PENGAMBILAN HAK SECARA PAKSA

PENGAMBILAN HAK SECARA PAKSA

1. Definisi Syuf’ah

Syuf’ah diambil dari kata dasar asy-syaf’i bermakna mengumpulkan. Dipahami dari susunan kata syafa’tu asy-syaia’ yakni dhamamtuhu (saya mengumpulkan sesuatu). Kata syafa’a al-adzân juga diambil dari kata dasar itu. Disebut demikian karena syuf’ah adalah bagian hak milik seorang rekanan dikumpulkan ke bagian hak milik syafi’ (orang yang mengadakan akad syuf’ah).

Sedangkan menurut syariat, syuf’ah adalah kewenangan pengambilalihan hak kepemilikan secara paksa oleh rekanan lama atas rekanan baru atas barang yang dikuasai melalui tukar-menukar.

2. Pensyariatan Syuf’ah

Dasar hukum pensyariatan syuf’ah ialah hadits Imam Bukhari dan Imam Ahmad melalui jalur Jabir bin Abdullah ra, dia berkata, “Rasulullah memutuskan akad syuf’ah atas barang yang tidak dapat dibagi-bagi sehingga ketika batas-batas itu telah dipastikan dan wa shurrifat aththuruq, tidak ada hak syuf’ah,” maksudnya ketika batas-batas barang jualan telah dibagi-bagi, dan dengan pembagian itu masing-masing bagian yang telah  diukur menjadi jelas, dan tempat pengalokasian barang sudah diketahui dengan jelas. Sepertinya kata shurrifat diambil dari kata at-tashrif atau at- tasharruf.

Dengan demikian, hak syuf’ah hanya dimiliki akibat terjadinya pembauran (syarikat) hak milik, bukan karena berdampingan. Pernyataan ini merupakan pendapat mayoritas ulama selain ulama Madzhab Hanafi yang berpendapat bahwa hak syuf’ah juga dimiliki akibat adanya hak milik yang berdampingan.

3. Hukum Syuf’ah

ialah kewenangan pengambilalihan kepemilikan barang jualan ketika barang berupa tanah pekarangan dan barang yang ada di permukaannya seperti bangunan, pepohonan, dan buahnya yang tidak terawat, karena diikutsertakan dengan tanah. Oleh karena itu, hak syuf’ah tidak diberlakukan dalam barang bergerak seperti hewan, dan berbagai jenis kain, sesuai dengan hadits yang telah  dikemukakan. Karena barang bergerak tidak langgeng, berbeda dengan barang tak bergerak seperti pekarangan, dan dampak kerugian akibat persekutuan bersifat kontinu.

Hadits lain melalui Jabir, “Rasulullah menetapkan akad syuf’ah di setiap persyarikatan yang tidak dapat dibagi-bagi, rumah (rab’ah) atau pagar keliling perkebunan, bagi seorang pemilik tidak diperkenankan menjual, kecuali rekanannya mengizinkan, sehingga apabila dia menghendaki, dia berhak menariknya, dan apabila dia menghendaki, dia boleh membiarkannya sehingga apabila dia telah menjualnya, sementara rekanannya tidak mengizinkan, rekanan itu lebih berhak mendapatkan barang tersebut.”

Hikmah disyariatkannya syuf’ah ialah menghindari dampak kerugian akibat persyarikatan, dan dampak kerugian yang timbul dari biaya pembagian, atau kerugian akibat pengadaan perlengkapan misalnya pembuatan lift, lampu penerangan, dan selokan dalam bagian hak milik yang didesain demikian.

Syaikh Izzuddin bin Abdussalam berkata, “Pengampunan dari syuf’ah lebih utama kecuali pembeli menyesal atau merugi.”

Dalam berbagai kitab karangan fuqaha, syuf’ah diulas setelah pembahasan ghashab karena syuf’ah mengambil alih secara paksa, seakan-akan syuf’ah itu merupakan bentuk pengecualian dari pengambilan kekayaan orang lain secara paksa yang diharamkan, dan syuf’ah merupakan salah satu bentuk pengambilalihan hak kepemilikan secara paksa.

Rukun syuf’ah ada tiga macam: barang yang diambilalih (masyfu’ fih), pengambil (syafi’), dan orang yang diambil haknya (masyfu’ ‘alaih), dan ditambah rukun keempat, yaitu shighat, dan Shighat hanya wajib dalam penyerahan hak milik.

