RUJUK

RUJUK

1. Definisi dan Pensyariatan Rujuk

Rujuk secara bahasa berarti tahapan kembali, sedangkan secara syara’ artinya mengembalikan istri pada ikatan pernikahan setelah ditalak selain ba’in pada masa ‘iddah dengan cara tertentu. Ketika seorang suami menalak istrinya setelah berhubungan intim dengan talak satu atau dua tanpa kompensasi maka dia boleh merujuknya sebelum habis masa ‘iddah, meski dia telah menggugurkan hak rujuknya tersebut, baik istrinya ridha maupun tidak.

Syariat rujuk berlaku melalui ketetapan Allah SWT, “Para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu,” (yakni masa ‘iddah) “jika mereka menghendaki perbaikan,” yakni rujuk yang shahih (QS. al-Baqarah [2]: 228). Allah SWT juga berfirman, “Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik,” (QS. al-Baqarah [2]: 229). Tindakan menalak dan menahan dapat ditafsirkan dengan rujuk.

Diriwayatkan dari Umar ra bahwa Rasulullah saw telah menalak Hafshah kemudian merujuknya, (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan ad-Darimi). Rasulullah saw bersabda, “Jibril telah menemuiku lalu berkata, ‘Rujuklah Hafshah karena dia wanita yang rajin berpuasa dan qiyamulail. Sungguh, dia istrimu disurga,'” (HR. Abu Dawud dan periwayat lainnya dengan sanad yang hasan) beliau juga bersabda kepada Umar ra “Perintahkan dia untuk merujuknya”.

2. Rukun dan Syarat Rujuk

Rukun rujuk ada tiga yaitu, suami yang merujuk, shighat atau kalimat rujuk, dan istri yang dirujuk. Adapun talak, ia merupakan penyebab adanya rukun, bukan bagian dari rukun rujuk itu sendiri.

a. Suami yang Merujuk

Suami sebaiknya melakukan rujuk sendiri, sebab dia telah baligh, berakal, atas kehendak sendiri dan tidak murtad. Rujuk itu seperti pernikahan, sehingga tidak sah rujuknya orang murtad, anak kecil, orang gila, dan orang yang dipaksa. Namun, rujuk yang dilakukan orang mabuk hukumnya sah. Sementara talak yang dilakukan anak kecil tidak bisa diilustrasikan, sehingga dapat dikatakan rujuknya tidak sah. Seandainya seorang suami menjatuhkan talak lalu dia gila, menurut pendapat yang shahih, wali boleh merujuknya sebab wali pun boleh melakukan akad nikah untuknya. Aturan ini berdasarkan bolehnya mewakilkan rujuk.

b. Shighat Rujuk

Shighat (ungkapan) rujuk hanya sah dengan menggunakan lafazh rujuk saja, bukan ungkapan lain seperti “bersenang-senang” dan “berhubungan intim”. Suami bisa mengatakan, “Raaja’tuki; raja’tuki; atau irtaja’tuki,” (semuanya berarti “aku merujukmu”). Shighat rujuk seperti ini termasuk lafazh sharih, karena dipakai dalam sejumlah hadits. Atau suami menggunakan lafazh “aku kembali padamu” atau “aku menahanmu padaku” atau “aku menahanmu pada pernikahanku”. Kalimat ini juga termasuk shighat rujuk yang sharih. Atau bisa juga dengan kalimat “aku mengawinimu” atau “aku menikahimu” tapi dengan niat rujuk. Kedua shighat yang terakhir ini termasuk rujuk secara kinayah. Jadi, rujuk sah dilakukan, baik secara kinayah maupun sharih.

