatu daerah dan melarang dia memenuhi segala kebutuhan rakyat.

Emas dan perak yang melebihi nisab wajib dihitung sesuai ketentuan yang berlaku. Hal yang membedakan naqd dan ternak adalah kerugian yang ditanggung bersama dalam ternak. Nisab emas atau perak tidak dapat disempurnakan dengan yang lain, karena berbeda jenis, sama seperti nisab kurma kering tidak dapat disempurnakan dengan kurma mentah. Barang wajib zakat yang bagus boleh disempurnakan dengan yang jelek dari jenis yang sama atau sebaliknya seperti dalam hewan ternak.

Maksud barang wajib zakat berkualitas bagus adalah yang halus dan sejenisnya; sedangkan yang dimaksud barang jelek adalah yang kasar dan semacamnya. Setiap jenis barang wajib zakat diambil secara adil bila itu mudah dilakukan, misalnya jenis barangnya sedikit. Jika jenis barang sangat beragam dan sulit menghitung secara keseluruhan, ambillah jalan tengah seperti harta yang harus dizakati 10 persen.

Emas atau perak yang melebihi nisab, kelebihannya harus dihitung dan wajib dizakati, baik telah dicetak menjadi mata uang atau berupa batangan.

Naqd wajib dizakati dengan syarat telah mencapai haul, beda halnya dengan hasil pertanian dan buah-buahan.

Zakat Perhiasan yang Dilarang

Perhiasan yang wajib dizakati adalah perabotan logam yang haram digunakan seperti perkakas makan dari emas dan perak, atau makruh seperti perkakas yang ditambal dengan sedikit perak sebagai hiasan atau pajangan, bukan untuk dipergunakan.

Perhiasan yang mubah dipakai seperti gelang untuk perempuan, tidak wajib dizakati asalkan tidak berlebihan.

Logam yang dicampur dengan logam yang lebih rendah nilainya, seperti emas dicampur dengan perak atau perak dicampur dengan tembaga, tidak wajib dizakati, kecuali apabila berat bersih emas atau peraknya mencapai nisab.

Jika sebuah perabotan terbuat dari leburan emas dan perak seharga 1000 dirham -salah satunya 600 dirham dan sisanya 400 dirham; tidak diketahui mana yang dominan, emas atau perak- maka zakatilah yang paling dominan (emas atau perak) sebagai sikap kehati-hatian. Hal tersebut bila muzakki telah dewasa. Jika dia belum dewasa, kedua unsur tersebut harus dipisahkan, mengingat ini lebih berhati-hati.

Kewajiban zakat naqd dan barang niaga disyaratkan telah masuk haul.

•             Perhiasan yang Mubah Tidak Wajib Dizakati

Menurut pendapat yang azhar, perhiasan yang mubah tidak wajib dizakati, sebab ia diperuntukkan bagi pemakaian yang mubah. Perhiasan seperti ini hampir sama dengan unta atau sapi yang dipekerjakan. Hal tersebut diulas secara shahih dalam as-Sunnah. Aisyah ra, pernah memakaikan perhiasan kepada beberapa keponakannya yang yatim di rumahnya. Dia tidak mengeluarkan zakatnya.

Berikut ini hadits riwayat Abu Dawud dengan sanad yang shahih berupa pernyataan Nabi SAW  kepada seorang wanita, “Apakah kamu suka jika Allah memakaikanmu dua buah gelang dari api neraka pada hari kiamat, sebab kedua hal itu.” Hal ini terjadi pada masa awal Islam. Saat itu perhiasan diharamkan bagi kaum perempuan, sebagaimana dikemukakan oleh al-Baihaqi dan lainnya. Hadits ini juga berkaitan dengan pemakaian perhiasan yang berlebihan yang haram dipakai, dan wajib dizakati.

4. Zakat Perniagaan (Tijarah)

Perniagaan adalah aktivitas mengelola harta melalui kegiatan jual beli guna memperoleh keuntungan. Barang perniagaan adalah harta selain emas dan perak. Zakat perniagaan hukumnya wajib berdasarkan al-Qur’an, sunah, dan ijma’.

Di antara ayat al-Qur’an yang menjelaskan zakat perniagaan adalah, “Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik…,” (QS. al-Baqarah [2]: 267). Menurut al-Mujahid ayat ini diturunkan berkaitan dengan perniagaan.

Dalil sunahnya adalah sabda Nabi SAW, “Dalam ternak unta terdapat kewajiban zakat; dalam sapi terdapat kewajiban zakat; dalam kambing terdapat kewajiban zakat; dalam bazz (kain) terdapat kewajiban zakat,” Kata bazz kerap diartikan ‘pedagang’ (qummasy). Juga menunjukkan arti ‘baju yang siap diperdagangkan oleh para peniaga’ dan diartikan ‘senjata’ seperti pendapat al-Jauhari. Kain dan senjata tidak termasuk harta yang wajib dizakati. Jadi, pengertian zakat kain di sini diarahkan pada zakat perniagaan.

Samurah bin Jundub ra meriwayatkan hadits bahwa Nabi SAW pernah menyampaikan perintah agar kami mengeluarkan zakat yang diambil dari barang yang siap diperdagangkan. Sedangkan hadits, “Tidak diwajibkan bagi seorang muslim menzakati budak dan kuda. diarahkan pada harta yang tidak diperdagangkan.

Ibnu al-Mundzir menyatakan, mayoritas ulama telah menyepakati kewajiban zakat niaga.

• Syarat Wajib Zakat Perniagaan

Besar zakat perniagaan adalah 2,5 persen, dengan syarat-syarat berikut:

Pertama, barang niaga bukanlah harta yang wajib dizakati seandainya tidak diperdagangkan, bukan pula emas dan perak. contohnya seperti kuda, hewan ternak, peranakan berbagai hewan ternak, dan lain-lain. Sedangkan naqd wajib dizakati dengan sendirinya.

Kedua, niat berdagang.

Ketiga, niat berdagang berbarengan dengan kepemilikan pada awal transaksi, agar tujuan berniaga berpadu dengan aktivitas perniagaan.

Keempat, kepemilikan dengan cara pertukaran murni (transaksi yang bisa rusak sebab kerusakan kompensasi seperti jual-beli, hibah yang mensyaratkan adanya kompensasi, dan sewa) atau pertukaran yang tidak murni, seperti maskawin, kompensasi khulu’, dan kompensasi perdamaian dalam kasus pembunuhan.

Beberapa contoh transaksi di atas berbeda dengan harta yang dimiliki tanpa pertukaran misalnya waris, hibah tanpa syarat imbalan, hasil buruan, utang, harta yang diperoleh melalui transaksi yang batal atau harta yang dikembalikan sebab cacat. Semua ini tidak wajib dizakati, meskipun disertai niat berdagang. Sebab pemilikan tanpa pertukaran tidak termasuk faktor penyebab perdagangan.