4. Objek Akad Syuf’ah

Syuf’ah ditetapkan hanya dalam barang tak bergerak (yaitu suatu barang yang menurut adat tidak dapat dipindahkan seperti tanah, bangunan dan pepohonan yang diikutsertakan dengan tanah tersebut), dan setiap bagian dari tanah yang menjadi milik bersama yang memungkinkan untuk dibagi. Syuf’ah tidak berlaku atas barang bergerak (yaitu barang yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain serta kondisi dan bentuk barang tetap utuh, seperti barang dagangan, perlengkapan rumah tangga, kain, hewan, dan lain sebagainya). Sebuah kamar dan segala hal yang tidak dapat dibagi-bagi, seperti kamar mandi, gilingan, bagian atas kamar yang dijual tanpa mengikutkan pondasinya, dan rumah yang relatif kecil, tidak berlaku dalam kepemilikan. Hal ini sesuai dengan komentar sahabat Utsman ra, “Syuf’ah tidak diberlakukan dalam kepemilikan sumur.”

Syuf’ah berlaku atas bangunan dan kebun apabila dijual bersamaan dengan tanah. Namun, jika dijual tersendiri, akad syuf’ah tidak dapat diberlakukan. Syuf’ah dapat diberlakukan dalam kepemilikan berupa jalan setapak atau jalan yang lebar sekiranya jalan itu dapat dibagi-bagi, sementara rumah yang dijual mempunyai jalan yang lain. Karena jalan tersebut merupakan tanah milik bersama yang dapat dibagi-bagi, dan tidak ada dampak kerugian yang menimpa seseorang dalam hal pengambilalihan hak atas jalan itu melalui syuf’ah, sehingga status jalan tersebut serupa dengan hak milik selain jalan.

Syuf’ah tidak dapat diberlakukan terhadap jalan yang sempit. Ilustrasinya ketika jalan itu dibagi-bagi, masing-masing dan kedua rekanan tidak mendapat jalan menuju hak miliknya melalui jalan sempit tersebut.

Syuf’ah diberlakukan ketika pembeli menerima sebagian hak milik dengan sistem tukar-menukar, dengan kepemilikan yang didahului oleh kepemilikan syafi’, sehingga seorang rekanan atau para rekanan berwenang mengambil alih sebagian hak milik itu sesuai dengan kadar bagiannya masing-masing dengan nilai tukar yang telah ditetapkan dalam akad. Pernyataan yang dibenarkan terkait kadar besaran nilai tukar ialah pernyataan pembeli.

Contoh barang yang dapat dimiliki dengan sistem tukar-menukar ialah barang jualan, meskipun masih dalam masa khiyar yang menjadi milik pihak pembeli. Barang Jualan merupakan barang yang dimiliki dengan sistem tukar-menukar murni, sedangkan maskawin merupakan barang yang dapat dimiliki dengan sistem tukar-menukar tidak murni, uang pengganti khulu’, uang pengganti dalam mediasi yang berhubungan dengan jiwa dalam tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja, uang sewa manfaat, dan harga pokok pemesanan barang.

Ketika uang pengganti itu merupakan balasan atas hibah, atau situasi tentang adanya persyaratan khiyar yang berhubungan dengan nilai tukar itu menjadi hak penjual, atau hak penjual sekaligus pembeli, atau uang pengganti itu telah menjadi milik syafi’setelah adanya tukar-menukar, maka syafi’ tidak memiliki hak syuf’ah.

• Kesimpulan

Ketika hak milik nyata-nyata telah dibagi-bagi, atau bangunan dan kebun dijual terpisah dari tanah, atau nilai guna barang jualan yang menjadi tujuan termasuk kategori barang yang hilang akibat dibagi-bagi, misalnya sumur dan jalan setapak, atau barang yang dimiliki tanpa proses tukar menukar seperti barang yang dihibahkan, atau barang yang tidak diketahui besaran harganya, misalnya sebagian uang pembelian telah rusak sebelum diserahkan, dan kadar sebagian barang tidak diketahui, atau barang yang dijual dengan harga borongan, dan uang penjualan rusak sebelum diketahui kadarnya, maka dalam semua kasus yang telah diutarakan itu tidak dapat diberlakukan syuf’ah.

Apabila pembeli menemukan kecacatan yang menimpa bagian hak milik yang dijual, dan dia menghendaki mengembalikan barang akibat cacat, sementara itu syafi’ menghendaki pengambilalihan barang melalui syuf’ah, serta dia rela dengan kondisi barang yang cacat, menurut pendapat azhar, keinginan syafi’ harus dipenuhi, sehingga hak syuf’ah yang menjadi kewenangannya tidak batal, karena haknya itu mendahului hak pembeli. Sebab, haknya ada akibat penjualan, sedangkan hak pembeli dalam mengembalikan barang akibat cacat ada disebabkan melihat kecacatan tersebut.

Apabila ada dua orang melakukan pembelian sebuah rumah atau sebagian rumah, maka salah seorang dari mereka tidak memiliki hak syuf’ah terhadap pihak lain, karena mereka memperoleh hak milik tersebut dalam kurun waktu yang sama.