Dalam qaul jadid disebutkan bahwa dalam rujuk tidak disyaratkan adanya persaksian sebab wanita yang dirujuk masih dalam ikatan pernikahan sebelumnya. Karena itu, rujuk tidak butuh wali dan keridhaan istri. Adapun ketentuan adanya saksi dalam ayat, “Rujuklah (kembali kepada) mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian,” (QS. ath-Thallaq [65]: 2) lebih mengarah pada hukum anjuran, seperti halnya firman Allah SWT “Ambillah saksi apabila kalian berjual beli,” (QS. al-Baqarah [2]: 282). Sebab, proses rujuk seperti itu akan aman dari tindakan penolakan. Persaksian hanya diwajibkan pada awal pernikahan. Selain itu, dalam rujuk, ikatan perkawinan telah terjalin.

Rujuk tidak boleh dilakukan dengan taklik dan batasan waktu tertentu, seperti halnya akad nikah. Apabila suami berkata kepada istri yang telah ditalaknya, “Aku merujukmu, jika kamu mau,” maka rujuknya tidak sah. Berbeda dengan kasus jual beli.

Rujuk tidak bisa dilakukan dengan perbuatan, seperti hubungan intim dan tindakan yang mengarah ke sana, meskipun perbuatan tersebut diniatkan rujuk sebab tidak ada indikator yang mengarah pada tindakan rujuk. Aturan ini juga berlaku dalam kasus pernikahan. Di samping itu, hubungan intim berimplikasi ‘iddah, bagaimana mungkin dia bisa memutusnya?!

c. Wanita yang Dirujuk (Istri)

Yakni istri yang sudah digauli dan ditalak tanpa kompensasi, baik talak satu maupun talak dua, masih menjalani masa ‘iddah (tiga kali masa sucian), serta masih halal bagi suami yang mengajukan rujuk. Orang kafir tidak sah merujuk istrinya yang telah masuk Islam. Orang muslim tidak sah merujuk istri yang murtad sebab tujuan rujuk adalah menghalalkan, sedangkan murtad menafikan hal tersebut. Demikian pula jika suami atau suami istri murtad, rujuk mereka tidak sah.

Penetapan hak rujuk bagi suami ini berdasarkan firman Allah SWT, “Para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu,” (QS. al-Baqarah [2]: 228). Apabila seorang suami menyetubuhi istri yang akan dirujuknya secara syubhat atau faktor lain dan dia memulai kembali ‘iddahnya sebab hubungan intim tersebut begitu suaminya selesai melakukan persetubuhan maka si suami merujuknya pada masa ‘iddah talak yang terdahulu. Jika hubungan intim tersebut terjadi setelah ‘iddah memasuki masa dua kali suci, rujuk pun ditetapkan pada satu kali suci lagi.

Bersenang-Senang dengan Istri yang Ditalak

Bersenang-senang dengan istri yang telah ditalak sebelum rujuk, meskipun hanya memandang  walau tanpa syahwat hukumnya haram. Sebab, dia telah berpisah dari suami, kedudukannya seperti wanita yang tertalak ba’in. Pernikahan membolehkan bersenang-senang, lalu talak mengharamkannya. Talak merupakan kebalikan dari pernikahan. Kalangan Hanafiyah memperbolehkan suami yang sudah menjatuhkan talak untuk bersenang-senang dengan mantan istrinya yang sedang menjalani masa Iddah talak raj’i. Hal tersebut dengan argumen bahwa suami seperti itu dalam al-Qur’an disebutkan sebagai ba’l (pejantan). Selain itu, dia juga boleh melakukan talak yang lain. Ini berbeda dengan suami yang menzhihar istrinya, suami adalah ba’l, namun tidak halal bersenang-senang dengan istrinya sebelum dia membatalkan zhiharnya. Kasus ini juga berbeda dengan keharaman suami dari istri yang sedang haid, di mana suami haram berhubungan intim dengan istrinya selama haid.

Apabila seorang suami berhubungan intim dengan istrinya yang sudah ditalak raj’i, dia tidak dikenai had, meskipun mengetahui keharaman itu sebab ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya hubungan tersebut. Dia juga tidak ditakzir, kecuali bagi suami yang meyakini keharaman hubungan intim itu sebab telah menjerumuskan dirinya sendiri dalam maksiat sebagaimana menurut keyakinannya. Ini berbeda dengan orang yang meyakini kehalalannya dan orang yang tidak mengetahui keharamannya.