Kelima, harta niaga tidak dialihkan menjadi naqd saat kurang dari nisab setelah diuangkan pada pertengahan haul. Apabila seseorang membeli barang dagangan setara dengan nisab emas atau kurang dari itu, lalu pada pertengahan haul dia menjualnya seharga 19 mitsqal, maka haul barang niaga tersebut terhenti. Dengan kata lain, harta perniagaan pada per¬tengahan aktivitas jual-beli tidak mengalami penurunan dari nisab yang ditentukan.

Keenam, tidak bertujuan menyimpan harta niaga sebagai hak milik pada pertengahan haul. Jika seseorang bermaksud demikian terhadap harta niaga tertentu, haul harta tersebut terhenti terhitung sejak tahun pembelian.

Sebagian para ulama hanya mencantumkan dua syarat. Pertama, barang niaga dimiliki dengan cara pertukaran seperti jual-beli. Kedua, adanya niat berdagang saat proses pemilikan barang niaga. An-Nawawi dalam al-Minhaj menyatakan bahwa syarat zakat perniagaan adalah masuk haul dan mencapai nisab pada akhir haul.

• Besaran Zakat Perniagaan

Zakat perniagaan yang wajib dikeluarkan adalah 2,5 persen dari total nilai barang seperti zakat naqd. Hal ini sebab nilai barang yang berhubungan dengan zakat perniagaan. Jadi, tidak boleh mengeluarkan zakat perniagaan dari harta dagangan itu sendiri.

Harta perniagaan dikalkulasi berdasarkan jenis modal awal yang dipergunakan untuk membeli barang dagangan, atau menggunakan mata uang yang berlaku di suatu negara jika dia memilikinya dengan menjual barang dagangan.

Harta perniagaan tidak disyaratkan harus mencapai nisab selain pada akhir haul. Jika seseorang menjual barang dagangan pada masa haul dengan harta dagangan lainnya maka haul tersebut tidak terputus.

Jika seorang pedagang emas atau perak menjual sebagian naqd dengan naqd yang lain pada pertengahan haul untuk diperdagangkan maka haulnya terputus: tidak wajib mengeluarkan zakat perniagaan. Dia juga tidak wajib mengeluarkan zakat naqd, sebab adanya pertukaran akibat penjualan tersebut. Ada pendapat menarik yang dikutip dari Ibnu Suraij, “Sampaikanlah berita gembira kepada para pedagang emas dan perak, mereka tidak dikenai zakat.”

Jika seseorang menjual barang dagangan pada masa haul dengan naqd dan keuntungan, dan keduanya disimpan sampai akhir haul, maka modal pokok berupa naqd dan laba harus dizakati sesuai haulnya masing-masing. Sebagai contoh seseorang membeli barang seharga 200 dirham, setelah enam bulan dia menjualnya seharga 300 dirham dan menyimpan hasil penjualannya hingga akhir haul. Maka dia wajib menzakati hartanya yang 200 dirham, dan enam bulan kemudian menzakati hartanya yang 100 dirham.

Perhitungan haul laba dimulai sejak laba tersebut diubah menjadi naqd (dihargai dengan naqd), tidak sejak diperoleh karena nilainya belum pasti.

Laba yang diperoleh pada pertengahan haul diakumulasikan dengan modal pokok dalam setahun jika tidak diubah menjadi naqd. Berbeda halnya jika laba tersebut diubah menjadi naqd, menurut pendapat yang azhar -maksudnya seluruh laba ditukarkan dengan nilai uang lewat transaksi jual-beli dan sejenisnya atau untuk belanja barang niaga yang diterima secara sempurna- maka tidak boleh diakumulasikan. Bahkan, modal pokok harus dizakati sesuai haulnya, begitu pula dengan laba dihitung tersendiri sesuai haulnya.

Jika seseorang membeli barang untuk diperdagangkan sebesar 20 dinar, kemudian setelah enam bulan dijual seharga 40 dinar lalu dibelanjakan untuk barang lain, dan setelah diuangkan pada akhir haul jumlahnya menjadi 100 dinar, maka besarnya harta yang harus dizakati adalah 50 dinar. Sebab, modal awalnya 20 dinar ditambah perolehan laba, 30 dinar; mengingat hasil tersebut diperoleh pada akhir haul, tanpa ditukar dengan mata uang emas atau perak sebelumnya. Jika dia menjual barang tersebut sebelum keuntungan yang 20 dinar mencapai haul, misalnya dia menjualnya pada akhir haul pertama, maka dia harus mengeluarkan zakat sesuai haulnya yakni setelah enam bulan dari haul pertama.

Menurut pendapat yang ashah, anak hewan ternak yang diper¬dagangkan dan tidak digembalakan sama seperti hewan yang diberi makan dalam kandang dan kuda. Buah yang diperdagangkan sama dengan buah yang ada di pohon dan dahannya. Bulu halus, bulu kasar, dan rambut hewan termasuk barang dagangan. Semua itu bagian dari induk atau pohon. Masih menurut pendapat yang ashah, haul anak hewan ternak tersebut sama dengan haul induknya.

Perlu diperhatikan bahwa pelaku akad qiradh (mudharabah) berdasarkan pendapat yang ashah tidak memiliki keuntungan yang disyaratkan harus nyata, tetapi keuntungan diperoleh melalui pembagian hasil usaha. Ketika haul telah genap, pemilik modal harus mengeluarkan zakat secara keseluruhan (modal dan keuntungan). Zakat dihitung dari keuntungan yang dihasilkan modal pokok, jika zakat dikeluarkan dari harta qiradh.

Menurut al-madzhab pelaku akad qiradh wajib mengeluarkan zakat keuntungan yang diperoleh melalui bagi hasil. Haul laba hasil pembagian terhitung sejak tanggal penerimaan. Zakat tidak wajib dikeluarkan sebelum laba dibagikan menurut al-madzhab. Berdasarkan hal tersebut zakat keuntungan boleh dikeluarkan dua tahap.

5. Zakat Barang Tambang (Ma’dan) dan Rikaz

Ma’dan adalah tempat yang mengandung berbagai macam barang tambang seperti emas, perak, tembaga, dan sebagainya. Kemudian kata ini digunakan untuk merujuk arti hasil tambang. Rikaz adalah harta peninggalan masa jahiliah yang terpendam.

Barang tambang dan rikaz yang wajib dizakati hanya berupa emas dan perak; ini menurut al-madzhab yang telah menjadi keputusan tetap ashab Syafi’i.

Orang yang mengeksplorasi barang tambang dari daerah yang mubah atau milik si penambang wajib mengeluarkan zakat barang tambang sebesar 2,5 persen jika mencapai nisab, tanpa syarat haul. Demikian pula dengan rikaz menurut al-madzhab, sebab haul disyaratkan agar harta berkembang, padahal keduanya telah berkembang dengan sendirinya. Zakat rikaz sebesar 20 persen.