Apabila barang yang dijual milik bersama antara tiga orang, menurut pendapat ashah, rekanan yang berstatus sebagai pembeli bagian hak milik rekanannya berwenang menarik bagian barang miliknya yang dijual, dalam contoh ini adalah sepertiga bagian. Tidak hanya itu, bahkan dia berwenang menarik bagian miliknya yang diperoleh dari rekanannya, dalam contoh ini adalah seperenam bagian, karena posisi pembeli dengan syafi’ setara.

5. Shighat dan Pelaksanaan Syuf’ah

a. Shighat yang Dianjurkan

Shighat (ijab qabul) hanya wajib dilakukan pada saat penyerahan hak milik antara pembeli dan syafi’. Misalnya syafi’ berkata, “Saya menerima hak milik tersebut, atau saya mengambil alih hak milik itu melalui  syuf’ah” dan pembeli menerima hal tersebut. syafi’ dapat memiliki masyfu’ fih dengan cara mengambilalihnya, karena hak syuf’ah merupakan proses memperoleh hak milik atas kekayaan secara paksa, sama seperti memperoleh hak milik atas barang yang mubah. Dalam proses memperoleh hak milik tidak ditetapkan hak khiyar syarat, karena masyfu’ fih diambil alih dengan paksa, sehingga tidak dapat dibenarkan mengajukan khiyar syarat. Bahkan an-Nawawi menshahihkan, bahwasannya khiyar majelis juga tidak berlaku.

Shighat ini harus diucapkan oleh syafi’, seperti penjelasan yang telah dikemukakan. Ucapan Shighat itu disyaratkan adakalanya pada saat menyerahkan uang pengganti terhadap pembeli atau pelepasan antara hak milik dengan pembeli jika dia menolak menerima uang pengganti, atau hakim memaksa pembeli agar menerima uang pengganti; adakalanya pembeli merelakan uang pengganti tetap berada dalam tanggungan syafi’ jika uang pengganti tidak mengandung riba.

Menurut pendapat ashah adakalanya hak syuf’ah diperoleh melalui putusan hakim, sehingga pada saat situasi demikian syafi’ dapat memiliki bagian hak milik melalui secara legal. Karena pertimbangan perolehan hak milik menjadi kuat melalui keputusan hakim.

Menurut al-madzhab, syafi’ tidak dapat menguasai bagian hak milik yang belum pernah dilihatnya, karena menjual barang yang tidak terlihat tidak dibenarkan.

b. Alat Tukar untuk Mengambil Alih Bagian Hak MiIik yang Dijual

Alat tukar adakalanya memiliki padanan dan ada pula berupa taksiran harga. Jika alat tukar berupa padanan, seperti takaran dan timbangan, syafi’ dapat mengambil alih bagian hak milik itu menggunakan alat tukar yang sepadan dengannya. Apabila alat tukar berupa taksiran harga, seperti barang dagangan, kain, dan berbagai jenis perkakas rumah tangga, syafi’ dapat mengambilalihnya menggunakan harga yang setara pada saat penjualan.

Menurut pendapat qaul jadid, apabila alat tukar yang dipergunakan dalam pembelian dibayar dengan sistem kredit, syafi’ berhak menentukan pilihan antara membayar uang pembelian secara cash serta mengambil alih barang yang dijual tersebut seketika itu juga. Atau, dia bisa menunggu sampai masa pelunasan tiba, guna menghindari dampak kerugian yang menimpa pembeli andaikan kita membenarkan syafi’ mengambil alih secara jatuh tempo, dan harga dibayar tunai. Atau, dampak kerugian menimpa syafi’ apabila kita mengharuskan syafi’ mengambil alih barang seketika itu juga, sementara harga ditangguhkan pembayarannya hingga masa tertentu.

Apabila bagian dari barang tak bergerak seperti pekarangan dijual beserta barang lain yang tidak dapat diberlakukan syuf’ah dari jenis barang bergerak seperti tambang emas dan perak, atau tanah lain yang tidak dapat diberlakukan syuf’ah, syafi’ berwenang mengambil alih bagian hak milik sesuai besaran harga pembelian dengan mempertimbangkan harga pada saat pembelian, karena waktu pembelian itu merupakan waktu pertukaran antara masyfu’ fih dengan lainnya.

Apabila uang pengganti berupa maskawin atau pengganti khulu’, syafi’ wajib membayar mahar mitsli terhadap seorang perempuan pada waktu menikahinya, atau pada waktu khulu’ yang dilakukan oleh seorang istri, baik nilai maskawin itu lebih kecil atau lebih besar daripada harga barang.

Ketika seseorang membeli suatu barang dengan alat tukar secara borongan (baik berupa barang berharga atau bukan seperti barang yang diukur atau ditakar), dan alat tukar mengalami kerusakan sebelum kadarnya diketahui, maka dia dilarang mengambil alih barang dengan syuf’ah, karena kesulitan menetapkan besaran alat tukar, dan pengambilalihan barang yang tidak diketahui harganya tidak mungkin terjadi. Sehingga ketika syafi’ menentukan besaran harga bagian hak milik yang dijual, misalnya dia berkata terhadap pembeli “Saya membelinya seharga 100 dirham,” dan pembeli menjawab, “Nilai tukar barang itu kadarnya tidak diketahui,” pembeli dimohon untuk melakukan sumpah tentang tidak diketahuinya besaran nilai tukar. Sebab, pada dasarnya dia tidak mengetahui besaran nilai tukar tersebut.

