Penitipan Barang (Wadi’ah)

Penitipan Barang (Wadi’ah)

1. Definisi, Dasar Hukum, dan Rukun Penitipan Barang

Penitipan merupakan bentuk keterwakilan seseorang secara khusus dalam penjagaan kekayaan. Definisi lain, penitipan adalah sebuah akad yang mengandung keterwakilan seseorang dalam penjagaan sesuatu berupa hak milik atau barang yang dihormati dan boleh dikuasai dengan prosedur tertentu.

Suatu barang dianggap dihormati mencakup arak yang halal (arak yang telah melewati proses fermentasi selama kurang lebih sehari dan pasca itu arak diharapkan berubah menjadi cuka), dan juga mencakup penitipan kulit bangkai yang telah disamak, pupuk hewani, dan anjing yang terlatih.

Ungkapan dengan istilah mukhtash bertujuan mengecualikan sesuatu yang tidak dapat dikuasai seperti anjing yang tidak dapat dimiliki, dan pengecualian dari kata “keterwakilan”, kekayaan yang ada di tangán penemunya, kain yang diterbangkan oleh angin, dan lain sebagainya, karena yang terakhir ini merupakan harta yang tercecer serta berbeda dengan ketentuan peraturan penitipan barang.

Menurut bahasa, penitipan (wadi’ah) adalah barang yang ditaruh kepada selain pemilik barang supaya dijaga. Sedang menurut syara’, istilah ini kerap diungkapkan dengan makna proses atau perbuatan menitipkan.

Barang titipan, diambil dari kata wada’a yada’u asy-syaia, maknanya ketika sesuatu itu tersimpan karena barang tersimpan di tempat orang yang merupakan sebuah akad, karena kata wadi’ah dapat diucapkan sebagai isim mashdar dan sesuatu yang dititipkan.

Penitipan diberlakukan dan dianjurkan bagi orang yang mampu mengatasi masalah penjagaan barang titipan dan menunaikan amanah yang terdapat di dalamnya. Sesuai dengan firman Allah SWT, “Tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa…” (QS. al-Ma’ idah [5]: 2); firman Allah SWT “Hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya)…,” (QS. al-Baqarah [2]: 283); dan firman Allah SWT, “Sungguh, Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya…” (QS. an-Nisá’ [4]: 58).

Hal itu juga sesuai dengan sabda Nabi SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut mau menolong saudaranya,” dan juga sabda beliau, “Berikanlah amanah itu kepada orang yang telah memercayai kamu, dan janganlah mengkhianati seseorang yang telah mengkhianatimu. ” Imam Baihaqi meriwayatkan hadits melalui jalur Umar ra bahwasannya dia pernah berkhutbah di hadapan sekelompok orang, “Janganlah bunyi lonceng dari seorang lelaki membuat dirimu kagum, tetapi kagumilah seseorang yang mampu menunaikan amanah, dan mau melindungi kehormatan sekelompok orang, karena dialah seorang lelaki sempurna.

Ada empat macam rukun penitipan barang, yaitu dua pihak yang mengadakan akad (penitip dan penerima titipan), barang titipan, dan shighat (ijab dan qabul). Shighat qabul ada kalanya berupa ucapan, seperti “saya menerima” atau berupa isyarat yang mengandung makna penitipan, misalnya terdiam di hadapan orang yang menaruh kekayaan di sampingnya. Dengan demikian, terdiam itu dapat mengisi posisi qabul.

Shighat Akad

Penitipan barang dianggap sah dengan satu pernyataan ijab dari pihak penitip. Contohnya, “saya menitipkan barang kepadamu”, “saya memintamu untuk menjaga barang ini”, atau “jagalah barang ini”. Tidak disyaratkan adanya qabul dari pihak penerima penitipan barang, bahkan cukup dengan menerima barang tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Oleh karena itu, dalam hal penitipan barang, para ulama berbeda pendapat apakah penitipan barang itu akad atau hanyalah sebuah izin.