Dalil kewajiban zakat rikaz adalah sabda Nabi SAW, “Dalam rikaz terdapat kewajiban zakat sebesar 20 persen” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW bersabda dalam kasus seseorang yang menemukan rikaz di sebuah desa, “Jika kamu menemukannya di daerah yang didiami, umumkanlah; tetapi jika kamu menemukan di daerah yang tidak didiami, harta itu menjadi haknya dan wajib mengeluarkan zakat rikaz sebesar 20 persen.”

Pernyataan di atas merupakan pendapat para imam antara lain Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad bin Hanbal, karena hadits tersebut bersifat umum.

Adapun dalil zakat tambang emas dan perak adalah hadits Bilal bin al-Harits, “Rasulullah menarik zakat barang tambang di daerah al-Qabaliyah.”

Zakat barang tambang dan rikaz tidak disyaratkan harus masuk haul, menurut al-madzhab hanya disyaratkan mencapai nisab.

Hasil tambang boleh dikumpulkan dengan hasil tambang lainnya asalkan sejenis dan penambangan dilakukan secara terus-menerus. Zakat barang tambang dan rikaz harus dikeluarkan secara segera, setelah dibersihkan dari berbagai kotoran. Zakat tambang emas dan perak sebesar 2,5 persen, sedangkan zakat rikaz 20 persen yang dikeluarkan saat itu juga.

Apabila penambangan dihentikan karena alasan tertentu seperti perjalanan atau perbaikan alat, hasil penambangan berikutnya dikumpulkan dengan hasil tambang sebelumnya untuk menyempurnakan nisab.

Jika pertambangan ditemukan di tanah milik orang lain, hasil tambang menjadi hak pemilik tanah.

Rikaz disyaratkan berupa naqd yang beratnya mencapai nisab, peninggalan pada masa jahiliah yang ditemukan di tanah yang tidak digarap atau tanah yang dimiliki melalui pembukaan wilayah, yang ditemukan baik dengan cara menggali, terbawa banjir, membuat saluran air, maupun cara lainnya. Mungkin juga ditemukan di benteng musuh yang telah menjadi bagian dari wilayah pemerintahan Islam.

Zakat rikaz sebesar 20 persen diberikan kepada lembaga pengelola zakat tanpa syarat mencapai haul menurut al-madzhab. Sebab, haul ditujukan agar harta dapat berkembang. Rikaz telah berkembang dan tidak ada kesulitan dalam mengelolanya sebagaimana keterangan yang telah dikemukakan.

Pensyaratan nisab naqd pada zakat barang tambang dan rikaz karena ia dihasilkan dari dalam bumi. Oleh sebab itu, ia hanya dikhususkan pada sesuatu yang wajib dizakati baik dari segi besar maupun jenisnya, hanya saja rikaz terbatas pada harta yang dipendam orang jahiliah pra-Islam.

Apabila dalam rikaz tersebut ditemukan tanda-tanda Islam, misalnya ditemukan lampiran al-Qur’an atau nama raja dari kerajaan Islam, ia tidak langsung menjadi hak milik penemu begitu saja. Justru dia wajib menyerahkan harta tersebut kepada pemiliknya, jika diketahui. Jika tidak menyerahkannya, dia berdosa.

Jika pemilik rikaz tersebut tidak ditemukan, menurut pendapat yang shahih, harta tersebut luqathah (barang temuan), penemu harus mengumumkannya selama setahun. Hal tersebut apabila di sana terdapat baitul mal. Pada masa kita ini, harta tersebut tidak boleh diserahkan kepada para penguasa yang zhalim, agar tidak disalahgunakan.

Jika harta yang ditemukan tidak diketahui identitasnya, apakah peninggalan masa jahiliah atau masa Islam, seperti emas batangan atau perhiasan, menurut pendapat yang masyhur dan azhar, harta tersebut masuk kategori luqathah, dengan memprioritaskan hukum Islam.

* Pembayaran Zakat Mal

Pembahasan ini mencakup niat membayar zakat, pembayaran zakat secara segera, mempercepat dan menunda pembayaran zakat.

Niat zakat wajib disertakan ketika mengeluarkan zakat. Hal ini sesuai komentar hadits masyhur yang berbunyi, “Segala perbuatan harus disertai niat.” Niat zakat diucapkan dalam hati seperti ibadah lainnya.

Orang yang mengeluarkan zakat (muzakki) mengucapkan niat hadza fardhu zakati mali (harta ini kewajiban zakat malku) atau fardhu shadaqati mali (kewajiban sedekah malku) dan lain sebagainya. Tidak cukup mengucapkan hadza fardhu mali (harta ini kewajiban malku), sama halnya dengan mengucapkan hadza shadaqatu mali (ini sedekah hartaku) atau shadaqatu al-mali (sedekah harta) menurut pendapat yang ashah. Sebab kata “sedekah” bisa menunjukkan arti sedekah sunah.

Muzakki tidak wajib menyebutkan jenis harta secara khusus. Jika dia menyebutnya secara khusus maka niat tersebut tidak berlaku untuk harta yang lain.

Jika harta yang dizakati milik anak-anak, orang gila, atau orang bodoh maka niat wajib dilakukan oleh wali mereka saat zakat dikeluarkan, mengingat niat itu wajib. Dalam kasus ini, pemilik harta kesulitan melakukan niat. Oleh sebab itu, ia ditangani walinya.

Jika wali membayar zakat tanpa disertai niat, pembayaran tersebut tidak dianggap zakat. Karena itu wali wajib menanggungnya. Wali orang bodoh selain boleh mengganti posisinya, juga boleh menyerahkan niat kepadanya, seperti orang lain.

Niat pembayaran zakat yang diwakilkan sudah dianggap cukup ketika zakat diserahkan kepada pihak yang mewakili, tidak perlu niat kembali ketika menyerahkan kepada mustahik, menurut pendapat yang ashah, Demikian itu sebab adanya niat yang disertai tindakan dari orang yang dituntut mengeluarkan zakat. Hanya saja yang lebih afdhal ketika menyerahkan zakat kepada mustahik, pihak yang mewakili juga berniat, untuk menghindari sengketa.

Jika muzakki menyerahkan zakat kepada pemerintah, niat dianggap cukup saat itu, meskipun pemerintah tidak berniat ketika membagikannya kepada mustahik. Sebab, pemerintah adalah wakil mustahik. Menyerahkan zakat kepada penguasa sama seperti menyerahkan langsung kepada mereka.

Menurut pendapat yang shahih, jika muzakki tidak mengucapkan niat, itu tidak mencukupi. Bahkan, meskipun pemerintah telah menyebutkannya saat mendistribusikan zakat. Hal ini karena pemerintah adalah wakil para mustahik. Mendistribusikan zakat kepada mereka tanpa niat tentu tidak mencukupi. Demikian halnya dengan wakil mereka.

