Riya’ Bisa Masuk Dalam Kesunyian

رُبَّمَا دَخَلَ الرِّيَاءُ عَلَيْكَ مِنْ حَيْثُ لَا يَنْظُرُ الْخَلْقُ اِلَيْكَ

Ada kemungkinan riya’ itu masuk ke dalam amal perbuatanmu dari arah yang tidak ada orang yang melihat kepadamu.

 

BERAMAL di muka orang lain agar amal itu dilihat orang adalah riya’ yang jelas. Untuk mengetahuinya tidak perlu memakai alamat atau tanda. Beramal sendirian, ketika tidak ada orang yang melihat, riya’-nya samar dan tidak terang. Tidak bisa diketahui kecuali dengan tanda-tanda dan alamatnya.

Tanda-tanda bahwa orang itu riya’ ialah orang itu beramal di tempat yang tidak diketahui orang lain akan tetapi dalam hati dia ingin mendapat pujian, kehormatan, keistimewaan ataupun karamah. Kalau ia punya hajat maka ia ingin orang lain cepat memenuhi kebutuhannya itu. Bahkan, kalau ada seseorang yang tidak menghormatinya, tidak melaksanakan kebutuhannya, maka ia mengharap orang itu ditimpa bencana dari Allah, terkena kualat dirinya. Semua ini adalah tanda riya’ yang samar yang penyembuhannya lebih sulit dari yang sebelumnya.

Di dalam hadits disebutkan bahwa riya’ seperti ini disebut dengan syirik khafi yang lebih samar dari jalannya semut yang hitam di atas batu yang hitam di tengah kegelapan malam.

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, ia berkata: “Sesungguhnya pada hari kiamat Allah berkata kepada Fuqara (orang yang mengaku sufi), “Tidakkah kalau kamu beli barang diberi harga murah? Bukankah ketika kamu berjalan orang-orang mengucapkan salam lebih dahulu kepadamu? Tidakkah kalau kamu berhajat sesuatu, hajatmu dipenuhi oleh orang? -Dalam hadits lain disebutkan bahwa Allah berkata kepada mereka- “Tidak ada pahala untukmu, sebab semuanya sudah kamu terima di masa hidupmu.”

Ini menunjukkan pentingnya keikhlasan dalam beramal agar amal itu bisa terangkat dan diterima oleh Allah. Tidak ada riya’ atau tujuan karena manusia dalam amal tersebut. Oleh karena itu, orang-orang shaleh selalu khawatir. Di hati mereka tidak ada perasaan bahwa mereka orang besar, suci, atau banyak amal. Mereka tetap rendah hati kepada manusia. Walau manusia menghormati mereka, misalnya dengan diberi harga murah atau dipenuhi kebutuhannya, tetapi mereka tidak merasa senang dengan hal itu. Mereka takut dengan sebab perlakuan khusus tersebut amal mereka tidak diterima. Mereka khawatir niat mereka dalam beribadah menyeleweng ; beramal agar dihormati dan disanjung orang.

Sifat tawadhu ini telah dicontohkan oleh Rasulullah. Bila bertemu orang, Rasulullah mengucapkan salam lebih dahulu. Bahkan Rasulullah menebarkan salamnya kepada anak-anak kecil yang ia temui di jalan.

Habib Husein bin Muhammad bin Thahir Al-Haddad, Jombang yang pernah tinggal di Bangil, adalah seorang wali yang dikenal kerendahan hatinya. Orang-orang segan dan menghormatinya. Tapi, ia tidak mau dihormati. Bila hadir rahah Kitab Ihya’ di Bangil para ulama menghormatinya dan menyuruhnya duduk di depan. Ia menolak sembari berkata, “Aku di sini Husein, di sana juga Husein.” Jika Habib Husein tetap dipaksa untuk pindah tempat duduk, maka ia segera pulang. Apabila ia membeli sesuatu dan penjualnya memberi harga khusus yang lebih murah dari harga biasanya, maka ia menolak dan meminta harga yang biasa. “Aku minta harga orang umum, bukan harga khusus Husein Haddad,” ucapnya kepada penjual itu.

Abdullah bin Mubarak berkata, “Wahab bin Munabbih meriwayatkan bahwa ada seorang ahli ibadah berkata kepada teman-temannya, “Kita meninggalkan harta dan anak-anak karena takut menyeleweng dari agama. Tapi kita khawatir kita sudah masuk dalam penyelewengan yang lebih besar dari penyelewengan yang disebabkan oleh harta dan anak-anak. Yaitu karena di antara kami ada yang ingin diagungkan dirinya karena kedudukan agamanya. Kalau meminta sebuah hajat maka ia ingin hajatnya dipenuhi karena kedudukan agamanya. Kalau membeli sesuatu ingin diberi harga murah karena kedudukan agamanya.”

Maka nasihat ini sampai kepada raja. Raja pergi dengan rombongannya menuju orang itu sehingga desa itu penuh dengan manusia. Ahli ibadah itu bertanya, ‘Ada apa ini?’ Ada yang menjawab, ‘Raja datang menemuimu.’

Lantas ahli ibadah itu menyuruh kepada muridnya untuk mendatangkan berbagai macam makanan. Dihidangkanlah macam-macam makanan, minyak dan sayuran. Ahli ibadah itu makan dengan rakusnya di samping sang raja.

‘Mana orang yang nasihatnya hebat itu?’ ucap raja.

‘Ini orangnya,’ jawab orang-orang menunjuk orang yang makan dengan rakus itu.

Raja bertanya kepada ahli ibadah itu.

‘Bagaimana kabarmu?’

‘Seperti orang-orang. -dalam riwayat lain-Baik,’ jawab ahli ibadah itu.