2. Persyaratan Para Pihak yang Mengadakan Akad

Masing-masing pihak harus dari kalangan yang mempunyai otoritas bertindak (yakni baligh, berakal sempurna, dan cakap). Dengan demikian, jika ada seorang anak atau safih (orang yang menghambur-hamburkan hartanya) ketika telah baligh menitipkan sesuatu, hendaknya jangan diterima. Jika ada seseorang menerima titipannya, titipan itu termasuk ke dalam tanggungannya, dan dia tidak akan terbebas dari beban tanggungan itu kecuali dia telah menyerahkan titipan itu kepada walinya. Sehingga ketika dia menyerahkannya terhadap anak yang menitipkan, dia belum terbebas dari beban tanggungan. Jika ada orang baligh yang menitipkan sesuatu barang kepada seorang anak, lalu barang rusak di sampingnya, karena kelalaian atau karena hal lain, maka anak tersebut tidak berkewajiban menanggungnya.

Selain persyaratan di atas, pihak penerima titipan harus mampu melakukan penjagaan. Jadi, ketika kondisinya lemah untuk menangani penjagaan barang titipan, maka dia diharamkan menjaga titipan tersebut. Jika dia merasa mampu, namun dia kurang percaya diri menjaga titipan, dia takut berkhianat, maka pengambilan titipan itu dihukumi makruh bagi dirinya. Jika dia percaya dengan kemampuan dirinya dalam menjaga amanah itu, dan dia tidak akan mengkhianati sesuatu yang termuat dalam titipan itu, dia dianjurkan supaya mengambil titipan itu, dengan syarat dia bukan satu-satunya orang yang mampu mengatasi hal tersebut. Misalnya di tempat itu ada pihak lain yang juga siap menerima titipan tersebut. Atau bisa juga, misalnya di tempat tersebut tidak ditemukan orang lain yang cakap menjaga titipan, dan dia takut titipan itu hancur apabila dia tidak menerimanya, maka hanya dialah satu-satunya orang yang harus menerima titipan itu. Karena kehormatan kekayaan sederajat dengan kehormatan jiwa.

Hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Nu’aim dalam masalah perhiasan melalui jalur Ibnu Mas’ud ra Nabi saw  bersabda, “Kehormatan kekayaan seorang mukmin (dalam riwayat lain, muslim) sama seperti kehormatan darahnya.” Andaikan ada seseorang yang keselamatan jiwanya terancam, maka dia wajib melindungínya sehingga begitu juga ketika keutuhan kekayaannya terancam.

Apabila dia tidak mampu menjaga titipan itu, atau dia takut berkhianat, maka dia tidak dapat dibenarkan menerima titipan itu. Karena hal tersebut dapat membahayakan titipan dan memicu terjadinya kerusakan titipan. Oleh karena itu, dia tidak boleh menerima titipan itu.

3. Berbagai Kewajiban Penerima Titipan, dan Faktor-Faktor Pendorong Terjadinya Penanggungan

a. Kewajiban Penerima Titipan

Pertama, penerima titipan wajib menyimpan barang titipan di tempat yang sepadan dengan bentuk titipan. Jadi, ketika penerima titipan hendak bepergian, dia wajib mengembalikan titipan kepada pemiliknya, atau wakilnya. Jika mereka tidak ditemukan karena tidak berada di tempat, maka dia hendaknya mengembalikan titipan kepada hakim. Jika dia tidak menemukannya, dia mengembalikannya kepada orang yang dapat dipercaya. Penerima titipan tidak boleh dipaksa untuk mengundurkan bepergiannya.