Suami yang berhubungan intim dengan istri yang telah ditalak raj’i wajib memberikan mahar mitsil jika belum rujuk. Bahkan menurut al-Madzhab, sudah rujuk pun wajib membayar kompensasi sebesar mahar mitsil. Ini akibat hubungan intim tersebut syubhat. Jika talak itu dilakukan dengan kompensasi, tidak ada rujuk sebelum maupun sesudah hubungan intim.

Beberapa Sumpah yang Bisa Menimpa Istri yang Dikhulu’

Sebagian hukum pernikahan berlaku bagi istri yang berada dalam masa ‘iddah talak raj’i. Sebut saja misalnya, suami boleh menalaknya sekali atau dua kali lagi dan istri pun terkena talak. Suami boleh menjatuhkan ila’, zhihar, dan li’an sebab masih adanya wewenang atas istri melalui jalur rujuk.

Hubungan waris pun masih berlaku antara suami dan istri yang ditalak raj’i. Apabila salah satunya meninggal maka yang lain mewarisi hartanya.

3. Sengketa antara Suami dan Istri yang Ditalak Raj’i

Sengketa antara suami dan istri yang ditalak raj’i kerap terjadi dalam beberapa kasus. Berikut  di antaranya.

a. Sengketa Habisnya Masa ‘Iddah

Jika seorang istri yang baligh dan berakal menjalani ‘iddah raj’i mengklaim bahwa masa ‘iddah telah habis -misalnya karena dia sudah menopause- dan suami menyanggahnya maka pernyataan suami dimenangkan di bawah sumpah. Dalam kasus ini yang dibenarkan adalah pernyataan suami. Begitu pula persengketaan mengenai waktu talak, sesuai dengan kaidah yang menyebutkan, “Pendakwa yang pernyataannya tentang sesuatu diterima maka pernyataannya tentang sifat sesuatu itu juga diterima.”

b. Sengketa Mengenai Kelahiran Anak

Jika istri yang ditalak raj’i dalam waktu yang memungkinkan mengaku telah melahirkan, baik bayinya hidup maupun mati dan dia termasuk wanita subur menurut pendapat yang ashah, gugatannya diterima di bawah sumpah hanya setelah masa ‘iddahnya habis, bahwa saat dirujuk dia telah melahirkan. Sebab, wanita itu bisa dipercaya tentang apa yang ada dalam rahimnya; dan membuktikan adanya kelahiran kadang menyulitkan.

Masa minimal kandungan yang memungkinkan seorang wanita hamil untuk melahirkan adalah enam bulan ditambah waktu yang dibutuhkan untuk berhubungan intim dan bersalin. Ini dalam persalinan nonprematur, dihitung dari waktu yang memungkinkan hubungan intim suami istri pasca-pernikahan, mengingat nasab ditetapkan dengan adanya kemungkinan tersebut. Acuan enam bulan ini karena ia merupakan masa minimal kandungan, seperti dikemukakan oleh Imam Ali saw berdasarkan ayat, “Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan,” (QS. al-Ahqaf [46]: 15) dan ayat “…dan menyapihnya dalam usia dua tahun,” (QS. Luqman [31]: 14). Demikian halnya persalinan prematur yang janinnya telah berbentuk. Masa minimal kemungkinan persalinan prematur adalah 120 hari (empat bulan), ditambah dua jam yang memungkinkan untuk berhubungan intim setelah pernikahan.

Apabila istri yang sedang menjalani ‘iddah tidak mengaku telah melahirkan, justru mengaku telah menggugurkan janinnya yang belum berbentuk (mudhghah) dan para ahli kandungan menyatakan bahwa itu merupakan bakal anak, maka masa minimal kemungkinan pembentukan mudhghah adalah delapan puluh hari ditambah dua jam saat yang memungkinkan untuk berhubungan intim.