Pendapat yang shahih menyebutkan bahwa pemerintah harus berniat ketika menarik zakat orang yang menolak membayar zakat. Niat pemerintah telah mencukupi baik lahir maupun batin, sebab ia menempati posisi orang yang menolak menunaikan zakat dalam masalah niat. Kewajiban pemerintah untuk niat ini jika orang yang menolak belum niat ketika zakatnya diambil secara paksa.

Mengenai penyaluran zakat secara segera, ulama Syafi’iyah menetapkan bahwa zakat wajib ditunaikan sesegera mungkin karena desakan kebutuhan para mustahik yang menuntut segera dipenuhi. Hal itu jika memungkinkan, seperti halnya menjalankan ibadah yang lain. Sebab, mewajibkan sesuatu yang tidak memungkinkan sama dengan mewajibkan sesuatu di luar kemampuan. Jika pembayaran zakat ditangguhkan, pelakunya berdosa, dan wajib mengganti jika barang zakat mengalami kerusakan.

Muzakki boleh menunaikan pembayaran zakatnya sendiri, baik zakat harta yang abstrak seperti emas, perak, barang niaga, dan rikaz maupun konkrit seperti ternak, harta yang zakatnya sepuluh persen, dan barang tambang, menurut qaul jadid.

Muzakki juga boleh mewakilkan penyaluran zakat. Karena zakat adalah hak harta benda, penyalurannya boleh diwakilkan, sama seperti utang-piutang. Muzakki boleh menyerahkan zakat kepada pemerintah atau petugas penarik zakat, karena ia wakil para mustahik. Nabi SAW dan para khalifah setelahnya pernah mengangkat petugas penarik zakat.

Menurut pendapat yang azhar, menyalurkan zakat lewat pemerintah lebih afdhal daripada mendistribusikan sendiri atau mewakilkan kepada orang lain. Kecuali jika pemerintah melakukan penyimpangan, maka muzakki lebih afdhal menyalurkan zakat sendiri, karena dia yakin atas tindakannya sendiri dan ragu atas perbuatan orang lain.

• Mempercepat (Ta’jil) Penyaluran Zakat

Menurut Syafi’iyah tidak sah mempercepat pembayaran zakat ‘ainiyah  yang mensyaratkan haul dan nisab. Misalnya, seseorang memiliki 100 dirham, lalu langsung menyalurkan 5 dirham sebagai zakat ketika sudah sempurna nisab dan mencapai haul. Pembayaran tersebut tidak mencukupi sebagai zakat sebab tidak ditemukan penyebab kewajiban zakat, yaitu harta yang memenuhi persyaratan untuk dizakati. Kasus tersebut serupa dengan pembayaran sebelum terjadi jual beli atau kafarat sebelum sumpah.

Adapun zakat bukan ‘ainiyah seperti zakat perniagaan, pembayarannya boleh dipercepat. Sebab, nisabnya dihitung pada akhir haul. Misalnya seseorang membeli barang dagangan seharga 100 dirham, lalu langsung mengeluarkan zakat untuk jumlah total harta 200 dirham. Pada akhir haul ternyata jumlah total hartanya senilai 200 diñar. Maka, pembayaran tersebut telah mencukupi sebagai zakat. Begitu pula pembayaran zakat naqd, boleh dipercepat.

Menurut pendapat yang ashah, boleh mempercepat pembayaran zakat harta yang mensyaratkan haul sebelum haulnya sempurna, namun tidak boleh untuk dua tahun sekaligus atau lebih dari itu. Mempercepat pembayaran zakat tidak diperbolehkan sebelum positif memasuki masa haul, seperti mempercepat pembayaran zakat sebelum sempurna nisab pada zakat ‘ainiyah. Walhasil, pembayaran zakat untuk satu tahun boleh dipercepat sebelum akhir haul.

Orang yang berpuasa boleh mempercepat pembayaran zakat fitrah sejak malam pertama Ramadhan, sebab kewajiban zakat fitrah ditimbulkan oleh dua hal, puasa dan berbuka. Karena itu zakat fitrah boleh didahulukan berdasarkan salah satu penyebab yang telah ada. Selain itu, mendahulukan zakat fitrah sehari atau dua hari sebelum Ramadhan sepakat diperbolehkan ulama. Pembayaran pada hari lainnya diqiyaskan dengan ketentuan ini, dengan faktor persamaan (jami’) keduanya sama-sama dikeluarkan dalam lingkup bulan Ramadhan.

Menurut pendapat yang shahih, zakat fitrah tidak boleh ditunaikan sebelum Ramadhan, karena mendahului dua sebab yang telah disebutkan di atas.

Begitu pula tidak diperbolehkan mengeluarkan zakat buah-buahan sebelum tumbuh ranum atau biji-bijian sebelum mengeras. Kewajiban zakat tersebut harus didahului oleh satu sebab, yakni berbuahnya pohon. Setelah buah matang atau biji mengeras, baru zakat boleh ditunaikan.

• Syarat Mempercepat Pembayaran Zakat Mal

Pertama, status pemilik adalah wajib zakat sampai akhir haul, begitu pula dengan harta harus tetap utuh sampai akhir haul.

Kedua, penerima zakat benar-benar orang yang berhak pada akhir haul. Apabila status mustahiknya gugur sebab meninggal dunia atau murtad, maka harta yang diberikan kepadanya tidak dianggap zakat, sebab dia bukan lagi dari golongan mustahik.

Tidak masalah jika mustahik menjadi kaya sebab menerima zakat yang dipercepat, karena jumlahnya yang memang banyak, berkembangbiak, diperdagangkan, atau sebagainya. Tujuan zakat adalah memberikan kecukupan bagi penerima. Karena itu, tujuan tersebut tidak menghalangi keabsahan zakat.

Jika harta yang telah dikeluarkan secara dipercepat tidak dikategorikan sebagai zakat, ia boleh ditarik kembali dengan syarat penarikan tersebut diakibatkan sesuatu yang mencegah keabsahan zakat. Menurut pendapat yang ashah, jika muzakki berkata, “Ini zakatku yang disegerakan,” dia boleh menarik kembali hartanya. Tetapi jika tidak menjelaskan pembayaran zakat yang dipercepat dan pihak penerima tidak mengetahuinya, hartanya tidak boleh ditarik kembali.

Jika kedua belah pihak berbeda pendapat tentang faktor yang menetapkan hak menarik kembali harta zakat -yaitu pernyataan penarikan kembali karena suatu hal yang mencegah keabsahan zakat, penyebutan percepatan pembayaran, atau pihak penerima zakat mengetahui adanya unsur tersebut- menurut pendapat yang ashah, pernyataan pihak penerima dibenarkan di bawah sumpah, karena pada dasarnya tidak ada syarat demikian.