Menurut pendapat ashah, apabila syafi’ menggugat pembeli yang mengetahui besaran nilai tukar, sementara dia tidak menentukan besaran nilai tukar terhadap pembeli, gugatannya tidak dapat dikabulkan, karena dia tidak menggugat hak miliknya.

c. Kepastian Pengambilalihan Hak Milik melalui Syuf’ah

Ketika bagian hak milik sudah diketahui, lalu Pemilik yang berstatus sebagai rekanan menjadikan bagian hak miliknya sebagai maskawin yang besarannya tidak diketahui, calon istri berhak memperoleh mahar mitsli, dan dia tidak memiliki hak syuf’ah, karena barang yang telah dijadikan maskawin besarannya tidak diketahui.

Ketika nilai tukar telah dipastikan menjadi hak milik seseorang selain pembeli melalui saksi atau pembenaran dari pihak penjual, pembeli, dan syafi’ -apabila nilai tukar telah ditentukan besarannya, misalnya dia membeli dengan 100 dirham tersebut- maka hukum jual beli dan syuf’ah jelas batal, karena syuf’ah bergantung terhadap jual beli tersebut.

Apabila nilai tukar berada dalam tanggungan pembeli, dan dia telah menyerahkan nilai tukar itu, lalu hak atas nilai tukar yang telah diserahkan itu telah berpindah, maka nilai tukar yang telah diserahkan itu diganti, yakni diganti dengan nilai tukar yang lain. Jual beli dan syuf’ah tetap terus dilakukan, karena pemberian nilai tukar oleh pembeli sebagai pengganti nilai tukar yang berada dalam tanggungan tidak sesuai tempatnya sehingga keberadaan nilai tukar pengganti sama seperti tidak ada pergantian nilai tukar.

Apabila syafi’ telah menyerahkan nilai tukar yang hak kepemilikannya telah berpindah terhadap seseorang selain syafi’, hak syuf’ah dipastikan tidak batal apabila dia tidak mengetahui bahwa nilai tukar hak kepemilikan telah berpindah terhadap seseorang selain syafi’. Misalnya nilai tukar serupa dengan kekayaan miliknya di mata syafi’, dia harus menggantinya. Begitu juga jika dia mengetahui nilai tukar hak kepemilikan telah berpindah, menurut pendapat ashah, hak syuf’ah tidak batal. Demikian itu, apabila bentuk nilai tukar telah ditentukan, misalnya dia berkata, “Saya menerima hak kepemilikan atas bagian hak milik ini dengan beberapa dirham ini.” Sebab, dia tidak melakukan kelalaian dalam menuntut syuf’ah dan pengambilalihan hak milik.

Walhasil syafi’ berwenang mengambil alih barang yang dijual dengan nilai tukar yang dipergunakan pada saat akad jual beli dilakukan.

d. Pelaksanaan Permohonan Hak Syuf’ah

Menurut pendapat yang azhar, permohonan syuf’ah dilakukan seketika itu juga setelah syafi’ mengetahui adanya jual beli. Sesuai dengan hadits, “Syuf’ah sama seperti melepas tali Pengikat, ” dan hadits, “Seseorang yang memiliki hak syuf ‘ah harus segera melaksanakannya.

Syuf’ah merupakan hak yang ditetapkan untuk menghindari dampak kerugian sehingga harus dilakukan seketika itu juga, seperti halnya pengembalian barang akibat cacat. Ketika syafi’ telah mengetahui terjadinya Penjualan, dia harus segera melakukan pembelian dengan mengajukan permohonan syuf’ah sesuai dengan adat yang berlaku. Sebab tindakan yang dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai bentuk kelalaian atau penundaan dapat menggugurkan hak syuf’ah. Sedangkan tindakan yang tidak dianggap demikian tidak dapat menggugurkan hak syuf’ah. Hal ini terjadi ketika syafi’ menunda permohonan syuf’ah padahal dia mampu melakukannya, maka hak syuf’ah batal.

Apabila syafi’ memiliki udzur, misalnya sakit sehingga menghalangi permohonan syuf’ah -bukan sekadar sakit kepala ringan- atau dia berstatus tahanan kriminal dan atau terjerat utang, sementara dia dalam situasi melarat dan tidak mampu mendatangkan keterangan saksi, atau dia jauh dari tempat tinggal pembeli dengan jarak logis yang menghalangi dirinya untuk melaksanakan tuntutan syuf’ah, atau dia takut terhadap ancaman musuh syafi’ hendaknya mengirim perwakilan dalam melaksanakan permohonan syuf’ah jika dia mampu mengirim wakil dalam mengatasi hal tersebut. Karena hal itu yang mungkin dapat dilakukan.

