Nurul Yaqin (Cahaya Keyakinan)

لَوْ أَشْرَقَ لَكَ نُوْرُ الْيَقِيْنِ لَرَأَيْتَ الْآخِرَةَ أَقْرَبَ إِلَيْكَ مِنْ أَنْ تَرْحَلَ إِلَيْهَا وَلَرَأَيْتَ مَحَاسِنَ الدُّنْيَا قَدْ ظَهَرَتْ كِسْفَةُ الْفَنَاءِ عَلَيْهَا

Andaikan cahaya keyakinan menerangi hatimu, niscaya engkau akan dapat melihat akhirat itu lebih dekat denganmu sebelum engkau melangkah menujunya. Dan engkau akan melihat keindahan-keindahan dunia diliputi dengan kesuraman yang menghinggapinya.

 

CAHAYA keyakinan itu dapat menyingkap hakikat segala sesuatu dengan keadaan yang sebenarnya, sehingga segala apa yang benar akan menjadi benar dan batil menjadi batil. Akhirat adalah kebenaran sedangkan dunia adalah batil.

Maka apabila cahaya keyakinan itu masuk dan menerangi hati seorang hamba, maka ia akan dapat melihat akhirat yang semula tidak ada di hadapannya menjadi nyata di hadapannya dan tidak akan pernah lenyap, sehingga akhirat itu lebih dekat dengannya sebelum ia melangkah menuju akhirat.

Bilamana ia melihat dunia, ia melihatnya sudah mulai gelap dan hampir rusak. Maka hilanglah dunia dari pandangannya dan nampaklah kebatilan dunia. Maka dengan pandangan seperti ini, ia menjadi orang yang zuhud terhadap dunia. Ia akan menjauh dari keindahan-keindahan dunia dan selalu menghadap kepada akhirat. la senantiasa bersiap-siap menanti datangnya ajal (kematian).

Perasaan seorang hamba yang demikian ini adalah tanda bahwa hatinya telah menjadi lapang dengan sebab dimasuki cahaya keyakinan. Hal inilah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam haditsnya:

إِنَّ النُّوْرَ إِذَا دَخَلَ الْقَلْبَ اِنْشَرَحَ لَهُ الصَّدْرُ وَانْفَسَحَ

“Sesungguhnya jika cahaya (keyakinan) itu masuk ke dalam hati, maka dada akan menjadi lapang.”

Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam kemudian ditanya:

يَا رَسُوْلَ اللهِ هَلْ لِذٰلِكَ مِنْ عَلَامَةٍ يُعْرَفُ بِهَا ؟

“Wahai Rasulullah. Apakah hal itu ada tandanya?”

Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam menjawab:

نَعَمْ, التَّجَافِي عَنْ دَارِ الْغُرُوْرِ وَالْإِنَابَةُ إِلَى دَارِ الْخُلُوْدِ وَالْإِسْتِعْدَادُ لِلْمَوْتِ قَبْلَ نُزُوْلِهِ

“Ya ada tandanya. Yaitu menjauhi negeri tipuan (dunia), kembali menuju negeri kekekalan (akhirat) dan selalu menyiapkan diri untuk menyambut kematian sebelum ia datang.”

 

Orang-Orang Yang Diberi Anugerah Nurul Yaqin

Sahabat yang paling utama adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu anhu. Hal ini dikarenakan beliaulah sahabat yang paling banyak mendapatkan pancaran cahaya keimanan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang menetap di dalam dadanya dibanding dengan para sahabat yang lain. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :

مَا فَضَلَكُمْ أَبُوْ بَكْرٍ بِكَثْرَةِ صِيَامٍ وَلَا صَلَاةٍ وَلٰكِنْ بِشَيْئٍ وَقَرَ فِي قَلْبِهِ

“Tidaklah Abu Bakar itu mengungguli kalian dengan sebab banyak berpuasa dan shalat, akan tetapi (ia mengungguli kalian) dengan sesuatu (nur iman) yang menetap dalam hatinya”

Para sahabat yang lain juga mendapat cahaya keyakinan seperti cerita di bawah ini.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, ia berkata: “Tatkala Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sedang berjalan-jalan tiba-tiba beliau bertemu dengan seorang pemuda dari Anshor. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata kepadanya:

كَيْفَ أَصْبَحْتَ يَا حَارِثَةُ ؟

“Bagaimana keadaanmu pagi hari ini, wahai Haritsah?”