Ketika seseorang berhak menarik kembali sedang harta zakat yang telah diserahkan musnah, harta tersebut wajib diganti. Menurut pendapat yang ashah, apabila harta zakat tersebut bisa dinilai, harganya dikalkulasi berdasarkan harga saat penyerahan.

Apabila muzakki menemukan hartanya dalam kondisi berkurang sifatnya seperti sakit atau kurus yang timbul sebelum adanya faktor yang menuntut harta dikembalikan, dia tidak wajib mengganti kekurangan tersebut. Kekurangan itu timbul ketika harta telah menjadi miliknya, karena itu dia tidak harus menggantinya.

Menurut pendapat yang ashah, muzakki tidak boleh meminta hasil yang terpisah dari harta zakat seperti susu atau anak hewan ternak, yang ada sebelum terjadinya faktor yang menyebabkan pencabutan harta tersebut, karena hasil tersebut berasal dari harta miliknya.

Menunda pembayaran zakat setelah mampu, mewajibkan tanggungan zakat. Apabila harta mengalami kerusakan sebelum mampu menunaikan zakat dan setelah masuk haul, bukan karena teledor, muzakki tidak dikenai tanggungan zakat, karena tidak ada unsur kelalaian. Berbeda hal jika sebagian harta rusak setelah masuk haul, belum mampu membayar zakat, dan harta tersisa sebagian, menurut pendapat azhar, muzakki wajib membayar sebagian harta yang tersisa.

Apabila muzakki sengaja memusnahkan hartanya setelah masuk haul dan belum mampu membayar zakat, kewajiban zakatnya tidak gugur.

Zakat selalu melekat pada harta sebagaimana serikat sesuai kadarnya, sesuai pesan tekstual beberapa dalil. Karena itu, apabila seseorang menjual aset miliknya setelah dikenai kewajiban zakat dan belum mengeluarkannya, menurut pendapat yang azhar, penjualan harta wajib zakat batal, dan sisanya sah.

Utang yang disalurkan kepada peminjam tidak menghalangi kewajiban zakat, seperti telah dijelaskan di depan. Akan tetapi, menurut qaul jadid , jika utang telah saatnya dilunasi namun sulit ditagih dengan alasan pailit dan sebagainya, seperti menunda pembayaran, kekayaannya berada di luar, atau menolak pelunasan, maka statusnya seperti harta ghasab yang wajib dizakati. Namun zakatnya tidak langsung diserahkan sebelum harta tersebut kembali. Jika penagihan utang yang jatuh tempo mudah dilakukan, misalnya pihak pemberi pinjaman kaya raya, mengakui utangnya, dan hartanya ada, zakat wajib dibayarkan seketika itu juga, sebab harta sudah dapat diterima. Harta tersebut seperti barang yang dititipkan kepada orang lain.

Jika pembayaran utang ditunda sampai waktu tertentu, menurut al-madzhab, hukumnya seperti harta hasil ghashab. Pemberian utang tidak menghalangi kewajiban seseorang membayar zakat, menurut pendapat yang azhar, baik sudah jatuh tempo maupun belum, diambil dari jenis harta wajib zakat ataupun bukan, utang kepada Allah SWT seperti zakat, kafarat, atau nadzar maupun kepada selain Allah SWT. Hal ini, sebab dalil kewajiban zakat bersifat mutlak.

6. Zakat Fitrah

Zakat fitri juga dinamakan dengan sedekah fitri karena ia diwajibkan menjelang idul fitri. Juga dinamakan zakat fitrah, berasal dari kata fitrah yang berarti penciptaan seperti disinyalir dalam firman Allah SWT , “(Sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu..” (QS. ar-Rum [30]: 30). Artinya, fitrah manusia tetap sesuai dengan penciptaanya, untuk menyucikan diri dan meningkatkan amal perbuatannya.

Dalil kewajiban zakat fitrah sebelum ada ijma’ ulama adalah hadits Ibnu Umar ra , Rasulullah mewajibkan zakat fitrah kepada manusia di bulan Ramadhan sebanyak 1 sho’ kurma atau gandum, baik orang merdeka maupun budak, baik laki-laki maupun perempuan dari kalangan kaum muslimin,” (HR. Syaikhan) dan hadits Abu Sa’id al-Khudri ra, “Kami mengeluarkan zakat fitrah pada masa hidup Rasulullah 1 sha’ makanan, 1 sha’ gandum, 1 sha’ anggur kering, atau 1 sha’ keju. Karena itu, aku selalu mengeluarkannya selama hidupku,” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Menurut pendapat yang masyhur, zakat fitrah diwajibkan pada tahun 2 H, tahun difardhukannya puasa Ramadhan. Ketentuan zakat fitrah adalah sebagai berikut.

Menurut pendapat yang azhar, zakat fitrah wajib ditunaikan pada awal malam hari raya idul fitri ketika matahari terbenam. Orang yang dikenai kewajiban zakat fitrah adalah muslim. Makanan yang diberikan merupakan kelebihan dari keperluan diri dan orang yang wajib dinafkahi selama malam dan siang idul fitri, dari pakaian yang pantas buat diri dan orang yang dibiayainya, juga dari tempat tinggal dan pembantu yang dibutuhkan.

Orang yang dikenai kewajiban zakat fitrah wajib menanggung zakat fitrah orang muslim yang wajib dinafkahinya seperti istri, anak, atau hamba sahaya, meskipun meninggal dunia setelah terbenam matahari. Bayi yang dilahirkan setelah terbenam matahari tidak wajib zakat fitrah. Kita disunahkan tidak menunda zakat fitrah sampai selesai shalat Idul Fitri.

Zakat fitrah tidak diwajibkan atas orang kafir, kecuali budak atau kerabatnya yang muslim -menurut pendapat yang ashah- begitu pula hamba sahaya. Orang yang sebagian dirinya merdeka dan sebagiannya budak wajib mengeluarkan zakat fitrah sesuai kadar kemerdekaan dirinya, sisanya ditanggung oleh majikan.

Hukum zakat fitrah yang tidak diutarakan di sini sama dengan zakat mal. Jika sekelompok orang mengumpulkan zakat fitrah mereka, lalu mencampur kemudian membagikannya atau dibagikan oleh seseorang atas izin mereka, tindakan tersebut diperbolehkan.

• Besar Zakat Fitrah

Besar zakat fitrah yang wajib dikeluarkan adalah 1 sha’ makanan pokok berkualitas baik. Boleh mengeluarkan setengah zakat fitrah jika hanya mampu mengeluarkan 1/2 sha’.

•             Mempercepat Zakat Fitrah

Boleh mengeluarkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan. Zakat fitrah sunah dikeluarkan pada siang hari setelah shalat Subuh dan sebelum shalat ‘Id, haram menundanya sampai melewati hari raya.