‘Orang ini tidak ada kebaikannya,” kata raja itu. Maka raja itu pergi.

‘Segala puji bagi Allah yang telah menyingkirkan raja itu dariku dan dia mencelaku,’ ucap ahli ibadah itu.

Banyak orang besar merasa takut dari jenis riya’ ini. Karena riya’ ini mereka menganggap diri mereka orang jahat. Penyair mereka berkata:

يَظُنُّ النَّاسُ بِيْ خَيْرًا وَإِنِّي       لَشَرُّ النَّاسِ اِنْ لَمْ تَعْفُ عَنِّي

Manusia menyangka aku orang baik

Padahal aku orang paling jelek kalau Engkau (Allah) tidak memaafkan aku

Diriwayatkan dari Fudhail bin Iyadh, ia berkata: “Barang siapa ingin melihat orang yang riya’, maka lihatlah diriku.”

Malik bin Dinar pernah mendengar seorang perempuan memanggilnya, “Wahai orang yang riya’!” Malik bin Dinar merasa gembira dengan panggilan itu dan berkata kepada perempuan tersebut, “Wahai perempuan, engkau (hebat) telah menemukan namaku yang sudah dilupakan oleh penduduk kota Basrah.”

Ada seorang masuk ke rumah Dawud Ath-Tha’i.

“Apa hajatmu?” tanya Dawud.

“Aku datang berziarah padamu,” jawab orang itu.

“Engkau yang berziarah beruntung telah melakukan kebaikan. Tetapi aku yang diziarahi ini, lihatlah apa yang menimpa aku bila aku ditanya, siapa engkau sehingga engkau diziarahi orang? Apakah engkau orang zahid? Tidak, demi Allah. Apakah engkau ahli ibadah? Tidak, demi Allah. Apakah engkau orang saleh? Tidak, demi Allah,” Dawud Ath-Tha’i terus mencela dirinya. “Di masa muda aku menjadi orang fasiq (rusak), di masa tua aku orang beramal tapi riya’. Demi Allah orang yang riya’ itu lebih jahat daripada orang yang rusak,” ungkap Dawud Ath-Tha’i.

Maka dari itu tidak selamat dari riya’ yang jelas ataupun yang samar kecuali orang-orang arif yang mengesakan Allah. Karena mereka dibersihkan oleh Allah dari syirik-syirik yang lembut dan dilenyapkan dari pandangan kepada manusia, sebab cahaya keyakinan dan makrifat telah memancar di hati mereka. Maka mereka tidak mengharap keuntungan dari manusia dan tidak takut kepada gangguan manusia. Amal mereka bersih dan ikhlas.

 

Riya’ Dalam Berbagai Corak

Riya’ dibagi tiga. Semuanya adalah penyakit dalam agama.

Pertama, ini riya’ yang paling besar. Ia bertujuan dengan amalnya untuk manusia. Andai bukan karena manusia, maka ia tidak beramal.

Kedua, beramal tapi ingin dipuji, walaupun amalnya itu tidak diketahui orang.

Ketiga, beramal karena Allah, tapi ia mengharap pahala amal itu dan mengharap selamat dari siksa. Ini termasuk baik dari satu segi. Dari segi lain ini termasuk cacat. Bagi orang awam ini termasuk ikhlas. Namun menurut orang arif ini adalah riya’.

Ada yang menafsirkan ayat:

وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

“Dan amal saleh diangkat oleh Allah.” (QS. Fathir : 10)

Amal Saleh ialah:

هُوَ السَّالِمُ مِنَ الرِّيَاءِ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا بِحَيْثُ لَا يُرِيْدُ عَامِلُهُ حَظًّا دُنْيَوِيًّا وَلَا أُخْرَوِيًّا

Amal yang selamat dari riya ’dhahir atau riya ’batin, sekiranya orang yang beramal itu tidak menghendaki keuntungan duniawi atau keuntungan ukhrawi.

Yusuf bin Husein Ar-Razi berkata: “Sesuatu yang paling berharga di dunia ini adalah keikhlasan. Aku sudah berusaha berkali-kali untuk menghilangkan riya’ dari hatiku, Seakan-akan ia timbul di hatiku dalam corak yang lain.”

Mudah-mudahan Allah menyelamatkan kita dari riya’ dan menjadikan amal kita ikhlas hanya untuk Allah. Amin.

Dikutip dari Buku al Hikam Mutiara Hikmah Kehidupan asuhan Habib Ahmad bin Husen Assegaf.

Bagikan :

2 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya

Dua Macam Berpikir, Karena Iman ...
الْفِكْرَةُ فِكْرَتَانِ فِكْرَةُ تَصْدِيْقٍ وَإِيْمَانٍ وَفِكْ...
Berpikir Adalah Pelita Hati
الْفِكْرَةُ سِرَاجُ الْقَلْبِ فَإِذَا ذَهَبَتْ فَلَا إِضَاءَةَ...
Pikirkan Makhluk-Nya
الْفِكْرَةُ سَيْرُ الْقَلْبِ فِى مَيَادِيْنِ الْأَغْيَارِ Berp...
Sangat terhina, waktu kosong tap...
الْخِذْلَانُ كُلَّ الْخِذْلَانِ اَنْ تَتَفَرَّغَ مِنَ الشَّوَا...
Orang Yang Diberkati Umurnya
مَنْ بُوْرِكَ لَهُ فِى عُمْرِهِ اَدْرَكَ فِى يَسِيْرٍ مِنَ الز...
Ada kalanya, Umur Panjang Tapi K...
رُبَّ عُمْرٍ اِتَّسَعَتْ امَادُهُ وَقَلَّتْ اَمْدَادُهُ وَرُبّ...

Anggota DINULQOYIM