Haritsah menjawab:

أَصْبَحْتُ مُؤْمِنًا بِاللهِ تَعَالَى حَقًّا

“Pagi ini saya dalam keadaan beriman kepada Allah dengan sesungguhnya.”

Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata kepadanya:

اُنْظُرْ مَا تَقُوْلُ فَإِنَّ لِكُلِّ قَوْلٍ حَقِيْقَةً, فَمَا حَقِيْقَةُ إِيْمَانِكَ ؟

“Perhatikan apa yang engkau ucapkan. Karena sesungguhnya segala kebenaran itu ada buktinya. Lalu apa bukti keimananmu ?”

Haritsah menjawab:

يَا رَسُوْلَ اللهِ عَزَفْتُ نَفْسِيْ عَنِ الدُّنْيَا فَأَسْهَرْتُ لَيْلِيْ وَأَظْمَأْتُ نَهَارِيْ فَكَأَنِّيْ بِعَرْشِ رَبِّيْ بَارِزًا وَكَأَنِّيْ أَنْظُرُ إِلَى أَهْلِ الْجَنَّةِ يَتَزَاوَرُوْنَ فِيْهَا وَكَأَنِّيْ أَنْظُرُ إِلَى أَهْلِ النَّارِ يَتَعَاوَوْنَ فِيْهَا

“Wahai Rasulullah, diriku sudah jemu terhadap dunia. Hingga saya sering bangun malam dan berpuasa siang hari. Seakan-akan saya melihat singgasana Tuhanku nampak di hadapanku. Seakan-akan saya melihat para penghuni surga saling berziarah dan seakan-akan saya melihat para penghuni neraka menjerit jerit.”

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

أَبْصَرْتَ فَالْزَمْ عَبْدٌ نَوَّرَ اللهُ الْإِيْمَانَ فِيْ قَلْبِهِ

“Sekarang engkau sudah mengetahui. Maka tetaplah dalam keadaan ini. Ini adalah hamba yang diberi Allah cahaya keimanan di dalam hatinya.”

Haritsah pun berkata kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam :

يَا رَسُوْلَ اُدْعُ اللهَ لِيْ بِالشَّهَادَةِ

“Doakanlah saya Wahai Rasulullah agar saya mati dalam keadaan syahid.”

Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendoakannya.

Kemudian suatu hari terdengar seruan jihad untuk pasukan berkuda: “Wahai pasukan berkuda Allah. Berangkatlah!” maka adalah Haritsah orang yang pertama dari pasukan berkuda yang menaiki kudanya dan orang yang pertama dari pasukan berkuda yang mati syahid.

Berita kematian Haritsah pun sampai kepada ibunya. Maka datanglah ibu Haritsah menuju Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian berkata:

يَا رَسُوْلَ اللهِ أخْبِرْنِيْ عَنِ ابْنِيْ فَإِنْ يَكُ فِى الْجَنَّةِ فَلَنْ أَبْكِيَ وَلَنْ أَجْزَعَ. وَإِنْ يَكُنْ غَيْرَ ذَلِكَ بَكَيْتُ مَا عِشْتُ فِى الدُّنْيَا

“Wahai Rasulullah! Beritahukanlah kepadaku di mana anakku sekarang? Jika ia berada di surga, maka saya tidak akan menangisi dan menyesalinya. Namun jika tidak, maka saya akan menangisinya selama saya hidup dalam dunia ini.”

