Berat Kepada Nafsu, Lakukan! Itu Benar

اِذَا الْتَبَسَ عَلَيْكَ اَمْرَانِ فَانْظُرْ اَثْقَلَهُمَا عَلَى النَّفْسِ فَاتْبَعْهُ فَإِنَّهُ لَا يَثْقُلُ عَلَيْهَا اِلَّا مَا كَانَ حَقًّا

Jika kabur bagimu dua hal, maka perhatikanlah yang mana paling berat bagi nafsu, maka ikutilah. Sebab, tidak berat terhadap nafsu kecuali yang benar.

 

JIKA sukar bagimu untuk membedakan antara amal yang baik dan amal yang buruk, antara yang diridhoi Allah dan yang dimurkai Allah, maka Ibnu Athaillah memberi mizan (ukuran) untuk mengetahui kebenaran.

Mizannya, lihatlah mana di antara kedua hal tersebut yang lebih berat terhadap nafsu, maka ikuti dan kerjakan. Sebab, yang tidak disukai nafsu itulah yang benar. Karena, nafsu itu selalu mengikuti kesenangannya dan lari dari kewajiban-kewajiban.

Ibn Athaillah mengatakan dalam kata hikmah sebelumnya:

حَظُّ النَّفْسِ فِى الْمَعْصِيَةِ ظَاهِرٌ جَلِيٌّ وَحَظُّهَا فِى الطَّاعَةِ بَاطِنٌ خَفِيٌّ وَمُدَاوَاةُ مَا يَخْفَى صَعْبٌ عِلَاجُهُ

“Bagian hawa nafsu dalam perbuatan maksiat, jelas dan terang. Bagian hawa nafsu dalam perbuatan taat, halus dan samar. Dan untuk mengobati sesuatu yang samar itu sangat sukar penyembuhannya. ”

Oleh karena itu, jika nafsumu condong pada suatu amal dan amal itu terasa ringan untuk dilakukan maka curigailah. Tinggalkan amal itu. Lakukanlah amal yang dirasa berat oleh nafsu.

Suatu tanda kebenaran ialah berat untuk dilakukan. Memang, untuk menggapai sesuatu yang tinggi dan mulia perlu mujahadah (perjuangan yang keras). Tetapi untuk mendapatkan kerendahan sangatlah mudah. Sangatlah gampang menjatuhkan batu yang besar dari atas gunung, dan alangkah sulitnya mengangkat dan membawa batu ke atas gunung.

Begitu juga bila ada dua amal wajib atau dua amal sunnah, kita tidak tahu mana yang lebih wajib dan manakah yang lebih utama, maka lihatlah yang lebih berat terhadap nafsu. Maka yang lebih berat itulah yang lebih wajib dan yang lebih utama. Lakukanlah dan utamakan dari yang lain.

Ada lelaki yang setiap tahun pergi haji dengan jalan kaki. Pada suatu malam ketika ia tidur di atas tempat tidurnya, ibunya memanggilnya. Sang ibu memintanya mengambilkan air minum. Terasa berat bagi dirinya untuk berdiri mengambilkan air minum ibunya. Padahal jaraknya dekat. Lelaki itu teringat dengan ibadah haji yang ia lakukan selama ini. Berjalan kaki menempuh jarak yang jauh tidak terasa berat sama sekali. Ia koreksi (muhasabah) dirinya. Maka ia temukan bahwa yang membikin hajinya itu tidak terasa berat adalah ingin dipandang dan dipuji orang.

Ada seorang lelaki mau pergi haji berpamitan kepada Bisyr bin Al-Haris Al-Hafi.

“Aku mau haji. Apa perintah anda kepada saya?” ucap orang itu “Berapa biaya yang kau siapkan?” tanya Bisyr. “Dua ribu dirham.” .

“Apa tujuan hajimu? Melancong ataukah rindu kepada Baitullah atau mencari ridha Allah?”

“Mencari ridha Allah.”

“Bila engkau mendapat ridha Allah, dengan engkau tetap di rumah dan menafkahkan dua ribu dirham, dan yakin pasti kan dapat ridha Allah, apakah kau mau melakukannya?”

“Ya.”

“Pergilah, berikan uangmu itu kepada sepuluh orang dari orang yang punya hutang agar ia bisa melunasi hutangnya, orang faqir untuk menutupi kebutuhannya, orang yang berkeluarga untuk mencukupi keluarganya, pengasuh anak yatim untuk membahagiakan anak yatim yang diasuhnya. Bila hatimu kuat berikan kepada satu orang. Sebab, kau memasukkan kebahagiaan di hati orang muslim, membantu orang yang kesusahan, menghilangkan penderitaan dan menolong orang lemah. Itu lebih baik dari seratus haji setelah haji wajib. Laksanakan, keluarkan uangmu seperti yang aku suruh. Bila tidak, coba katakan padaku apa yang ada di hatimu?” nasihat Bisyr Al-Hafi kepada orang itu.

“Hai Abu Nasr, pergi haji lebih kuat di dalam hatiku,” jawab orang itu.

Bisyr tersenyum dan menghadap orang itu.

“Apabila harta dikumpulkan dari kotoran perdagangan dan syubhat, maka pasti nafsu ikut ambil bagian dalam harta itu, nafsu pura-pura menampakkan amal saleh. Padahal Allah telah bersumpah tidak akan menerima kecuali amal orang yang bertakwa,” ucap Bisyr kepada orang itu.

Ada mizan yang lebih tepat dalam mengukur benar, bathil dan baik buruknya sebuah amal. Yaitu, bayangkanlah kalau kematian itu tiba di saat mengerjakan amal itu. Apakah pelakunya senang dicabut nyawanya ketika melakukan hal tersebut atau gentar. Jika senang, berarti amal itu benar. Jika gentar, berarti amal itu bathil.

Akan tetapi mizan untuk mengukur amal di atas berlaku bagi seorang murid yang masih memerangi nafsunya. Berbeda dengan seorang arif yang sudah berhasil menundukkan nafsunya, sehingga nafsunya menjadi nafsu muthmainnah, maka mizan itu tidak berlaku. Bahkan sesuatu yang diingini hatinya ia laksanakan. Sebab, ia tidak menginginkan sesuatu kecuali apa yang dingini oleh Allah. Wallahu A’lam.

Dikutip dari Buku al Hikam Mutiara Hikmah Kehidupan asuhan Habib Ahmad bin Husen Assegaf.

Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya

Dua Macam Berpikir, Karena Iman ...
الْفِكْرَةُ فِكْرَتَانِ فِكْرَةُ تَصْدِيْقٍ وَإِيْمَانٍ وَفِكْ...
Berpikir Adalah Pelita Hati
الْفِكْرَةُ سِرَاجُ الْقَلْبِ فَإِذَا ذَهَبَتْ فَلَا إِضَاءَةَ...
Pikirkan Makhluk-Nya
الْفِكْرَةُ سَيْرُ الْقَلْبِ فِى مَيَادِيْنِ الْأَغْيَارِ Berp...
Sangat terhina, waktu kosong tap...
الْخِذْلَانُ كُلَّ الْخِذْلَانِ اَنْ تَتَفَرَّغَ مِنَ الشَّوَا...
Orang Yang Diberkati Umurnya
مَنْ بُوْرِكَ لَهُ فِى عُمْرِهِ اَدْرَكَ فِى يَسِيْرٍ مِنَ الز...
Ada kalanya, Umur Panjang Tapi K...
رُبَّ عُمْرٍ اِتَّسَعَتْ امَادُهُ وَقَلَّتْ اَمْدَادُهُ وَرُبّ...

Anggota DINULQOYIM