Apabila dia tidak mampu mengirim wakil, hendaklah dia memberi kesaksian tentang permohonan syuf’ah di hadapan dua orang lelaki adil, atau seorang lelaki adil ditambah dua orang perempuan. Karena, sebagian hakim pengikut Madzhab Hanafi tidak berani memutuskan suatu perkara hanya dengan seorang lelaki untuk melakukan sumpah bersamanya, sehingga dia tidak dapat menguatkan diri syafi’.

Apabila syafi’ mengabaikan hal di atas, maka menurut pendapat azhar, hak syuf’ahnya menjadi batal, karena dia telah melakukan kelalaian. Kepasifan syafi’ menjadi indicator kerelaan syafi’ meninggalkan syuf’ah.

Apabila pemilik hak syuf’ah sedang shalat, berada di kamar mandi, sedang makan, atau membuang hajat, dia boleh meneruskan hajatnya, dan dia tidak boleh dipaksa untuk menghentikan hajatnya tersebut.

Jika dia menunda permohonan melakukan syuf’ah, dan dia berkata “Saya tidak percaya terhadap pembawa berita tentang penjualan bagian hak milik oleh rekanannya,” maka dia dipastikan tidak mempunyai ruang untuk beralasan jika hal itu diceritakan oleh dua orang lelaki yang adil atau seorang lelaki yang adil ditambah dua orang perempuan. Karena kesaksian mereka merupakan kesaksian yang dapat diterima. Begitu juga ketika dia mendapat berita dari orang yang tepercaya, menurut pendapat ashah, karena penjualan itu berupa berita, sementara berita dari orang yang tepercaya dapat diterima. Dia boleh beralasan jika berita yang sampai kepadanya berasal dari seseorang yang tidak dapat dibenarkan beritanya, seperti orang fasik dan anak-anak, karena dia memiliki udzur.

Apabila syafi’ menerima berita penjualan barang sebesar 1000 dirham misalnya, lalu dia mengabaikan permohonan syuf’ah, ternyata kenyataan penjualan itu lebih kecil, misalnya hanya 500 dirham, maka syafi’ tetap memiliki hak syuf’ah, karena pengabaian berita bukan karena zuhud, tetapi syafi’ berharap agar harga bertambah mahal, sehingga syafi’ tidak layak disebut orang yang lalai.

Jika ternyata penjualan lebih tinggi daripada harga yang diceritakan kepadanya, atau dia menerima berita penjualan semua bagian sebesar 1000 dirham, ternyata dia hanya menjual sebagian barang sebesar 1000 dirham, maka haknya batal, karena ketika dia senang dengan harga yang lebih kecil, dia akan lebih senang lagi dengan harga yang lebih tinggi.

Haknya juga batal ketika dia menerima berita tentang penjualan bagian hak milik sebesar sekian dirham dengan sistem kredit, lalu dia mengabaikannya, ternyata nilai tukar dibayar tunai, karena nilai tukar mungkin saja dibayar tunai jika dia menginginkannya.

Apabila syafi’ bertemu pembeli, lalu dia mengucapkan salam kepadanya dan berkata, “Semoga Allah memberkahi kesepakatan bisnismu” maka haknya tidak batal. Karena mengucapkan salam hukumnya sunah dan dia berdoa dengan keberkahan itu agar dia memperoleh kesepakatan bisnis yang diberkahi.

Apabila syafi’ menjual atau menghibahkan bagian hakmiliknya dalam kondisi tidak mengetahui adanya hak syuf’ah, menurut pendapat ashah, hak syuf’ah batal karena telah kehilangan faktor syuf’ah, yakni adanya persekutuan.

Di dalam menerima hak kepemilikan melalui syuf’ah tidak harus menunggu keputusan dari hakim, karena syuf’ah ditetapkan berdasarkan hadits Nabi dan ijma’ ulama. Begitu pula dengan menghadirkan nilai tukar, pembeli, dan kerelaannya, tidak menjadi persyaratan syuf’ah, sama seperti pengembalian barang akibat cacat.

e. Berbagai Tindakan Pembeli Terkait Masyfu’ fih dan Hal yang Menimpanya

Apabila pembeli telah mengelola bagian hak miliknya, misalnya dia mendirikan bangunan, atau berkebun di atas bagian hak miliknya, syafi’ dituntut menentukan pilihan antara mengambil alih kepemilikan atas barang yang telah dibangunnya dengan nilai tukar yang setara, dan membongkar barang yang telah didirikannya atau yang telah ditanamnya serta menanggung pengganti kekurangan yang menimpa tanah akibat pembongkaran tersebut.

syafi’ berwenang membatalkan sesuatu yang di dalamnya tidak dapat diberlakukan syuf’ah, misalnya wakaf. Di antaranya barang tersebut dibuat masjid hibah dan menyewakannya, lalu dia mengambil alih melalui syuf’ah, karena haknya yang berkenaan dengan barang yang dijual tetap utuh serta keberadaannya lebih dulu dibandingkan tindakan tersebut, sehingga haknya tidak batal hanya karena adanya tindakan semacam ini.