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab:

يَا أُمَّ حَارِثَةَ, إِنَّهَا لَيْسَتْ بِـجَنَّةٍ وَلٰكِنَّهَا جَنَّةٌ فِى جِنَانٍ, وَحَارِثَةُ فِى الْفِرْدَوْسِ الْأَعْلَى

“Wahai ibu Haritsah, sesungguhnya itu bukanlah satu surga namun surga di dalam surga-surga. Dan anakmu Haritsah berada di surga Firdaus tertinggi. ”

Kemudian ibu Haritsah pun pulang. dalam keadaan tertawa sambil berkata:

بَخٍ بَخٍ لَكَ يَا حَارِثَةُ

“Beruntung engkau, beruntung engkau wahai Haritsah.” (HR. At-Thabrani, Al-Baihaqi dan Al-Bazzar)

 

Sahabat lain yang diberi anugerah nurul yaqin adalah Muadz bin Jabal radhiyallahu anhu.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, bahwasanya suatu ketika Mu’adz bin Jabal radhiyallahu anhu pernah masuk menuju Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam keadaan menangis. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata kepadanya:

كَيْفَ أَصْبَحْتَ يَا مُعَاذُ ؟

“Bagaimana keadaanmu pagi hari ini wahai Muadz?”

Mu’adz menjawab:

أَصْبَحْتُ مُؤْمِنًا

“Pagi ini saya dalam keadaan beriman kepada Allah.”

Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata:

إِنَّ لِكُلِّ قَوْلٍ مِصْدَاقًا وَلِكُلِّ حَقٍّ حَقِيْقَةً, فَمَا مِصْدَاقُ مَا تَقُوْلُ ؟

“Sesungguhnya setiap ucapan itu ada buktinya dan setiap kebenaran itu ada hakikatnya. Lalu apa bukti ucapanmu itu?”

Mu’adz menjawab:

يَا نَبِيَّ اللهِ مَا أَصْبَحْتُ صَبَاحًا قَطُّ إِلَّا ظَنَنْتُ أَنِّيْ لَا أُمْسِي, وَمَا أَمْسَيْتُ قَطُّ إِلَّا ظَنَنْتُ أَنِّي لَا أُصْبِحُ, وَلَا خَطَوْتُ خَطْوَةً قَطُّ إِلَّا ظَنَنْتُ أَنِّي لَا أُتْبِعُهَا أُخْرَى, وَكَأَنِّيْ أَنْظُرُ إِلَى كُلِّ أُمَّةٍ جَاثِيَةً تُدْعَى إِلَى كِتَابِهَا مَعَهَا نَبِيُّهَا وَأَوْثَانُهَا الَّتِيْ كَانَتْ تُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ اللهِ وَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى عُقُوْبَةِ أَهْلِ النَّارِ وَثَوَابِ أَهْلِ الْجَنَّةِ

“Wahai Nabiyullah. Tidaklah saya berada di waktu pagi melainkan saya merasa bahwa saya tidak akan bisa sampai waktu sore. Dan tidaklah saya berada di waktu sore melainkan saya merasa bahwa saya tidak akan sampai di waktu pagi. Tidaklah saya melangkahkan satu kaki melainkan saya merasa bahwa saya tidak akan bisa melangkahkan kaki yang lain. Seakan-akan saya memandang semua umat berlutut diseru untuk menuju kitab mereka. Bersama mereka ada para Nabi mereka dan berhala-berhala yang dulu selalu mereka sembah dari selain Allah. Seakan-akan saya melihat siksa para penghuni neraka dan kebahagian para penghuni surga.”

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

عَرَفْتَ فَالْزَمْ

“Wahai Mu’adz sekarang engkau sudah mengetahui, mata tetapilah.”

Inilah contoh dua orang yang hati mereka dimasuki dan diterangi oleh Allah dengan cahaya keyakinan, yaitu Haritsah bin Suraqah dan Muadz bin Jabal yang keduanya berasal dari sahabat Anshor.

