Ilmu Hakekat, Datang Dengan Singkat Dan Dengan Cocok Syariat

الْحَقَائِقُ تَرِدُ فِى حَالِ التَّجَلِّي مُجْمَلَةً وَبَعْدَ الْوَعْيِ يَكُوْنُ الْبَيَانُ

فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَهُ ثُمَّ اِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ

Hakekat ilmu yang datang dari Allah ketika tajalli bersifat singkat. Setelah ditangkap, maka terjadilah penjelasan. ”Dan apabila Kami membaca Al-Qur’an maka ikutilah bacaannya, kemudian sesungguhnya Kami sendiri yang akan memberi penjelasan.”

 

Ilmu Tanpa Belajar

Ilmu itu bisa didapat dengan melalui ikhtiar belajar sebagaimana disebutkan:

الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ (ilmu itu bisa diraih dengan belajar)

Tetapi ada pula ilmu yang diperoleh tanpa ikhtiar, belajar atau wasithah (perantara). Ini disebut dengan ilmu hakikat atau ilmu ladunni yang dilemparkan oleh Allah ke hati orang arif billah tanpa perantara. Ilmu itu diberikan oleh Allah kepada hati yang bersih, yang bebas dari perbudakan selain Allah, yang pasrah diri sepenuhnya dan selalu butuh kepada Allah. Ilmu ini diberikan sebagai karamah dari Allah kepada orang yang bertakwa sesuai dengan janji Allah dalam Al-Qur’an,

وَاتَّقُوا اللهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللهُ

“Dan bertakwalah kalian kepada Allah, niscaya kalian akan diajar oleh Allah.” (QS. Al-Baqarah : 282)

Ahmad bin Hanbal bertemu dengan Ahmad bin Abil Hawari di Mekkah. Ahmad bin Hanbal berkata kepada Ahmad bin Abil Hawari: “Ceritakan kepadaku ucapan yang engkau dengar dari gurumu, Abi Sulaiman Ad-Darani.”

Ahmad bin Abil Hawari berkata, “Aku pernah mendengar Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, ‘Apabila jiwa itu sudah terbiasa meninggalkan dosa, maka ia berkeliling di alam malakut, kemudian ia kembali dengan membawa hikmah-hikmah (baru) yang indah tanpa diajar oleh seorang alim.’”.

Lalu Ahmad bin Hanbal berdiri dan duduk sebanyak tiga kali. “Aku tidak pernah mendengar dalam Islam ungkapan yang lebih mengagumkan diriku dari ini,” ucapnya. Kemudian ia menyebut hadits Rasulullah yang berbunyi:

مَنْ عَمِلَ بِمَا يَعْلَمُ وَرَّثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

“Barangsiapa mengamalkan ilmu yang ia ketahui, maka Allah akan memberinya ilmu yang tidak ia ketahui.” (HR. Abu Nuaim di Kitab Hilayatul Aulia)

Lalu Ahmad bin Hanbal berkata kepada Ahmad bin Abil Hawari, “Wahai Ahmad, kamu dan gurumu benar.”

Biasanya, ilmu ladunni ini didapat setelah orangnya payah belajar ilmu syariat dan mengamalkan ilmunya. Para ulama pengarang kitab seperti Nawawi dan Suyuthi mendapatkan ilmu ladunni setelah mereka bersusah payah mencari ilmu dan mengamalkan ilmu yang mereka miliki. Maka tidak mengherankan kalau karangan mereka sangat banyak, sangat berharga serta sulit dicari tandingannya. Sebab, mereka mengarang dituntun oleh Ilmu ladunni yang langsung datang dari Allah. Bahkan diceritakan, penanya berjalan sendiri di atas kertas ketika mengarang kitab.

Seorang Sufi mengatakan:

وَذٰلِكَ كُلِّهِ بِبَرَكَةِ صُحْبَةِ اَشْيَاخِنَا فَجَزَاهُمُ اللهُ عَنَّا اَحْسَنَ جَزَائِهِ

“Itu semua (dapat ilmu ladunni) berkat berteman dengan para guru kita, semoga Allah membalas mereka dengan balasan-Nya yang terbaik.”

 

Datangnya Singkat

Ilmu ladunni yang datang kepada seorang hamba pada mulanya turun dengan singkat dan belum jelas maknanya. Setelah ditangkap, dipikirkan dan direnungkan barulah ada penjelasan langsung dari Allah.

Oleh karena itu, apabila waridat itu datang, maka sebaiknya ditulis. Karena datangnya hikmah di saat tajalli itu tidak lurus dan tetap pada satu keadaan. Pertama kalinya datang seperti gunung. Apabila orang yang mendapat waridat itu lalai, maka waridatnya itu tampak seperti onta, terus seperti sapi, kambing dan akhirnya seperti telor kemudian menghilang. Apabila waridat tidak langsung dicatat, maka akan hilang begitu saja.

 

Cocokkan Dengan Syariat

Seseorang yang kedatangan warid, mukasyafah atau ilmu ladunni haruslah mencocokkannya dengan ilmu aqliah dan naqliah (syariat) yang ia miliki. Jika cocok dengan ilmu syariat (Al-Qur’an dan Hadits), maka bisa diterima dan diamalkan. Tetapi bila bertentangan, maka harus dibuang. Berarti mukasyafah itu bukan dari Allah, tetapi dari syetan.

Abu Bakar Al-Warraq mengatakan, “Ketika aku berada di lembah Bani Israil terlintas di hatiku bahwa ilmu hakekat bertentangan dengan ilmu syariat. Tiba-tiba muncul seseorang di bawah pohon ummi ghailan berteriak kepadaku, “Hai Abu Bakar, setiap hakekat yang bertentangan dengan syariat adalah kekufuran.”

Dikutip dari Buku al Hikam Mutiara Hikmah Kehidupan asuhan Habib Ahmad bin Husen Assegaf.

Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya

Dua Macam Berpikir, Karena Iman ...
الْفِكْرَةُ فِكْرَتَانِ فِكْرَةُ تَصْدِيْقٍ وَإِيْمَانٍ وَفِكْ...
Berpikir Adalah Pelita Hati
الْفِكْرَةُ سِرَاجُ الْقَلْبِ فَإِذَا ذَهَبَتْ فَلَا إِضَاءَةَ...
Pikirkan Makhluk-Nya
الْفِكْرَةُ سَيْرُ الْقَلْبِ فِى مَيَادِيْنِ الْأَغْيَارِ Berp...
Sangat terhina, waktu kosong tap...
الْخِذْلَانُ كُلَّ الْخِذْلَانِ اَنْ تَتَفَرَّغَ مِنَ الشَّوَا...
Orang Yang Diberkati Umurnya
مَنْ بُوْرِكَ لَهُ فِى عُمْرِهِ اَدْرَكَ فِى يَسِيْرٍ مِنَ الز...
Ada kalanya, Umur Panjang Tapi K...
رُبَّ عُمْرٍ اِتَّسَعَتْ امَادُهُ وَقَلَّتْ اَمْدَادُهُ وَرُبّ...

Anggota DINULQOYIM