•             Syarat-Syarat Zakat Fitrah

Makanan yang diperuntukkan untuk zakat fitrah disyaratkan berupa kelebihan dari keperluan tempat tinggal dan pembantu yang membutuhkan, menurut pendapat yang ashah. Menurut ijma’, orang yang melarat pada waktu wajib zakat fitrah tidak dikenai zakat fitrah. Orang yang tidak mempunyai makanan yang cukup untuk diri sendiri dan orang yang wajib dinafkahinya pada malam dan siang Idul Fitri disebut orang melarat. Orang yang kondisinya lebih baik dari itu disebut orang yang mampu, karena makanan pokok merupakan kebutuhan yang tak dapat ditinggalkan.

Orang yang wajib mengeluarkan zakat fitrah wajib pula menanggung zakat fitrah orang-orang yang wajib dinafkahinya. Tetapi seorang muslim tidak harus mengeluarkan fitrah untuk budak, kerabat, atau istrinya yang kafir. Budak tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah bagi istrinya; dan anak laki-laki tidak harus mengeluarkan fitrah untuk ibu tirinya.

Seandainya suami melarat, menurut pendapat yang azhar, dia mengharuskan istrinya yang merdeka untuk mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya sendiri. Tetapi menurut pendapat yang ashah yang telah dinash, seperti dikemukakan oleh an-Nawawi, zakat fitrah tidak diwajibkan kepada istri yang merdeka itu, tetapi dia disunahkan mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya sendiri.

Menurut pendapat yang ashah, orang yang hanya mampu mengeluarkan ½ sha’, dia harus mengeluarkannya. Jika seseorang hanya memiliki ½ sha’ makanan maka dia memprioritaskan untuk zakat fitrah dirinya sendiri kemudian istri, anaknya yang masih kecil, ayah, ibu, baru kemudian anak yang telah dewasa.

 • Jenis Makanan dalam Zakat Fitrah

Jenis makanan yang diperuntukkan untuk zakat fitrah adalah makanan pokok yang zakat malnya sebesar 10 atau 5 persen, seperti gandum dan jelai, kurma kering dan anggur kering. Menurut pendapat yang azhar, keju juga boleh dikeluarkan untuk zakat fitrah, sebagaimana telah disinggung dalam hadits al-Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri.

Besarnya zakat fitrah harus 1 sha’ makanan pokok mayoritas penduduk suatu balad. Maksud balad di sini adalah distrik atau wilayah, bukan perkampungan. Hal ini berdasarkan dalil para fuqaha tentang penetapan perbedaan tempat melihat bulan menurut letak balad.

Makanan pokok yang berkualitas baik bisa menjadi pengganti makanan pokok yang berkualitas rendah, karena justru lebih baik, tidak sebaliknya. Menurut pendapat yang ashah, hal yang menjadi pertimbangan adalah berapa besar makanan tersebut memberi tambahan kalori. Gandum lebih baik daripada kurma dan beras. Jelai, menurut pendapat yang ashah, lebih baik daripada kurma; sedangkan kurma lebih baik daripada anggur.

Muzakki boleh mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya sesuai makanan pokok yang biasa dia konsumsi, namun untuk zakat fitrah kerabatnya dianjurkan menggunakan makanan pokok yang terbaik.

Jumlah 1 sha’ tersebut tidak boleh berupa campuran dari berbagai makanan pokok. Jika penduduk suatu wilayah mengonsumsi beberapa macam makanan pokok, muzakki boleh memilih salah satunya. Afdhalnya memilih yang paling bagus. Namun, wajibnya berupa biji-bijian yang terbebas dari cacat. Biji-bijian yang terkena hama ulat tidak cukup dijadikan zakat, meskipun dijadikan makanan pokok. Begitu juga dengan bahan makanan yang rusak.

Orang tua boleh mengeluarkan zakat fitrah untuk putranya yang masih kecil dan kaya, bukan anak yang dewasa, sebab dia memonopoli pemilikan harta dan perwalian anaknya.

Apabila seseorang mengizinkan orang lain untuk membayar zakat fitrahnya, ini diperbolehkan. Jika dia tidak mengizinkan, jelas praktik tersebut tidak diperbolehkan. Alasannya, zakat fitrah merupakan ibadah yang membutuhkan niat. Niat hanya gugur dari seorang mukallaf dengan izinnya.

7. Sedekah Sunah

Sedekah sunah sangat dianjurkan berdasarkan beberapa ayat al-Qur’an dan as-Sunnah, di antaranya firman Allah SWT,

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, Allah Maha luas, Maha Mengetahui,” (QS. al-Baqarah [2]: 261).

“Infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepada kalian sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kalian; lalu dia berkata (menyesali) ‘Ya Rabbku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh,'” (QS. al-Munafiqun [63]:10),

“Jika kalian meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, niscaya Dia melipatgandakan (balasan) untuk kalian dan mengampuni kalian. Dan, Allah Maha Mensyukuri, Maha Penyantun,” (QS, at-Taghabun [64]: 17),

“Katakanlah, ‘Sungguh, Rabbku melapangkan rezeki dan membatasinya bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.’ Dan apa saja yang kalian infakkan, Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang terbaik” (QS. Saba’ [34]: 39).

Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang memberi makan orang lapar maka Allah pasti akan memberinya buah-buahan surga; siapa yang memberi minum orang mukmin yang kehausan maka pada Hari Kiamat Allah akan memberinya minuman dari arak yang disegel; siapa yang memberi pakaian orang mukmin yang telanjang, Allah akan memberinya pakaian surga yang berwarna hijau,” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi dengan sanad jayyid).

• Hukum Sedekah Sunah

Sedekah sunah lebih afdhal dilakukan secara diam-diam, karena Nabi SAW menggolongkan orang yang menyamarkan sedekah dalam tujuh orang yang mendapat naungan dari Allah. Lain halnya dengan zakat, pemerintah lebih afdhal menariknya secara terang-terangan, begitu pula bagi pemilik harta kecuali dalam harta kekayaan yang tersembunyi.

Sedekah sunah kadang diharamkan jika ternyata sedekah tersebut dipergunakan penerima untuk kegiatan maksiat. Hukum sedekah juga kadang wajib, misalnya sedekah kepada orang yang sangat membutuhkan, dan harta yang diperuntukan untuk itu merupakan kelebihan si pemilik.

Sedekah lebih utama diberikan kepada kerabat dekat yang memiliki ikatan nasab -meskipun mereka wajib dinafkahi- kemudian kepada suami, istri, kerabat jauh, kerabat sesusuan, kerabat karena hubungan pernikahan, baru kemudian tetangga.

Selain itu, sedekah juga lebih utama diberikan kepada musuh untuk meredakan ketegangan, dan kepada aktivis sosial yang benar-benar membutuhkan. Sedekah afdhalnya diberikan pada waktu-waktu yang utama seperti  hari Jum’at, bulan Ramadhan, terutama pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari bulan Dzul Hijjah, hari-hari raya, serta di tempat-tempat yang utama seperti Mekah dan Madinah.