Jika istri yang tertalak raj ‘i menggugat ihwal habisnya masa beberapa persucian maka waktu minimal yang memungkinkan habisnya persucian adalah 32 hari ditambah dua jam. Misalnya dia ditalak dan masih tersisa masa suci -yaitu satu quru‘-  lalu haid sehari semalam kemudian suci selama 15 hari -berarti ini dua quru‘-  lalu haid lagi sehari semalam (minimal masa haid) kemudian suci selama 15 hari -quru‘ ketiga- lanjutnya masuk haid yang baru maka haid terakhir ini tidak termasuk ‘iddah, justru masa ‘iddah diyakini telah habis.

Apabila seorang istri yang merdeka ditalak saat haid maka masa minimal kemungkinan sucinya adalah 47 hari ditambah waktu sesaat. Misalnya suaminya menaklik talak pada akhir masa haidnya, kemudian dia menjalani masa suci selama 15 hari, lalu haid sehari semalam, lantas suci lagi selama 15 hari, kemudian haid sehari semalam, lalu memasuki masa suci kembali selama 15 hari, lantas haid lagi maka dalam hal ini tidak perlu menghitung waktu yang sesaat pada masa suci yang pertama sebab masa tersebut dihitung quru‘.

C. Sengketa Waktu Rujuk pada Masa’ Iddah

Apabila seorang suami mengklaim istrinya yang ditalak raj’i ketika ‘iddahnya selesai bahwa dirinya telah merujuknya pada masa ‘iddah lalu si istrinya menyangkal maka hukumnya adalah sebagai berikut. Jika keduanya sepakat mengenai waktu habisnya ‘iddah, misalnya suami berkata, “Aku telah rujuk pada hari Kamis.” Kemudian istrinya menyangkal, “Bukan, kamu merujuk pada hari Sabtu,” menurut pendapat yang shahih bantahan istri tersebut dibenarkan karena hukum asalnya tidak ada rujuk sebelum hari Sabtu.

Jika suami istri tersebut tidak sepakat perihal waktu habisnya ‘iddah, bahkan tidak menyepakati hari terjadinya rujuk, misalnya si istri berkata, “‘Iddahku habis hari Sabtu,” suaminya menyanggah, “Tidak, ‘iddahmu habis hari Kamis,” maka menurut pendapat yang ashah, pernyataan suami dimenangkan di bawah sumpah bahwa ‘iddah istrinya habis hari Kamis. Sebab, hukum asalnya adalah masa ‘iddahnya habis pada hari Kamis.

Apabila keduanya bersengketa perihal lebih dulu habisnya masa ‘iddah, tanpa ada kesepakatan mengenai waktu rujuk atau waktu habisnya ‘iddah, maka pendapat yang ashah menguatkan lebih dulunya gugatan, sebab penetapan hukum adalah berdasarkan pernyataan yang terlebih dulu. Apabila istri lebih dulu mengklaim perihal masa ‘iddahnya telah habis, kemudian suami mengklaim telah merujuk sebelum habisnya masa ‘iddah maka si istri dimenangkan di bahwah sumpah bahwa ‘iddahnya telah habis sebelum rujuk. Gugatan suaminya gugur sebab keduanya sepakat akan habisnya masa Iddah dan bersengketa mengenai tanggal terjadinya rujuk. Hukum asalnya adalah tidak adanya rujuk. Jadi, gugatan istri diperkuat oleh hukum asal.

Apabila suami mengklaim telah melakukan rujuk sebelum habisnya masa ‘iddah, lalu istrinya berkata, “Justru kamu merujukku setelah habisnya ‘iddah,” maka pernyataan suami dibenarkan di bawah sumpah. Alasannya, keduanya menyepakati rujuk dan bersengketa perihal tanggal habisnya ‘iddah. Hukum asalnya adalah tidak adanya masa ‘iddah, dan klaim suami diperkuat dengan adanya kesepakatan tersebut.