Andaikan dia telah menyerahkan titipan kepada orang yang dapat dipercaya, padahal masih ada hakim, atau dia menyembunyikannya di suatu tempat meskipun sangat tertutup, dan dia jadi bepergian, maka dia berkewajiban menanggung sesuatu yang sepadan dengan titipan itu, atau harga yang setara dengannya. Sebab, dia telah membuka kesempatan orang lain mengambil titipan itu, meskipun perjalanannya dalam kondisi aman.

Apabila penerima titipan memberitahukan terhadap orang yang dapat dipercaya (dan dia juga menjaga titipan sepadan) tentang tempat penyembunyian titipan, maka menurut pendapat yang ashah, dia tidak berkewajiban menanggung titipan itu. Sebab, sesuatu yang tersembunyi itu berada di tangan penyimpannya. Hal ini sama seperti dia menitipkan titipan tersebut kepadanya, dengan syarat tidak ditemukan hakim yang dapat dipercaya.

Dalam situasi seperti itu, dia harus menanggung titipan, kecuali ketika terjadi kebakaran, perampokan, atau peperangan, dan penerima titipan tidak mampu berbuat untuk menyerahkan titipan itu kepada seseorang, maka dia tidak berkewajiban menanggung titipan tersebut karena ada udzur. Udzur semacam ini dapat menjadi pertimbangan dalam hal pembenaran penitipan barang terhadap selain pihak penerima titipan, sebagaimana udzur lainnya seperti bepergian, tanpa ada tanggungan yang dibebankan kepadanya.

Kedua, penerima titipan wajib mengembalikan titipan ketika pemilik memintanya. Sesuai dengan firman Allah SWT, “Sungguh, Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya…,” (QS. an-Nisa’ [4]: 58)

Ketika penerima titipan menunda pengembalian titipan tanpa ada udzur, misalnya bepergian, sebagaimana telah dituturkan dan tidak dalam situasi darurat, atau dia membaurkan titipan dengan kekayaan miliknya, atau dengan titipan lain, sekiranya setelah pembauran kedua kekayaan itu tidak dapat dibedakan, atau menggunakan titipan itu, atau mengeluarkannya dari tempat penyimpanan supaya dia dapat memanfaatkannya, lalu dia tidak memanfaatkan, atau dia menyimpannya di sebuah tempat yang bukan tempatnya, atau pemilik titipan berkata terhadapnya, “Simpanlah titipan ini di tempat semacam ini,” lalu dia menaruhnya di selain tempat itu, padahal tempat itu juga merupakan tempat dia menaruh titipan itu di dalamnya, maka dia berkewajiban menanggung titipan tersebut.

Di antara sekian banyak faktor yang menetapkan adanya penanggungan ialah kelalaian pihak penerima titipan dalam mencegah sesuatu yang dapat merusak titipan. Jadi, ketika pemilik hewan menitipkan hewannya kepada penerima titipan, lalu dia tidak mempedulikan pakannya, maka dia harus menanggungnya, meskipun hewan tidak mati. Karena dia telah bertindak lalai, maka dia berkewajiban menanggung titipan itu, agar hak-hak Allah SWT tetap terjaga.

Dengan adanya kewajiban tanggungan semacam ini, penjagaan yang telah menjadi kewajibannya karena menerima titipan menjadi terwujud. Oleh sebab itu, ketika pemilik hewan melarangnya untuk memberi makan atau minum, lalu hewan mati karena adanya larangan tersebut, maka menurut pendapat shahih, penerima titipan tidak harus menanggungnya karena ada izin terkait adanya kerusakan itu.

Ketiga, jika barang yang dititipkan berupa kain, penerima titipan wajib membeberkan kain agar terkena angin, contohnya seperti kain wol dan sejenisnya seperti rambut, bulu unta, bulu yang lebat, dan tenunan yang terbuat dan bahan sutra dan bulu, permadani, dan pakaian, meskipun pada umumnya tidak lagi disebut kain, agar tidak dimakan rayap.

