Sibuk Memuji Allah Sampai Lupa Diri

الْمُؤْمِنُ يُشْغِلُهُ الثَّنَاءُ عَلَى اللهِ عَنْ اَنْ يَكُوْنَ لِنَفْسِهِ شَاكِرًا وَتُشْغِلُهُ حُقُوْقُ اللهِ عَنْ اَنْ يَكُوْنَ لِحُظُوْظِهِ ذَاكِرًا

Orang mukmin disibukkan dengan memuji Allah sehingga ia tidak bersyukur (melihat) pada dirinya sendiri. Dan disibukkan dengan menunaikan kewajibannya kepada Allah sehingga tidak ingat pada kepentingan dirinya.

 

YANG dimaksud dengan mukmin pada kata hikmah ini adalah seorang mukmin yang sempurna dan benar imannya. Orang mukmin hakiki melihat segala perbuatan baiknya dan sifat-sifat terpuji yang ada pada dirinya semata dari anugerah Allah subhanhu wa ta’ala. Ia akan selalu sibuk memuji Allah atas anugerah dan kenikmatan ditampakkannya amal taat dan sifat baik itu pada dirinya. Ia tidak pernah menganggap itu datang dari dirinya sendiri. Oleh karena itu, karena disibukkan dengan memuji Allah maka ia tidak akan mensyukuri dirinya.

Arti mensyukuri diri adalah menganggap bahwa sifat baik dan amal taat itu datang dari dirinya. Itu berarti ia memuji dirinya dan ini bertentangan dengan memuji kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Apabila orang itu berkata, “Aku sholat, Aku puasa,” dan menganggap itu dari dirinya maka ia bukanlah seorang mukmin hakiki.

Seorang mukmin hakiki juga disibukkan dengan menunaikan hak-hak Allah yang wajib bagi dirinya sehingga ia lupa dengan keinginan, kesenangan, dan syahwat dirinya. Ia terus berusaha dengan keras untuk melaksanakan tugasnya sebagai seorang hamba Allah dengan sebaik-baiknya tanpa menuntut pahala, ingin surga atau lari dari neraka.

Kalaupun seorang mukmin itu melakukan keinginan dan syahwatnya itu, maka dia tidak akan melakukannya kecuali atas perintah dan izin dari Allah subhanahu wa ta’ala. Keinginan, kebutuhan, syahwat maka akan ia lakukan kalau cocok dengan syariat. Tapi, dorongan untuk melakukannya bukan semata karena nafsu dan syahwat tapi karena diperintah Allah untuk melakukannya.

Adapun keinginan dan syahwat yang tidak sesuai dengan syariat dan dilarang oleh agama maka pasti ia akan memposisikan dirinya seperti seorang yang dahaga yang melihat air segar di depannya, tapi ia yakin air itu mengandung racun yang membunuhnya. Tidak diragukan lagi dia akan menjauh dari air yang tampaknya nikmat tapi mematikan itu.

Dikutip dari Buku al Hikam Mutiara Hikmah Kehidupan asuhan Habib Ahmad bin Husen Assegaf.

Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya

Dua Macam Berpikir, Karena Iman ...
الْفِكْرَةُ فِكْرَتَانِ فِكْرَةُ تَصْدِيْقٍ وَإِيْمَانٍ وَفِكْ...
Berpikir Adalah Pelita Hati
الْفِكْرَةُ سِرَاجُ الْقَلْبِ فَإِذَا ذَهَبَتْ فَلَا إِضَاءَةَ...
Pikirkan Makhluk-Nya
الْفِكْرَةُ سَيْرُ الْقَلْبِ فِى مَيَادِيْنِ الْأَغْيَارِ Berp...
Sangat terhina, waktu kosong tap...
الْخِذْلَانُ كُلَّ الْخِذْلَانِ اَنْ تَتَفَرَّغَ مِنَ الشَّوَا...
Orang Yang Diberkati Umurnya
مَنْ بُوْرِكَ لَهُ فِى عُمْرِهِ اَدْرَكَ فِى يَسِيْرٍ مِنَ الز...
Ada kalanya, Umur Panjang Tapi K...
رُبَّ عُمْرٍ اِتَّسَعَتْ امَادُهُ وَقَلَّتْ اَمْدَادُهُ وَرُبّ...

Anggota DINULQOYIM