Merasa Tawadhu’ Berarti Sombong

مَنْ رَأَى لِنَفْسِهِ تَوَاضُعًا فَهُوَ الْمُتَكَبِّرُ حَقًّا اِذْ لَيْسَ التَّوَاضُعُ اِلَّا عَنْ رِفْعَةٍ فَمَتَى أَثْبَتَّ لِنَفْسِكَ تَوَاضُعًا فَأَنْتَ الْمُتَكَبِّرُ

Siapa yang merasa dirinya tawadhu’ berarti dia benar-benar sombong. Sebab, tidak ada tawadhu’ kecuali kalau ia merasa dirinya tinggi. Maka jika engkau menetapkan dirimu tawadhu’ berarti engkau orang yang sombong.

 

ORANG yang menetapkan bahwa dirinya tawadhu’ (rendah diri) menunjukkan bahwa ia pasti merasa dirinya mulia dan tinggi. Ia merasa aslinya ia adalah orang besar, cuma ia merendahkan dirinya. Ini berarti ada kesombongan dalam dirinya. Sebab, adanya kerendahan diri yang ada pada manusia tidak butuh untuk ditetapkan pada diri seseorang karena kerendahan diri itu sudah ada dengan sendirinya.

Lagi pula lafad tawadhu’ dalam bahasa Arab mengikuti wazan At-tafa’ul yang berarti menampakkan sifat yang tidak sebenarnya. Contoh, At-tanawum artinya pura-pura tidur padahal tidak tidur. At-tawadhu’ berarti menampakkan bahwa ia rendah diri, padahal ia merasa tinggi atau sombong.

Yang diminta dari seorang hamba ialah ia bersifat tawadhu’ yang sebenarnya (atau disebut dengan dhi’ah) bukan sekedar “ menampakkan sifat tawadhu” itu dengan kepura-puraan.

Orang-orang yang mengenal Allah (Arif billah) sama sekali tidak menetapkan pada diri mereka keistimewaan sedikitpun melebihi yang lain. Bahkan mereka melihat segala sesuatu itu sama, satu makhluk Allah. Mereka adalah orang yang memang tawadhu’ dari pertama kali. Tawadhu’ mereka asli.

Engkau tidak menjadi tawadhu’ sehingga engkau merasa segala sesuatu itu sama dengan dirimu atau lebih baik darimu. Abu Yazid Al-Busthami berkata: “Selagi seorang hamba itu melihat masih ada makhluk yang lebih jelek dari dirinya, maka ia adalah orang yang sombong. Ia tidak menjadi seorang yang tawadhu’ sehingga ia tidak merasa bahwa dirinya memiliki kedudukan dan kemuliaan.”

Habib Abu Bakar Al-Adeni disuruh ayahnya, Habib Abdullah Al-Idrus, untuk mencari orang yang lebih jelek dari dirinya. Habib Abu Bakar Al-Adeni tidak menemukan orang yang lebih jelek dari dirinya. Bahkan, dalam perasaannya, anjing lebih mulia dari dirinya.

Dikutip dari Buku al Hikam Mutiara Hikmah Kehidupan asuhan Habib Ahmad bin Husen Assegaf.

Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya

Dua Macam Berpikir, Karena Iman ...
الْفِكْرَةُ فِكْرَتَانِ فِكْرَةُ تَصْدِيْقٍ وَإِيْمَانٍ وَفِكْ...
Berpikir Adalah Pelita Hati
الْفِكْرَةُ سِرَاجُ الْقَلْبِ فَإِذَا ذَهَبَتْ فَلَا إِضَاءَةَ...
Pikirkan Makhluk-Nya
الْفِكْرَةُ سَيْرُ الْقَلْبِ فِى مَيَادِيْنِ الْأَغْيَارِ Berp...
Sangat terhina, waktu kosong tap...
الْخِذْلَانُ كُلَّ الْخِذْلَانِ اَنْ تَتَفَرَّغَ مِنَ الشَّوَا...
Orang Yang Diberkati Umurnya
مَنْ بُوْرِكَ لَهُ فِى عُمْرِهِ اَدْرَكَ فِى يَسِيْرٍ مِنَ الز...
Ada kalanya, Umur Panjang Tapi K...
رُبَّ عُمْرٍ اِتَّسَعَتْ امَادُهُ وَقَلَّتْ اَمْدَادُهُ وَرُبّ...

Anggota DINULQOYIM