Di samping itu dia juga wajib mengenakan kain itu di badannya, jika dengan dipakainya kain itu menjadi lunak ketika hal itu perlu dilakukan. Supaya bau badan menempel di kain tersebut, sehingga rayap menghindar. Jika penerima titipan tidak melakukan hal itu, lalu kain rusak, dia harus mengganti, baik pemilik kain menuntut hal itu atau dia hanya terdiam.

b. Faktor Pendorong Adanya Penanggungan

Di antara faktor yang menetapkan adanya penanggungan ialah penerima titipan memindahkan titipan dari tempat penyimpanan yang telah diinstruksikan, lalu titipan rusak disebabkan pemindahan tempat tersebut. Oleh sebab itu, dia harus menanggungnya.

Andaikan pemilik yang menitipkan barang berkata terhadap penerima titipan, “Jangan tidur di atas peti,” lalu peti tersebut ditiduri dan pecah akibat beban berat di atasnya, dan barang titipan yang ada di dalamnya rusak, maka dia harus menggantinya. Jika barang rusak bukan karena hal itu, atau karena diambil peng-ghashab, maka dia tidak harus menggantinya.

Apabila pemilik barang titipan memberikan beberapa uang dirham terhadap penerima titipan di pasar untuk disimpan, dan dia tidak menjelaskan prosedur penyimpanannya, lalu dia menaruh di sakunya namun kemudian titipan itu hilang, maka dia tidak harus mengganti, karena dia telah bersikap hati-hati dalam menyimpannya. Jika dia memegang uang dirham itu dengan tangannya, dia juga tidak harus menggantinya apabila uang dirham itu diambil oleh peng-ghashab. Dia hanya harus mengganti akibat lupa atau tertidur karena dia telah bertindak lalai.

Apabila pemilik titipan berkata kepada penerima titipan, “Simpanlah beberapa uang dirham ini di sebuah kamar,” maka hendaklah dia segera meluluskan perintahnya menuju kamar tersebut. Sesampainya di kamar, dia menyimpan uang dirham itu. Jika dia menundanya tanpa ada suatu halangan, lalu titipan itu hilang, maka dia harus mengganti akibat kelalaiannya.

Di antara faktor adanya penanggungan ialah peletakan titipan di selain tempat penyimpanan yang sepadan dengannya tanpa seizin pemiliknya, atau dia menunjukkan barang titipan kepada pencuri atau seseorang yang hendak mengambil titipan itu, menyerahkan titipan terhadap orang lain tanpa izin dan tanpa udzur, oleh sebab itu dia berkewajiban mengganti.

Menurut pendapat yang ashah, apabila ada orang zhalim memaksanya agar menyerahkan titipan, sehingga dia menyerahkan titipan kepadanya, maka pemilik titipan berwenang menuntut ganti rugí kepada penerima titipan. Kemudian penerima titipan berhak menuntut terhadap orang zhalim.

Di antara faktor yang mengakibatkan penanggungan ialah pemanfaatan barang titipan oleh penerima titipan. Misalnya dia memakai kain itu, atau menaiki hewan karena mengkhianati amanah, bukan karena udzur. Oleh sebab itu, dia harus mengganti, karena dia telah bertindak lalai. Atau dia mengambil kain untuk dipakai, atau beberapa dirham untuk dimanfaatkannya, maka dia harus menggantinya, dan dia berdosa karena berniat mengambilnya. Namun, apabila dia berniat mengambilnya, sementara dia tidak mengambilnya, maka menurut pendapat shahih, yang telah dítetapkan oleh Imam Syafi’i dia tidak berkewajiban menggantinya.

Pencampuran titipan juga termasuk faktor yang menetapkan adanya penanggungan. Sehingga ketika seseorang membaurkan dua kantong yang berisi beberapa uang dirham milik penitip, atau milik penitip dan penerima titipan misalnya, dan tidak mudah memilahnya, maka menurut pendapat shahih, dia harus menggantinya karena dia telah bertindak lalai.