Sedekah pun sangat dianjurkan pada momen-momen penting seperti saat jihad, terjadi gerhana, sakit, dan haji, dengan sesuatu yang dicintai. Allah SWT berfirman, “Kalian tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kalian menginfakkan sebagian harta yang kalian cintai,” (QS. Ali Imran [3]: 92),

Sedekah sebaiknya dilakukan dengan niat yang tulus dan wajah yang berseri, agar kita mendapat pahala yang berlimpah. Jangan lupa membaca basmalah.

Kita dilarang menyedekahkan sesuatu yang dibutuhkan untuk menghidupi diri sendiri dan orang-orang yang wajib kita nafkahi selama sehari semalam, atau sesuatu yang dialokasikan untuk membayar utang yang belum jatuh tempo. Sebaliknya, kita dianjurkan menyedekahkan sesuatu yang melebihi kebutuhan, jika kita tidak keberatan untuk bersabar dalam kesukaran.

Makruh menerima sedekah dari orang yang memperolehnya dengan cara membeli atau cara lain. Sangat dianjurkan bersedekah air dan kambing untuk dimanfaatkan air susunya. Kambing ini dinamakan manihah (hewan ternak yang dimanfaatkan bulu dan susunya).

Orang kaya harta atau mempunyai pekerjaan haram meminta-minta. Dan menyebut-nyebut sedekah selain haram juga dapat menghilangkan pahala sedekah itu sendiri. Allah SWT berfirman, “Orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, kemudian tidak mengiringi apa yang dia infakkan itu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka” (QS. al-Baqarah [2]: 262),

C. Pendistribusian Zakat

1. Delapan Golongan Penerima Zakat

Zakat wajib diberikan kepada delapan golongan orang yang disebutkan dalam al-Qur’an, “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha bijaksana,” (QS. at-Taubah [9]: 60). Masing-masing golongan mendapat bagian seperdelapan zakat.

1) Fakir yaitu orang yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya serta tidak mempunyai pekerjaan yang layak. Fakir tidak memiliki harta sama sekali, atau memiliki harta namun tidak bisa mencukupi separuh kebutuhannya, atau kehilangan kesempatan kerja karena kesibukan menuntut ilmu syar’i.

Orang yang waktunya habis untuk beribadah (sehingga tidak sempat bekerja) tidak dinamakan fakir. Dia boleh diberi zakat, jika memiliki harta di luar yang jaraknya sejauh perjalanan yang diperbolehkan mengqashar shalat. Jika dia telah dicukupi oleh orang yang wajib menafkahinya, seperti suami atau kerabat dekat, tidak harus diberi zakat, sebab dia telah cukup dengan nafkah yang ada.

2) Miskin, yaitu orang yang mempunyai harta namun tidak mencukupi biaya hidup diri dan keluarga yang wajib dinafkahi, hanya menutupi sebagian kebutuhannya. Misalnya dia mampu membiayai separuh atau lebih kebutuhannya, seperti memiliki harta 3 atau 4 dirham, padahal dia membutuhkan 5 dirham.

Fakir dan miskin diberi zakat yang cukup untuk menutupi kebutuhannya; umpamanya diberi modal kerja atau aset untuk berdagang yang cocok dengannya. Jika dia sama sekali tidak sanggup bekerja, dia diberi zakat yang cukup untuk seumur hidup, yaitu enam puluh tahun dihitung secara umum. Hal itu jika zakat berlimpah. Misalnya zakat dibagikan oleh pemerintah atau pemilik harta, dan harta tersedia cukup banyak.

Jika pemilik harta membagikan langsung zakatnya, dan harta zakatnya sedikit, masing-masing golongan tetap memperoleh seperdelapan, baik zakat tersebut mencukupi kebutuhan yang telah disebutkan maupun tidak.

3) Amil, ialah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk mengurus zakat. Mereka antara lain petugas penarik zakat, pencatat zakat (yang  diberikan para pemilik harta), petugas yang mengumpulkan para pemilik harta, dan petugas yang membagikan zakat kepada orang yang berhak menerimanya.

Amil zakat memperoleh bagian seperdelapan. Jika bagian tersebut melebihi upah yang semestinya diterima, sisanya diberikan kepada pengurus yang lain. Sebaliknya apabila terlalu sedikit, upahnya disempurnakan yang diambil dari harta zakat. Ketentuan ini berlaku jika pemerintah yang membagikan. Apabila zakat dibagikan langsung oleh pemilik harta maka zakat hanya diberikan kepada tujuh golongan, karena amil tidak mendapat bagian zakat.

4) Mualaf, jika golongan mualaf ini orang-orang kafir, mereka tidak berhak mendapat zakat sedikit pun. Namun apabila muslim, mereka berhak diberi zakat untuk menarik hatinya hingga mereka mempunyai keyakinan yang kuat.

Mualaf adalah tokoh masyarakat yang diharapkan kualitas keislamannya menjadi baik atau keislaman para pemuka masyarakat lain yang setara dengannya. Atau mereka diberi tugas mengumpulkan zakat dari para pembangkang, dengan memanfaatkan kedekatan mereka, atau mereka berada di pihak kaum muslim dalam memerangi musuh dan membutuhkan biaya besar untuk melawannya.

5) Riqab yaitu hamba sahaya yang melakukan akad cicilan (kitabah) dengan majikannya dalam beberapa kali angsuran agar memperoleh kemerdekaan. Mereka berhak memperoleh zakat untuk melunasi angsurannya, jika tidak memiliki kekayaan untuk mengangsur demi kemerdekaannya.

6) Gharim (orang-orang yang berutang)

Mereka terbagi menjadi tiga kelompok sebagaimana berikut;

1. Orang yang berutang untuk mendamaikan dua pihak yang bertikai. Misalnya dia berutang sejumlah uang untuk meredam fitnah dalam kasus pembunuhan atau sengketa harta. Seperti beredarnya fitnah atau situasi mencekam antara dua kelompok yang disebabkan oleh pembunuhan atau sengketa harta, sehingga dia berutang untuk meredam situasi terburuk yang terjadi antara kedua belah pihak. Dia berhak disantuni jika fakir, untuk melunasi utangnya apabila ada sisa utang yang belum terbayar.

2. Orang yang berutang untuk membiayai hidup diri dan keluarganya. Dia berhak menerima zakat jika fakir.

3. Orang yang berutang untuk kepentingan yang telah disebutkan atau hal lain yang mubah, namun dia menyalahgunakannya untuk kegiatan maksiat, tetapi telah bertaubat. Menurut pendapat yang ashah, dia berhak mendapat bagian zakat. Bagiannya diberikan ketika utang telah jatuh tempo. Jika utang belum saatnya dilunasi, dia tidak diberi zakat.