Dalam ibarat lain disampaikan, apabila pembeli menghibahkan, mewakafkan, menjual, atau mengembalikan bagian hak miliknya akibat cacat, syafi’ berwenang membatalkan perbuatan hukum pembeli tersebut dan dia berwenang mengambil alih barang dari pembeli kedua dengan menggunakan alat tukar yang dipergunakan pada saat pembelian, sehingga dia dituntut menentukan pilihan antara mengambil alih dengan Jual beli kedua, atau membatalkan penjualan dengan cara mengambil alih melalui syuf’ah, dan dia mengambil alih dengan jual beli pertama. Karena hukum kedua perbuatan itu sah, yakni perbuatan hukum pembeli yang telah disebutkan, karena perbuatan hukum itu secara kebetulan berkenaan dengan hak miliknya, sama seperti perbuatan hukum seorang anak yang berkenaan dengan sesuatu yang telah dihibahkan oleh ayahnya terhadap dirinya.

Sedangkan apabila masyfu’ fih tiba-tiba mengalami pertambahan yang tidak dapat dipisahkan di tangan pembeli sebelum syafi’ mengambil alihnya, seperti dahan ketika memanjang dan mengembang, syafi’ berwenang mengambil alih barang beserta pertambahannya, karena sesuatu yang tak terpisahkan turut serta dengan pangkalnya dalam kepemilikan, sama seperti turut sertanya dalam pengembalian barang akibat cacat.

Apabila pertambahan itu dapat dipisahkan -seperti buah misalnya- dan buah itu terlihat dengan jelas, syafi’ mempunyai hak memiliki buah tersebut, karena buah yang terlihat dengan jelas tidak turut serta dengan pangkalnya. Apabila buah tidak terlihat dengan Jelas, menurut pendapat qaul jadid, buah tersebut tidak turut serta pangkalnya, karena hal tersebut merupakan pengambilalihan hak tanpa ada unsur saling merelakan, sehingga syafi’ tidak berwenang mengambil alih barang, kecuali sesuatu yang telah disepakati pada saat akad.

6. Persaingan dan Sengketa Syuf’ah

a. Persaingan Para Pemegang Hak Syuf’ah

Apabila pemegang hak syuf’ah terdiri dari sekelompok orang, mereka dapat mengambil alih sesuai dengan bagian atau kepemilikan masing-masing. Karena Pengambilalihan itu merupakan kewenangan yang diperoleh melalui kepemilikan. Hak itu dibagi-bagi sesuai besaran kepemilikan, sama seperti uang sewa dan buah, karena masing-masing pemilik berwenang mengambil alih sesuai besaran kepemilikannya dari uang sewa dan buah.

Apabila salah seorang dari kedua rekanan menjual separuh miliknya terhadap si A, kemudian sisanya dijual terhadap si B, maka hak syuf’ah untuk separuh pertama (si A) menjadi milik rekanan lama. Menurut pendapat ashah, jika rekanan lama dapat merelakan dari separuh pertama (si A) pasca penjualan separuh kedua (si B), pembeli pertama (si A) bersekutu dengan rekanan lama dalam separuh kedua (si B). Karena, kepemilikan pembeli pertama (si A) lebih lulu dibandingkan penjualan kedua (si B). Hak pembeli pertama (si A) tetap utuh akibat pengampunan rekanan lama dari separuh pertama, sehingga dia mempunyai hak untuk bersekutu dengan rekanan lama. Apabila rekanan lama tidak mengampuni dari separuh hak milik yang dibelinya, bahkan dia mengambil alih hak milik itu darinya, pembeli pertama (si A) tidak bersekutu dengan rekanan lama, karena dia telah kehilangan kepemilikan.

Kata “kemudian” menunjukkan bahwa masalah ini terjadi ketika kedua penjualan itu dilakukan secara berurutan. Apabila kedua penjualan itu dilakukan secara bersamaan, sudah diketahui jawabannya bahwa hak syuf’ah menjadi milik bersama, khususnya pembeli pertama.

Menurut pendapat ashah, apabila salah seorang dari kedua orang yang memiliki hak syuf’ah memberi ampunan, haknya gugur, dan syafi’ yang lain diperkenankan memilih antara mengumpulkan semua dan meninggalkan semuanya. Dia tidak dapat dibenarkan hanya mengambil miliknya saja, supaya akad yang dilakukan pembeli tidak terpecah-pecah.