Ketika titipan telah menjadi tanggungan akibat dimanfaatkan atau hal lain, kemudian penerima titipan meninggalkan pengkhianatan itu, maka dia belum terbebas dari tanggungan, kecuali pemilik titipan memperbarui tentang pemberian amanah tersebut. Misalnya dia berkata, “Saya memberikan amanah tentang titipan kepadamu,” “Saya telah membebaskanmu dari tanggungan,” atau dia menyuruhnya agar mengembalikan ke tempat penyimpanan semula, maka menurut pendapat yang ashah, dia terbebas dari tanggungan karena pemilik telah menggugurkan haknya.

4. Sifat Akad Penitipan Barang

Penitipan merupakan akad yang tidak mengikat sehingga baik penitip atau penerima titipan berwenang membatalkan akad, menuntut pengembalian, atau mengembalikan titipan setiap saat. Akad menjadi batal dengan adanya sesuatu yang dapat membatalkan akad perwakilan, misalnya pemecatan, gila, pingsan, dan kematian, karena penitipan merupakan perwakilan dalam hal penjagaan barang, sehingga statusnya seperti perwakilan dalam hal kesepakatan akad dan pembatalannya.

Kesimpulan

Ketentuan hukum penitipan barang ada tiga macam: pertama, hukumnya boleh (tidak mengikat); kedua, titipan sebagai amanah; ketiga, mengembalikan titipan terhadap penitip ketika diminta. Jadi, ketika pemilik meninggal atau ahli warisnya yang berhak menerima titipan meminta mengembalikan titipan itu, maka penerima titipan harus mengembalikannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan ayat, “Sungguh, Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya…,” (QS. an-Nisa [4]: 58)

5. Ketentuan Hukum tentang Kewenangan Penerima Titipan

Kewenangan penerima titipan adalah kewenangan atas dasar kepercayaan, dan titipan merupakan amanah yang berada dalam genggaman penerima titipan, sehingga dia tidak berkewajiban mengganti titipan kecuali akibat kelaliman atau kelalaian dalam penjagaan. Oleh karena itu, apabila titipan rusak bukan karena kelalaian, dia tidak harus mengganti titipan. Sesuai dengan hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah saw bersabda, “Seseorang yang menerima penitipan barang tidak harus menanggung ganti rugí. ” Dan ad-Daruquthni meriwayatkan juga dari jalur ‘Amr bin Syu’aib, Nabi saw bersabda, “Seseorang yang menerima amanah tidak ada keharusan mengganti,” dalam teks lain disebutkan, “Peminjam barang tidak berkewajiban mengganti barang, kecuali dia berkhianat, dan seorang penerima titipan yang tidak berkhianat, tidak harus mengganti titipan.”

Tidak adanya tuntutan membayar ganti rugí juga diriwayatkan melalui jalur Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, dan Jabir ra. Hal ini telah menjadi konsensus fuqaha pada masa itu, karena penerima titipan menjaga titipan untuk kepentingan pemiliknya, sehingga kewenangannya sama seperti kewenangan yang dimiliki pemilik barang. Alasan lain penjagaan titipan merupakan perbuatan baik, sehingga ketika titipan harus diganti tanpa ada unsur kelalaian, seseorang pasti menolak untuk menerima titipan tersebut.

Apabila seseorang menitipkan kekayaan, dan dia mensyaratkan adanya tanggungan atas barang tersebut, maka barang itu tidak otomatis menjadi barang yang ditanggung, karena titipan itu merupakan amanah, sehingga persyaratan itu tidak mengubah barang menjadi tanggungan.

Apabila titipan beranak maka status anaknya merupakan amanah, karena tidak ada faktor yang menetapkan adanya tanggungan baik berkenaan dengan anak itu sendiri atau induknya. Dan menurut pendapat yang rajih, dia berhak menahan anak itu tetap berada padanya, sebab penitipan induk berarti juga penitipan tentang sesuatu yang muncul dari induk tersebut.