Apabila klaim terjadi secara bersamaan, misalnya suami berkata, “Aku telah merujukmu,” lalu istrinya menjawab, “Tapi saat itu ‘iddahku telah habis,” maka klaim istri dibenarkan di bawah sumpah. Sebab, habisnya masa ‘iddah biasanya lebih diketahui oleh pihak istri.

Ketika seorang suami mengklaim telah melakukan rujuk dan ‘iddah istri masih berlangsung berdasarkan kesepakatan keduanya, dan si istri menyangkal pernyataan suami, maka klaim suami dimenangkan di bawah sumpah sebab dialah yang berhak menyatakan rujuk.

Jika seorang istri mengingkari adanya rujuk dari suaminya dan pernyataannya dimenangkan seperti dikemukakan di depan, kemudian dia mengakui telah ada rujuk maka pengakuannya diterima sebab dia telah menolak secara benar kemudian mengakuinya. Selain itu, rujuk merupakan hak suami.

•   Talak Satu dan Dua serta Hubungan Intim Sebelumnya

Ketika seorang suami menalak istrinya kurang dari talak tiga, misalnya dia berkata, “Aku telah berhubungan intim dengan istriku sebelum talak. Jadi, aku berhak merujuknya,” namun istrinya menyanggah maka istrinya dimenangkan di bawah sumpah. Sebab, hukum asalnya adalah tidak adanya hubungan intim. Klaim hubungan intim suami merupakan hubungan intim yang menetapkan maskawin bagi istri. Pihak istri tidak hanya boleh menuntut setengah maskawin, bahkan bila istri telah menerima maskawin, suami tidak boleh menarik kembali mahar tersebut sebagai konsekuensi atas pengakuannya. Namun, dia tidak boleh menuntutnya selain sebagian mahar saja, sebagai konsekuensi atas pengingkarannya.

•   Berapa Jatah Talak yang Dimiliki Suami terhadap Istrinya yang Telah Dirujuk?

Ketika seorang suami telah merujuk istrinya, dia masih mempunyai jatah talak yang tersisa. Jika dia menjatuhkan talak satu, berarti dia masih mempunyai jatah dua talak lagi. Jika dia menjatuhkan talak dua, dia mempunyai jatah satu talak lagi.

Apabila masa ‘iddah seorang istri telah habis, lewatlah masa rujuk. Dalam kondisi ini, untuk rujuk kembali membutuhkan akad nikah yang baru. Apabila suami telah memperbarui akad nikah dengan istrinya sebelum atau setelah menikah dengan pria lain tapi belum berhubungan intim, atau setelah berhubungan intim dengan suami baru, maka jatah talak yang tersisa masih dia miliki. Suami kedua si istri tidak melebur sisa jatah talaknya berdasarkan riwayat Umar ra. Umar ra pernah ditanya perihal laki-laki yang menalak istrinya dengan talak dua dan ‘iddahnya telah habis, lalu menikah dengan laki-laki lain kemudian istrinya bercerai dari laki-laki tersebut. Setelah itu, laki-laki yang pertama kembali menikahinya. Umar ra menjawab, “Dia masih mempunyai sisa jatah talak.Talak satu dan talak dua tidak berpengaruh terhadap keharaman akibat adanya suami baru. Karena itu, pernikahan yang kedua dan berhubungan intim di sana tidak menggugurkan jatah talak.

Rujuknya Istri yang ditalak Tiga setelah Menikah dengan Pria lain (NikahTahlil)

Apabila suami menalak istrinya dengan talak tiga, wanita itu tidak halal baginya kecuali setelah adanya lima hal berikut.

1. Masa ‘iddah dari suami pertama telah habis.

2. Wanita itu menikah lagi dengan pria lain.

3. Wanita itu berhubungan intim dengan suami kedua.

4. Wanita itu benar-benar telah terlepas ikatan pernikahan dengan suami kedua (bainunah; bisa dengan berakhirnya masa ‘iddah atau dia ditalak tiga oleh suami kedua).