7) Orang yang berjuang di jalan Allah (Fi Sabilillah), yaitu para mujahid yang belum terdaftar sebagai penerima gaji tetap dari negara. Mereka para sukarelawan perang. Mereka berhak memperoleh zakat untuk mencukupi kebutuhan perang seperti senjata dan kuda, termasuk senjata, baju besi, pakaian dan biaya hidup selama berperang.

8) Ibnu Sabil, yaitu musafir yang melewati daerah tempat zakat dikeluarkan, atau orang yang bersiap melakukan perjalanan dari daerah tempat zakat dikeluarkan bukan untuk tujuan maksiat. Ibnu sabil berhak mendapat biaya hidup dan transportast sesuai kebutuhan, meskipun dia orang kaya di daerah tempat tinggalnya, tetapi sekarang dia fakir.

Apabila seseorang mempunyai dua faktor yang menyebabkan dia berhak menerima zakat, seperti fakir dan berutang, dia hanya berhak memperoleh zakat dengan salah satu faktor yang ada.

2. Memindahkan Zakat

Jika golongan yang berhak menerima zakat ditemukan di daerah tempat harta tersebut berada, maka haram memindahkan zakat ke daerah lain. Kecuali pihak yang membagikan zakat adalah pemerintah maka boleh memindahkan zakat ke daerah lain.

Dalil yang melarang tindakan tersebut yaitu sabda Nabi SAW, “Zakat dipungut dari orang-orang kaya lalu diberikan kepada orang-orang fakir,” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Apabila harta wajib zakat berada di hutan atau tidak ditemukan golongan yang berhak menerima zakat, zakat boleh dialihkan ke daerah terdekat.

3. Pemerataan Zakat

Zakat wajib dibagikan secara merata kepada semua golongan. Masing-masing golongan berhak mendapat seperdelapan kecuali amil, ia menerima upah yang telah ditentukan.

Apabila satu golongan tidak ditemukan di daerah wajib zakat, bagiannya diberikan secara merata kepada golongan yang ada. Masing-masing memperoleh bagian sepertujuh. Jika dua golongan tidak ditemukan, setiap golongan memperoleh bagian seperenam dan seterusnya.

Jika zakat dibagikan langsung oleh muzakki, dan masing-masing golongan sudah terhitung secara pasti, atau zakat dibagikan oleh pemerintah secara mutlak (terhitung jumlahnya atau tidak), serta memungkinkan untuk dibagi secara merata sebab harta yang tersedia berlimpah, maka zakat wajib dibagikan secara merata.

Jika jumlah setiap golongan tidak dapat dihitung secara pasti, muzakki memberi zakat minimal kepada tiga orang dari masing-masing golongan, kecuali amil boleh hanya seorang.

Muzakki disunahkan memberikan zakat kepada kerabat dekat yang tidak wajib dinafkahi, sebab Rasulullah SAW bersabda, “Sedekah kepada orang miskin hanya mendapat pahala sedekah, sedang sedekah kepada kerabat dekat mempunyai dua dimensi; sedekah dan silaturrahmi.”

Muzakki disunahkan untuk membagikan zakat sesuai besar kebutuhan mustahik. Misalnya orang yang membutuhkan 100 dirham diberi kira-kira separuh dari kebutuhan orang yang memerlukan 200 dirham.

4. Golongan yang Tidak Berhak Menerima Zakat

Ada lima orang yang tidak boleh menerima zakat, yaitu:

1. Orang  kaya  harta atau pekerjaan.

2. Hamba sahaya, sebab kebutuhan hidupnya telah dicukupi oleh tuannya.

3. Keturunan bani Hasyim dan bani Muthalib. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya zakat ini kotoran manusia. la tidak halal bagi Muhammad dan keluarganya,” (HR. Muslim). Al-Hasan bin Ali pernah memasukkan kurma zakat ke mulutnya lalu Rasulullah SAW mengeluarkan kurma itu berikut air liurnya. Beliau bersabda, “Awas! Awas! Sesungguhnya kita keluarga Muhammad tidak halal memakan zakat” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

4. Orang yang wajib dinafkahi oleh muzakki, seperti istri atau kerabat, atas ñama fakir atau miskin, karena biaya hidup mereka telah dicukupi. Ini menurut pendapat yang ashah.

5. Orang kafir, karena Rasulullah SAW bersabda kepada Mu’adz ra “Beritahu mereka bahwa mereka wajib menunaikan zakat yang dipungut dan orang-orang kaya lalu diberikan kepada orang-orang fakir mereka,” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

• Zakat sebagai Pengganti Utang

Andaikan muzakki menyerahkan zakat kepada orang fakir, dengan syarat dia mengembalikan zakat tersebut untuk melunasi utangnya; atau muzakki berkata, “Aku jadikan hartaku yang ada dalam tanggunganmu sebagai zakat. Ambilah harta tersebut sebagai pengganti zakat untuk dirimu (untuk membebaskan utang).” pembayaran zakat dalam dua kasus ini tidak diperbolehkan.

Jika muzakki menyerahkan zakat kepada orang fakir dengan niat agar dia dapat melunasi utangnya, atau dia berkata, “Berikan hartaku, ia akan aku berikan kepadamu sebagai zakat”, atau orang yang berutang berkata, “Berikanlah zakat kepadaku agar aku dapat melunasi utangku kepadamu.” tindakan tersebut diperbolehkan, tetapi syarat yang dijanjikan tidak wajib dipenuhi.

Demikian penjelasan tentang Zakat yang Kami kutip dari Buku al-Fiqhu asy-Syafi’iy al-Muyassar, karya Prof. Dr. Wahbah Zuhaili

Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya

Dua Macam Berpikir, Karena Iman ...
الْفِكْرَةُ فِكْرَتَانِ فِكْرَةُ تَصْدِيْقٍ وَإِيْمَانٍ وَفِكْ...
Berpikir Adalah Pelita Hati
الْفِكْرَةُ سِرَاجُ الْقَلْبِ فَإِذَا ذَهَبَتْ فَلَا إِضَاءَةَ...
Pikirkan Makhluk-Nya
الْفِكْرَةُ سَيْرُ الْقَلْبِ فِى مَيَادِيْنِ الْأَغْيَارِ Berp...
Sangat terhina, waktu kosong tap...
الْخِذْلَانُ كُلَّ الْخِذْلَانِ اَنْ تَتَفَرَّغَ مِنَ الشَّوَا...
Orang Yang Diberkati Umurnya
مَنْ بُوْرِكَ لَهُ فِى عُمْرِهِ اَدْرَكَ فِى يَسِيْرٍ مِنَ الز...
Ada kalanya, Umur Panjang Tapi K...
رُبَّ عُمْرٍ اِتَّسَعَتْ امَادُهُ وَقَلَّتْ اَمْدَادُهُ وَرُبّ...

Anggota DINULQOYIM