Cahaya keyakinan itu telah menetap dalam hati mereka, sehingga timbullah ibroh-ibroh (pelajaran-pelajaran) dari mereka. Mereka dapat melihat apa yang ada di dunia dan di akhirat seperti melihat dengan mata kepala. Sehingga amal-amal mereka menjadi bersih dari cacat dan kekurangan. Terpelihara dari kekeliruan-kekeliruan dan kesalahan-kesalahan. Tampak dari mereka segala rahasia-rahasia. Mereka selalu cepat-cepat untuk melakukan apa yang disenangi Allah.

Arwah-arwah mereka berterbangan karena rindu ingin bertemu Allah. Merasa senang dengan kematian sehingga kematian itu bagi mereka terasa manis melebihi manisnya madu. Kematian adalah kekasih yang datang atas kemelaratan yang tidak akan beruntung orang yang menyesal.

Begitu juga orang-orang selain mereka yang diberikan nurul yaqin dari kalangan para sahabat, tokoh-tokoh besar tabi’in dan para imam (pemimpin-pemimpin) agama.

Anas bin Malik radhiyallahu anhu menceritakan bahwa paman beliau yang bernama Haram bin Milhan ketika terjadi peristiwa Bi-ir Ma’unah – terkena luka tusuk di kepalanya. Kemudian ia menadahi darah itu dengan telapak tangannya dan ia sapukan ke kepala dan wajahnya sambil berkata: “Demi Allah, Tuhan Ka’bah. Sungguh aku beruntung.”

Adalah Jabbar bin Sulami termasuk orang-orang yang menghadiri peristiwa Bi-ir Ma’unah bersama Amir bin Thufail, kemudian Jabbar bin Sulami memeluk Islam setelah itu. Jabbar bin Sulami mengatakan: “Di antara hal-hal yang mendorong saya untuk memeluk Islam adalah ketika saya pernah menusuk seorang dari para sahabat yang ikut dalam peristiwa Bi-ir Ma’unah. Kemudian saya mendengar dia mengatakan: “Demi Allah. Aku telah beruntung.” Maka saya berkata dalam hati: “Demi Allah. Sebenarnya dia tidaklah beruntung. Sebab bukankah saya telah membunuhnya?” kemudian saya tanyakan mengenai ucapan orang itu. Mereka mengatakan: “Itu adalah mati syahid.” Maka saya pun berkata: “Demi umurku yang ada di dalam kekuasaan Allah. Beruntunglah orang-orang yang terkena tusuk.” Laki-laki yang tertusuk itu bernama Amir bin Fuhairah.

 

Dalam hadits lain Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda mengenai tiga orang panglima perang yang memegang bendera yang gugur dalam peperangan Mu’tah :

أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيْبَ ثُمَّ أَخَذَهَا جَعْفَرٌ فَأُصِيْبَ، ثُمَّ أَخَذَهَا عَبْدُ اللهِ ابْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيْبَ ثُمَّ أَخَذَهَا خَالِدُ بْنُ الْوَلِيْدِ عَنْ غَيْرِ إِمْرَةٍ فَفُتِحَ عَلَيْهِ

“Bendera itu dipegang oleh Zaid kemudian ia gugur. Setelah itu dipegang oleh Ja’far kemudian ia gugur. Setelah itu dipegang oleh Abdullah bin Rawahah kemudian ia gugur. Setelah itu dipegang oleh Khalid bin Walid dengan tanpa komando. Kemudian Allah memberikan kemenangan melalui Khalid bin Walid. ”

Kemudian Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

وَمَا يَسُرُّنِي – اَوْ قَالَ: – مَا يَسُرُّهُمْ اَنَّهُمْ عِنْدَنَا

“Tidaklah aku merasa senang” atau Nabi shallallahu alaihi wasallam mengatakan: “Tidaklah mereka merasa senang bahwa mereka (akan kembali ke dunia) bersama kita.” Kemudian kedua mata Nabi shallallahu alaihi wasallam meneteskan air matanya. (HR. Bukhari)

Betapa beruntungnya mereka. Sungguh mereka telah memperoleh martabat-martabat yang mulia dan kedudukan-kedudukan yang tinggi.

