Sampai Kepada Allah Lewati Rintangan Nafsu

لَوْلَا مَيَادِيْنُ النُّفُوْسِ مَا تَحَقَّقَ سَيْرُ السَّائِرِيْنَ اِذْ لَا مَسَافَةَ بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ حَتَّى تَطْوِيَهَا رِحْلَتُكَ وَلَا قَطْعَةَ بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ حَتَّى تَمْحُوَهَا وُصْلَتُكَ

Seandainya tidak ada medan perjuangan untuk melawan nafsu maka tidak akan terbukti perjalanan orang yang menempuh jalan Allah, sebab tidak ada jarak antara engkau dan Allah sehingga engkau menempuhnya dengan kendaraanmu dan tidak pernah terputus antara engkau dan Allah sehingga bisa disambung dengan hubunganmu.

 

PERJALANAN menuju Allah itu dengan memutus rintangan nafsu dan melawannya sampai hati menjadi bersih, memiliki keahlian untuk dekat kepada Allah dan bisa mencapai puncak kebahagiaan bertemu dengan Allah. Andai tidak ada perjuangan untuk melawan nafsu tersebut, maka tidak menjadi nyata perjalanan dan suluknya orang yang menempuh jalan Allah. Sebab, Allah itu lebih dekat kepada seorang hamba-Nya daripada hamba itu sendiri. Tidak ada jarak yang perlu ditempuh dan tidak pernah terputus sehingga perlu disambung. Maha suci Allah dari semua itu. Allah Ta’ala berfirman:

وَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ

“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.” (QS. Qaf : 16)

Apa yang dikatakan oleh Ibnu Athaillah ini menunjukkan bahwa nafsu itu adalah hijab terbesar seorang hamba dari Allah. Dan dengan memerangi, melawan dan mematikan nafsu, maka ia bisa memperoleh kebahagiaan berupa melihat dan bertemu Allah. Semua ini benar adanya.

Abu Yazid Al-Busthami bermimpi melihat Allah.

“Tuhanku, bagaimana jalan untuk sampai kepada-Mu?” tanya Abu Yazid dalam mimpinya itu.

“Tinggalkan nafsumu lalu datanglah pada-Ku,” firman Allah kepadanya.

Seorang sufi berkata: “Kehidupan yang sesungguhnya itu dengan mati.” Maksudnya, hati bisa hidup hanya dengan mematikan nafsu. Ada pula yang berucap, “Kenikmatan terbesar adalah lepas dari nafsu, karena nafsu adalah hijab terbesar antara engkau dan Allah.”

Abu Madyan berkata: “Barangsiapa tidak mati, maka ia tidak melihat Allah.” Maksudnya, mati nafsunya.

Hatim Al-Asham berkata: “Orang yang masuk ke golongan kami maka ia harus mematikan dirinya empat kali. Mati merah, mati hitam, mati putih dan mati hijau. Mati putih adalah menahan lapar. Mati hitam adalah tabah menghadapi gangguan orang. Mati merah adalah menundukkan nafsu. Mati hijau artinya memakai pakaian tambalan.”

Syeikh Abu Bakar bin Salim mengatakan, “Siapa yang melihat nafsunya dengan pandangan kebencian, maka Allah memandangnya dengan pandangan keridhaan. Barangsiapa menatap nafsunya dengan pandangan keridhaan, maka Allah melihatnya dengan pandangan kebencian.” Perkataan Syeikh Abu Bakar bin Salim ini menyatakan bahwa Allah ridha kepada seseorang apabila hamba itu melawan nafsunya. Tapi mereka yang menuruti hawa nafsunya, maka ia dalam murka Allah.

Habib Abdurrahman bin Muhammad Assegaf, “tokoh besar Ba Alawi, berkata:

مَا اَدْرَكْنَا شَيْئًا اِلَّا لَمَّا رَجَعْنَا لِمَعْرِفَةِ النَّفْسِ

“Kami tidak mendapat sesuatu, kecuali ketika kami kembali untuk mengenal nafsu”

Artinya, hanya dengan mujahadah melawan nafsu seseorang bisa mendapatkan keistimewaan dari Allah.