Menurut pendapat ashah, ketika syafi’ menggugurkan sebagian haknya, seluruh haknya menjadi gugur, sama seperti qishas. Andaikan kedua pemegang hak syuf’ah datang sendirian, dia berhak mengambil alih semua hak milik seketika itu juga, ketika tiba-tiba pemegang hak syuf’ah yang lain datang, dia bersekutu dengannya. Menurut pendapat ashah syafi’ yang hadir lebih dulu boleh menunda pengambilalihan hak milik sampai syafi’ yang belum hadir tiba.

Apabila ada dua orang yang melakukan pembelian bagian milik dari satu orang, syafi’ berwenang mengambil alih bagian milik mereka berdua atau hanya mengambil alih bagian salah satunya, karena dia tidak boleh memisah akad.

Menurut pendapat ashah, apabila ada satu orang melakukan pembelian bagian milik dari dua orang, syafi’ berwenang mengambil alih bagian salah seorang dari kedua penjual tersebut. Sebab, jumlah akad tergantung jumlahnya penjual sehingga kasus ini seperti ketika seseorang memiliki sebuah barang dengan dua akad.

b. Mediasi Hak Syuf’ah

Mediasi hak syuf’ah hukumnya tidak sah dalam situasi apa pun, seperti pengembalian barang karena cacat. Hak syuf’ah miliknya batal apabila dia mengetahui bahwa mediasi itu hukumnya batal. Apabila dia melakukan mediasi dengan meninggaikan hak syuf’ah yang termuat dalam keseluruhan hak milik dengan mengambil alih sebagian hak milik, mediasi hukumnya batal, karena syuf’ah tidak dapat ditukar dengan uang pengganti, dan hak syuf’ah yang dimilikinya batal jika dia mengetahui bahwa mediasi itu hukumnya batal. Jika tidak demikian maka syuf’ah tidak batal.

c. Berakhirnya Syuf’ah

Hak syuf’ah tidak gugur akibat syafi’ meninggal dunia, dan hak pengambilalihan melalui syuf’ah berpindah ke tangan ahli warisnya. Jika sebagian dari mereka mengampuni, sebagian ahli waris yang lain berwenang mengambil alih keseluruhan hak milik. Mereka tidak dibenarkan hanya mengambil alih milik yang khusus menjadi bagian mereka, atau mereka meninggalkan pengambilalihan melalui syuf’ah.

Hak syuf’ah menjadi gugur dalam situasi seperti di bawah ini.

Pertama, terjadi penundaan permohonan syuf’ah, dengan mempertimbangkan hal-hal pokok yang ditetapkan dalam bagian inti dari pembahasan tentang pelaksanaan syuf’ah.

Kedua, pengunduran diri syafi’ dari permohonan hak syuf’ah, baik secara konkret; misalnya dia berkata, “Saya tidak tertarik melakukan syuf’ah,” atau secara tersirat, misalnya dia meninggalkan tuntutan syuf’ah seketika itu juga tanpa disertai udzur.

Ketiga, syafi’ telah menjual barang tak bergerak yang dimilikinya sebelum keputusan hak syuf’ah menjadi miliknya, atau sebelum rekanan menjual bagian miliknya. Sebab, faktor yang memberi kewenangan melakukan syuf’ah telah hilang, yakni kepemilikan yang ditakutkan menimbulkan dampak yang merugikan. Syafi’ tidak dibenarkan mewakilkan penjualan hak miliknya terhadap orang lain yang dapat menggugurkan hak syuf’ah, sebagaimana penjelasan yang telah dikemukakan.

Keempat, masyfu’ fih telah dibagi-bagi, karena hak syuf’ah merupakan kewenangan yang tidak dapat dibagi-bagi, guna menghindari dampak kerugian yang menimpa pembeli akibat adanya pemilahan akad, yakni terpecah-pecahnya akad.

d. Persengketaan dalam Syuf’ah

Persengketaan antara kedua rekanan mungkin terjadi dalam berbagai hal, di antaranya sebagai berikut.

1) Persengketaan Jenis Hak Milik

Ketika dua rekanan bersengketa dalam kasus kepemilikan rumah, salah seorang dari mereka menggugat rekanan yang lain dengan mengklaim telah membeli bagian hak miliknya, dan rekanan yang lain berkata, “Tidak demikian, tetapi kamu telah mewariskannya, atau menghibahkannya, sehingga kamu tidak mempunyai hak syuf’ah,” maka pernyataan yang dapat dibenarkan adalah pernyataan penggugat dengan disertai sumpah. Karena, dia menggugat tentang perolehan hak milik melalui syuf’ah terhadap tergugat sehingga pernyataan dia yang dibenarkan. Hal ini sama seperti kasus ketika dia menggugat bagian miliknya terhadap pihak lain tanpa melalui syuf’ah.