Betapa celakanya orang-orang yang seperti kita, yang buta mata hati dan gelap nuraninya, sehingga tertutup dari matahari makrifat dan terjerumus dalam lembah kebinasaan serta tertipu dengan negeri dunia yang menipu dan yang menyihir (mempesona) ini. Sehingga, cakar-cakar kita tersangkut di jaring-jaring dunia dan terjatuh dalam jebakannya-jebakannya tanpa bisa kita merasakan kebenaran dan kepalsuannya.

Kita menuju dan bersandar kepada dunia. Bagaikan seseorang yang kehausan yang melihat fatamorgana yang seolah-olah air. Tatkala ia mendatanginya, ia tidak menemukan kesenangan dan kelapangan di tempat itu.

Di samping telah melakukan semua ini, kita pun masih tetap mengaku sebagai orang yang beragama dan mempunyai makrifat dan keyakinan yang sempurna dan masuk dalam lautan-lautan para kekasih Allah yang bertakwa.

Padahal seandainya jika kita diminta untuk memilih antara kematian dan hidup selamanya di dunia, niscaya kita memilih untuk hidup selamanya di dunia dengan keadaan seperti itu, tanpa terbesit sedikitpun di dalam hati kita untuk meningkatkan amal taat dan meninggalkan perbuatan maksiat.

Semua perbuatan ini adalah perbuatan orang-orang Yahudi yang tidak pantas bagi orang yang menisbatkan dirinya dengan agama Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menceritakan tentang keadaan orang-orang Yahudi dan menyingkap isi-isi hati mereka dan membuka kedok mereka:

وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذَابِ أَنْ يُعَمَّرَ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ

“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi ) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun. Padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 96)

Andaikata Allah tidak melarang orang yang berakal dari mencintai kekekalan di negeri dunia ini dan tidak memerintahkannya untuk mengutamakan negeri tempat menetap (akhirat) melainkan hanya menyerupakannya dengan orang-orang Yahudi yang melanggar perjanjian dan meremehkan perintah-perintah Allah, niscaya hal itu adalah sebuah larangan dan perintah yang sangat keras (untuk membenci dunia dan mencintai akhirat) lebih-lebih lagi dengan datangnya larangan-larangan dan nasehat-nasehat dari Allah dan Rasul-Nya.

Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala menghilangkan dari hati-hati kita hijab (tabir) kelalaian dan tipuan dan melindungi kita dari kesamaran segala kedholiman dan kekufuran dan menjadikan kita cinta untuk bertemu dengan-Nya dan memberikan kita apa yang Dia berikan kepada para auliya-Nya dan orang-orang pilihan-Nya dan kekasih-kekasih-Nya dengan (semata-mata) karunia dan kemurahan-Nya. Amin.

Dikutip dari Buku al Hikam Mutiara Hikmah Kehidupan asuhan Habib Ahmad bin Husen Assegaf.

Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya

Dua Macam Berpikir, Karena Iman ...
الْفِكْرَةُ فِكْرَتَانِ فِكْرَةُ تَصْدِيْقٍ وَإِيْمَانٍ وَفِكْ...
Berpikir Adalah Pelita Hati
الْفِكْرَةُ سِرَاجُ الْقَلْبِ فَإِذَا ذَهَبَتْ فَلَا إِضَاءَةَ...
Pikirkan Makhluk-Nya
الْفِكْرَةُ سَيْرُ الْقَلْبِ فِى مَيَادِيْنِ الْأَغْيَارِ Berp...
Sangat terhina, waktu kosong tap...
الْخِذْلَانُ كُلَّ الْخِذْلَانِ اَنْ تَتَفَرَّغَ مِنَ الشَّوَا...
Orang Yang Diberkati Umurnya
مَنْ بُوْرِكَ لَهُ فِى عُمْرِهِ اَدْرَكَ فِى يَسِيْرٍ مِنَ الز...
Ada kalanya, Umur Panjang Tapi K...
رُبَّ عُمْرٍ اِتَّسَعَتْ امَادُهُ وَقَلَّتْ اَمْدَادُهُ وَرُبّ...

Anggota DINULQOYIM