Situasi yang berhubungan dengan penanggungan amanah banyak sekali ragamnya, sebagaimana telah diutarakan di muka. Salah satu yang menetapkannya ialah adanya unsur kelalaian atau kelaliman dalam penjagaan titipan. Sedangkan faktor-faktor penanggungan itu ada sembilan macam.

(1)  Menitipkan titipan ke orang lain tanpa ada udzur dan izin dari pemiliknya, atau menyerahkan titipan kepada orang yang dapat dipercaya padahal dia mampu menyerahkannya kepada hakim.

(2)  Bepergian sambil membawa barang titipan, meskipun perjalanan dalam kondisi aman, kecuali di tempat penyimpanan terjadi kebakaran, gempa, perampokan, peperangan, atau tempat hampir roboh.

(3) Tidak berwasiat bahwa status barang tersebut ialah titipan, sehingga ketika penerima titipan sakit yang sangat mengkhawatirkan jiwanya, atau dipenjara karena membunuh, dia wajib berwasiat. Jika dia mendiamkan hal itu, dia wajib mengganti, karena dia telah membiarkan titipan hilang, sebab ahli waris hanya berpegangan terhadap fakta bahwa barang itu ada dalam genggamannya. Di dalam berwasiat harus menjelaskan status hukum titipan, sehingga jika dia hanya berkata, “Saya menyimpan kain milik seseorang,” sementara itu, kain tidak ditemukan dalam harta peninggalannya, maka dia harus mengganti, karena dia tidak menjelaskannya.

(4)  Memindahkan titipan dari suatu kawasan, sehingga ketika dia menitipkan barang di suatu desa lalu penerima titipan memindahkan titipan ke desa lain, dan jarak tempuh antara kedua tempat tersebut telah disebut bepergian (jarak tempuh yang sah untuk meng-qashar shalat), dia harus mengganti, kecuali ada darurat yang membuat dia harus memindahkan titipan itu, sebagaimana telah disinggung di muka.

(5) Kelalaian dalam melindungi titipan dari kerusakan, sehingga penerima titipan harus melindungi titipan sesuai dengan aturan yang berlaku, sebagaimana telah disinggung di muka.

(6)  Kelalaian dalam memanfaatkan titipan. Misalnya memakai kain, menaiki hewan untuk diambil manfaatnya, kecuali ketika pemakaian itu karena ada udzur. Misalnya dia menaiki hewan karena untuk memberi minum, dan hewan tidak dapat dituntun kecuali dengan cara demikian, kira-kira hewan boleh dikeluarkan untuk diberi minum, sehingga jika memungkinkan menuntunnya, sementara dia menaikinya, dia harus menanggungnya.

(7)  Menyalahi perintah penjagaan. Sehingga ketika pemilik memerintahkan agar dilakukan penjagaan dengan prosedur tertentu, lalu dia mengalihkan penjagaan itu, dan titipan menjadi rusak, sebab adanya pengalihan cara penjagaan, maka dia harus mengganti titipan itu, karena dia telah menyalahi perintahnya. Jika titipan rusak akibat faktor lain, dia tidak wajib menggantinya.

(8)  Menelantarkan titipan. Karena dia diperintah menjaganya dari berbagai faktor yang menyebabkan kerusakan. Jadi, andaikan dia menunda penjagaan itu padahal dia mampu, atau dia meletakkan titipan bukan di tempat penyimpanan yang sepadan dengan titipan, dia harus menggantinya. Jika dia meletakkan titipan di tempat penyimpanan yang lebih kuat daripada tempat penyimpanan yang sepadan dengannya, tidak ada kewajiban mengganti.

(9)  Mengingkari titipan tanpa ada udzur. Apabila pemilik meminta titipan itu, lalu penerima titipan mengingkarinya, maka dia adalah seorang pengkhianat dan harus mengganti, karena dengan pengingkaran semacam ini, dia telah bertindak lalim.