2) Persengketaan Tanggal Kepemilikan

Apabila salah seorang dari kedua rekanan menggugat rekanannya bahwa dia telah membeli bagian hak miliknya setelah dia menjualnya, sehingga dia berwenang mengambil alih melalui syuf’ah, maka masing-masing gugatan dari kedua pihak dapat dibenarkan dengan disertai sumpah. Karena masing-masing pihak berstatus sebagai tergugat, dan masing-masing menggugat tentang perolehan hak miliknya melalui syuf’ah, sehingga pernyataan yang dapat dibenarkan adalah keduanya. Namun, apabila salah seorang dari kedua rekanan lebih dulu mengajukan gugatan dan penggugat telah melakukan sumpah, barang tersebut tetap menjadi miliknya. Kemudian jika orang yang telah bersumpah menggugat pihak lain, dan jika pihak lain juga bersumpah, maka barang tersebut juga tetap menjadi miliknya. Apabila tergugat menolak untuk bersumpah, sumpah dikembalikan kepada penggugat.

3) Persengketaan Besaran Nilai Tukar, Terjadinya Pembelian, atau Kepemilikan Lebih Awal

Apabila Pembeli dan syafi’ bersengketa dalam hal besaran nilai tukar, maka pembelilah yang dibenarkan dengan disertai sumpah, karena dia lebih mengerti dengan tindakan yang dilakukannya dibandingkan syafi’.

Begitu juga Pembeli dapat dibenarkan dengan disertai sumpah ketika dia mengingkari pembelian bagian hak milik. Misalnya dia berkata, “Saya tidak pernah membelinya,” atau dia mengingkari bahwa pemohon hak syuf’ah bukan rekanannya, atau kepemilikannya lebih awal daripada kepemilikan pembeli. Pembeli juga dapat dibenarkan dengan disertai sumpah, karena pada dasarnya perbuatan hukum tersebut tidak ada.

Apabila rekanan lama mengakui, sementara dia berstatus sebagai penjual dengan penjualan terhadap pembeli yang mengingkari pembelian, dan masyfu’ fih berada di tangannya, atau di tangan pembeli, dan dia berkata bahwa masyfu’ fih merupakan titipan terhadapnya, pinjaman,atau barang lainnya, menurut pendapat ashah, syafi’ tetap memiliki hak syuf’ah (Pemohon bagian atau sepotong hak milik). Karena, pengakuan penjual mengandung kepastian hak pembeli sekaligus syafi’, sehingga hak syafi’ tidak batal hanya karena pembeli mengingkarinya, sebagaimana pengingkaran syafi’ tidak membatalkan hak pembeli.

Nilai tukar diserahkan kepada penjual apabila dia tidak mengaku menerimanya dari penjual. Namun apabila dia mengakui telah menerima nilai tukar dari pembeli menurut pendapat ashah, nilai tukar dibiarkan berada di tangan syafi’.

4 Persengketaan Rusaknya Nilai Tukar yang Berwujud Barang

Apabila ada seseorang membeli bagian hak milik dengan nilai tukar berupa barang niaga (barang dagangan atau perlengkapan rumah), lalu barang tersebut rusak sementara pembeli dan syafi’ bersengketa dalam hal besaran nilai tukar, maka pernyataan yang dapat dibenarkan adalah pernyataan Pembeli. Karena bagian itu telah menjadi hak miliknya. Tidak ada alasan untuk mencabut hak miliknya hanya karena pernyataan penggugat.

Demikian penjelasan tentang Pengambilan Hak Secara Paksa yang Kami kutip dari Buku al-Fiqhu asy-Syafi’iy al-Muyassar, karya Prof. Dr. Wahbah Zuhaili

Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya

Dua Macam Berpikir, Karena Iman ...
الْفِكْرَةُ فِكْرَتَانِ فِكْرَةُ تَصْدِيْقٍ وَإِيْمَانٍ وَفِكْ...
Berpikir Adalah Pelita Hati
الْفِكْرَةُ سِرَاجُ الْقَلْبِ فَإِذَا ذَهَبَتْ فَلَا إِضَاءَةَ...
Pikirkan Makhluk-Nya
الْفِكْرَةُ سَيْرُ الْقَلْبِ فِى مَيَادِيْنِ الْأَغْيَارِ Berp...
Sangat terhina, waktu kosong tap...
الْخِذْلَانُ كُلَّ الْخِذْلَانِ اَنْ تَتَفَرَّغَ مِنَ الشَّوَا...
Orang Yang Diberkati Umurnya
مَنْ بُوْرِكَ لَهُ فِى عُمْرِهِ اَدْرَكَ فِى يَسِيْرٍ مِنَ الز...
Ada kalanya, Umur Panjang Tapi K...
رُبَّ عُمْرٍ اِتَّسَعَتْ امَادُهُ وَقَلَّتْ اَمْدَادُهُ وَرُبّ...

Anggota DINULQOYIM