5. Habisnya masa ‘iddah dari suami kedua.

Ketentuan di atas berdasarkan firman Allah SWT, “Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain,” (QS. al-Baqarah [2]: 230). Maksud “sebelum dia menikah dengan suami yang lain” adalah berhubungan intim, sebagaimana dijelaskan dalam as-Sunnah dari hadits Aisyah ra, dia berkata, “Suatu hari istri Rifa’ah al-Qurazhi menemui Nabi dan berkata, ‘Aku menikah dengan Rifa’ah lalu dia menalakku. Jatuhlah talak bagiku. Setelah itu, aku menikah dengan Abdur Rahman bin az-Zubair. Ternyata miliknya seperti ujung kain.’ Nabi bersabda, ‘Apakah kamu ingin rujuk lagi dengan Rifa’ah? Tidak, sebelum kamu merasakan ‘usailah-nya dan dia merasakan ‘usailah-mu,”‘ (HR. Jamaah [Ahmad dan Para Penyusun  Kutubus Sittah]).

Selain itu, juga disyaratkan pernikahan yang kedua merupakan pernikahan yang sah. Ukuran minimal hubungan intim yang mengakibatkan penghalalan kembali ialah terbenam ujung penis dalam vagina dengan syarat penis bisa ereksi, dan suami kedua adalah orang yang sanggup melakukan hubungan intim, bukan anak kecil. Jika penisnya ereksi akibat suatu penyakit atau cedera maka hubungan intim tersebut tidak mengakibatkan penghalalan.

Pernikahan kedua merusak jatah talak tiga dari pernikahan pertama. Artinya, jika wanita yang ditalak tiga kembali pada suami pertama (dengan syarat yang telah ditentukan) maka suami pertama kembali memiliki jatah tiga kali talak.

Apabila seorang wanita telah dijatuhkan talak satu atau dua oleh suami pertama, lalu dia menikah lagi dengan pria lain (suami kedua) dan berhubungan intim, kemudian suami kedua menalaknya, maka kembali rujuknya dia dengan suami pertama membawa sisa jatah talak yang masih ada. Sebab dia rujuk sebelum habisnya jatah talak. Jadi dia dirujuk dengan membawa jatah talak yang masih ada, seperti halnya rujuk sebelum dinikahi oleh pria yang lain.

Demikian penjelasan tentang yang Rujuk Kami kutip dari Buku al-Fiqhu asy-Syafi’iy al-Muyassar, karya Prof. Dr. Wahbah Zuhaili.

Bagikan :

One Response

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya

Dua Macam Berpikir, Karena Iman ...
الْفِكْرَةُ فِكْرَتَانِ فِكْرَةُ تَصْدِيْقٍ وَإِيْمَانٍ وَفِكْ...
Berpikir Adalah Pelita Hati
الْفِكْرَةُ سِرَاجُ الْقَلْبِ فَإِذَا ذَهَبَتْ فَلَا إِضَاءَةَ...
Pikirkan Makhluk-Nya
الْفِكْرَةُ سَيْرُ الْقَلْبِ فِى مَيَادِيْنِ الْأَغْيَارِ Berp...
Sangat terhina, waktu kosong tap...
الْخِذْلَانُ كُلَّ الْخِذْلَانِ اَنْ تَتَفَرَّغَ مِنَ الشَّوَا...
Orang Yang Diberkati Umurnya
مَنْ بُوْرِكَ لَهُ فِى عُمْرِهِ اَدْرَكَ فِى يَسِيْرٍ مِنَ الز...
Ada kalanya, Umur Panjang Tapi K...
رُبَّ عُمْرٍ اِتَّسَعَتْ امَادُهُ وَقَلَّتْ اَمْدَادُهُ وَرُبّ...

Anggota DINULQOYIM