6. Pernyataan yang dibenarkan ketika terjadi persengketaan

Pernyataan yang dibenarkan dalam hal sengketa tentang pokok penitipan, pengembalian atau kerusakan titipan ialah pernyataan penerima titipan. Sehíngga ketika penerima titipan berkata terhadap pemilik titipan, “Kamu tidak menitipkan suatu barang kepada saya,” atau berkata, “Saya telah mengembalikan titipan itu kepadamu,” atau titipan rusak tanpa ada unsur kelalaian, dia dibenarkan dengan disertai sumpah.

Sama seperti kasus ketika penerima titipan mengaku titipan rusak, dan dia tidak menyebutkan penyebabnya, atau dia menuturkan sebab yang absurd. Berbeda apabila dia menuturkan penyebab yang konkret misalnya kebakaran, jika kebakaran telah diketahui secara umum, dan tidak ada kemungkian titipan itu terselamatkan, dia dapat dibenarkan tanpa harus bersumpah. Apabila kebakaran tidak diketahui secara umum, dia dapat dibenarkan dengan disertai sumpah, karena ada kemungkinan lain di balik pengakuannya.

Apabila dia tidak mengetahui penyebab pasti yang diakuinya, dia dituntut menghadirkan saksi yang menjelaskan tentang hal itu, kemudian dia bersumpah tentang kerusakan titipan itu akibat faktor tersebut. Karena ada kemungkinan titipan itu tidak rusak akibat faktor tersebut, dan tidak dibenarkan memaksa saksi untuk menjelaskan kerusakan itu akibat faktor tersebut, karena hal ini termasuk perkara yang bias.

Apabila penerima titipan mengaku telah mengembalikan titipan kepada selain pemberi titipan misalnya ahli waris pemilik titipan, atau ahli waris penerima titipan mengaku telah mengembalikan kepada pemilik titipan, atau dia telah menitipkannya kepada orang yang tepercaya ketika hendak bepergian, lalu orang tepercaya itu mengaku telah mengembalikannya kepada pemilik, maka semua orang yang telah disebutkan dituntut menghadirkan saksi yang menerangkan tentang pengembalian titipan itu kepada orang yang telah dituturkannya itu. Sebab pada dasarnya pengembalian titipan tersebut tidak ada, dan dia tidak dapat dipercaya tentang hal itu.

Demikian penjelasan tentang Penitipan Barang (Wadi’ah) yang Kami kutip dari Buku al-Fiqhu asy-Syafi’iy al-Muyassar, karya Prof. Dr. Wahbah Zuhaili

Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya

Dua Macam Berpikir, Karena Iman ...
الْفِكْرَةُ فِكْرَتَانِ فِكْرَةُ تَصْدِيْقٍ وَإِيْمَانٍ وَفِكْ...
Berpikir Adalah Pelita Hati
الْفِكْرَةُ سِرَاجُ الْقَلْبِ فَإِذَا ذَهَبَتْ فَلَا إِضَاءَةَ...
Pikirkan Makhluk-Nya
الْفِكْرَةُ سَيْرُ الْقَلْبِ فِى مَيَادِيْنِ الْأَغْيَارِ Berp...
Sangat terhina, waktu kosong tap...
الْخِذْلَانُ كُلَّ الْخِذْلَانِ اَنْ تَتَفَرَّغَ مِنَ الشَّوَا...
Orang Yang Diberkati Umurnya
مَنْ بُوْرِكَ لَهُ فِى عُمْرِهِ اَدْرَكَ فِى يَسِيْرٍ مِنَ الز...
Ada kalanya, Umur Panjang Tapi K...
رُبَّ عُمْرٍ اِتَّسَعَتْ امَادُهُ وَقَلَّتْ اَمْدَادُهُ وَرُبّ...

Anggota DINULQOYIM