Bukan hanya dalam bersuluk kepada Allah yang memerlukan mujahadah (perjuangan), dalam mencapai cita-cita dan tujuan apapun juga memerlukan mujahadah. Dengan mujahadah (perjuangan), berpayah-payah yang banyak, serta usaha yang keras, maka seseorang bisa mendapatkan apa yang ia impikan. Misalnya, untuk menjadi seorang alim yang pandai ilmu bisa diraih dengan usaha keras, belajar dengan giat. Sedangkan mereka yang bermalas-malasan, suka tidur, maka sulit akan menggapai yang ia cita-citakan.

Syair Arab menyatakan:

وَاِذَا كَانَتِ النُّفُوْسُ كِبَارًا     ۞   تَعِبَتْ فِى مُرَادِهَا الْاَجْسَامُ

Apabila jiwa seseorang itu besar,

maka badan-badan merasa kepayahan untuk mendapatkan cita-citanya.

Begitulah keistimewaan manusia. Segala yang ia inginkan bisa ia dapatkan, asalkan ia benar-benar punya hasrat yang tinggi dan usaha yang keras. Gunung pun bisa ia robohkan. Pepatah Arab mengatakan:

هِمَّةُ الرِّجَالِ تَهْدِمُ الْجِبَالَ

“Cita-cita lelaki jantan bisa merobohkan gunung.”

Bahkan dari istimewanya manusia, ia bisa melihat dan bertemu Allah ketika makhluk yang lain, bahkan malaikat pun, tidak mampu untuk meraih itu. Namun disayangkan, seperti yang dikatakan oleh Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, di akhir zaman ini manusia banyak ditimpa Futur al-Himmah (lemah semangat).

 

Cara Mematikan Nafsu

Cara seorang murid agar berhasil mematikan nafsunya ialah pertama kali ia harus merasa butuh, memohon perlindungan, dan memohon kepada Allah agar Allah memberinya pertolongan dan kekuatan untuk mengalahkan nafsunya dan supaya Allah memberinya kemudahan dalam menempuh jalan suluk kepada Allah. Ini harus selalu dijadikan pedoman dan pegangan di setiap waktu. Sebab, seperti yang dikatakan seorang sufi, tidak mungkin lepas dari nafsu dengan melalui nafsu. Tetapi seseorang bisa lepas dari nafsu dengan bantuan Allah.

Kemudian ia harus menjaga dan melaksanakan adab-adab syariat. Dahulukan yang terpenting kemudian yang penting. Laksanakan yang wajib, baru yang sunnah. Beribadah dengan mendahulukan yang kurang penting, padahal ada yang lebih penting, berarti ia beribadah mengikuti nafsu, bukan mengikuti ilmu.

Dalam beribadah ia harus mengikuti sunnah Nabi. Sebab, semua jalan menuju Allah itu buntu kecuali dengan mengikuti Nabi. Ini sudah disepakati oleh semua masyayikh di seluruh dunia.

Sedang-sedanglah dalam beribadah. Jangan kurang atau lebih. Jangan ceroboh dan jangan keterlaluan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam hadits riwayat Aisyah:

اكْلَفُوْا مِنَ الْعَمَلِ مَا تُطِيْقُوْنَ فَإِنَّ اللهَ لَا يَمَلُ حَتَى تَمَلُوْا وَاِنَّ اَحَبَّ الْعَمَلِ اِلَى اللهِ اَدْوَمَهُ وَاِنْ قَلَّ

“Laksanakan amal perbuatanmu sekuat tenagamu karena Allah tidak jemu (memberimu pahala) sehingga kamu jemu. Dan sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang selalu dilakukan, walaupun sedikit.”

 

Harus Punya Guru

Di samping seorang murid itu memiliki persiapan dengan melakukan mujahadah dan sungguh-sungguh dalam menempuh jalan Allah, ia juga harus mempunyai guru muhaqqiq yang menuntunnya kepada Allah, sehingga dalam perjalanan itu ia tidak tersesat. Sang guru itu harus berhati bersih yang dulunya dididik dan dibersihkan hatinya oleh guru sebelumnya dan seterusnya sampai kepada Rasulullah. Seorang guru Ahli Tazkiyah (yang bisa membersihkan hati, yang mendidik muridnya dengan ucapan, perbuatan dan (hal) kekuatan batinnya), bukan guru yang hanya sekedar membacakan dan mengajar saja. Tazkiyah (pembersihan hati) adalah tugas penting Rasulullah dalam berdakwah.

Seorang yang “mendidik” orang lain, tapi ia belum terdidik oleh guru sebelumnya, maka ia akan rusak dan merusak. Abu Madyan berkata: “Orang yang tidak mengambil adab (didikan) dari orang-orang yang terdidik, maka ia bisa merusak para pengikutnya.”Para sufi menyatakan bahwa orang yang tidak memiliki guru, maka syetanlah gurunya.

Lalu bagaimana cara mendapat guru yang istimewa tersebut?

Memang sulit untuk mendapat guru seperti itu. Tapi hal itu dimudahkan oleh Allah bagi orang yang bersungguh-sungguh. Dengan kesungguhan hati, maka guru yang bisa membimbing dalam perjalanan menuju Allah itu bisa ditemukan. Sebagaimana Imam Asy-Syadzili dengan kesungguhannya dipertemukan oleh Allah dengan Abdussalam bin Masyish, mursyidnya, dan Kiai Hamid dipertemukan dengan Habib Jakfar bin Syaikhan Assegaf.

Allah Ta’ala berfirman:

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا

“Orang-orang yang bersungguh-sungguh menuju Kami, akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami. ” (QS. Al-‘Ankabut : 69)

Maka yang terpenting adalah kesungguhan, sebab kesungguhan itu adalah kendaraan yang cepat yang bisa menyampaikan seseorang kepada Allah. Ini seperti yang disebutkan oleh Habib Abdullah Al-Haddad dalam syairnya:

وَلَابُدَّ مِنْ شَيْخٍ تَسِيْرُ بِسَيْرِهِ  ۞   اِلَى اللهِ مِنْ اَهْلِ الْقُلُوْبِ الزَّكِيَّةِ

مِنَ الْعُلَمَاءِ الْعَارِفِيْنَ بِرَبِّهِمْ   ۞   فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَالصِّدْقُ خَيْرُ مَطِيَّةِ

Harus ada guru berhati bersih yang menuntunmu menuju Allah

Dari para ulama yang arif dengan Tuhan mereka

Bila tidak kau temukan, maka kesungguhan adalah sebaik-baik kendaraan.

Dikutip dari Buku al Hikam Mutiara Hikmah Kehidupan asuhan Habib Ahmad bin Husen Assegaf.

Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya

Dua Macam Berpikir, Karena Iman ...
الْفِكْرَةُ فِكْرَتَانِ فِكْرَةُ تَصْدِيْقٍ وَإِيْمَانٍ وَفِكْ...
Berpikir Adalah Pelita Hati
الْفِكْرَةُ سِرَاجُ الْقَلْبِ فَإِذَا ذَهَبَتْ فَلَا إِضَاءَةَ...
Pikirkan Makhluk-Nya
الْفِكْرَةُ سَيْرُ الْقَلْبِ فِى مَيَادِيْنِ الْأَغْيَارِ Berp...
Sangat terhina, waktu kosong tap...
الْخِذْلَانُ كُلَّ الْخِذْلَانِ اَنْ تَتَفَرَّغَ مِنَ الشَّوَا...
Orang Yang Diberkati Umurnya
مَنْ بُوْرِكَ لَهُ فِى عُمْرِهِ اَدْرَكَ فِى يَسِيْرٍ مِنَ الز...
Ada kalanya, Umur Panjang Tapi K...
رُبَّ عُمْرٍ اِتَّسَعَتْ امَادُهُ وَقَلَّتْ اَمْدَادُهُ وَرُبّ...

Anggota DINULQOYIM