KHULU’

KHULU’

1. Definisi, Pensyariatan, dan Rukun Khulu’

Khulu’ secara etimologi berarti “mencabut” dan secara terminologi berarti perpisahan antara suami istri dengan pemberian iwadh (kompensasi) dan dilakukan lafazh talak atau khulu’. Contohnya suami berkata, “Aku menalakmu atau mengkhulu’mu dengan kompensasi sekian harta.” Lalu istrinya menerima, baik redaksi talak tersebut sharih maupun kinayah.

Khulu’ disyariatkan berdasarkan firman Allah SWT , “Jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati,” (QS. an-Nisa’ [4]: 4) dan firman-Nya, “Jika kalian (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya,” (QS. al-Baqarah [2]: 229).

Khulu’ juga disinggung dalam hadits al-Bukhari yang berbicara ihwal istri Tsabit bin Qais ra. Nabi saw bersabda kepada Tsabit ra, “Terimalah kebun itu dan talaklah dia.” Ini merupakan khulu’ yang pertama kali terjadi dalam Islam. Artinya, ketika seorang suami diperkenankan menikmati kemaluan istri dengan kompensasi tertentu maka dia pun boleh melepas hak tersebut dengan suatu kompensasi pula, seperti halnya jual beli. Pernikahan ibarat jual beli, sedangkan khulu’ itu seperti pernikahan. Di samping itu, khulu’ umumnya bertujuan untuk menghilangkan kerugian pihak wanita. Jadi, khulu’ diperbolehkan dengan kompensasi yang pasti. Namun, ia dimakruhkan sebab mengandung unsur penghentian ikatan pernikahan yang diperintahkan syara’, berdasarkan sabda Rasulullah saw “Perbuatan halal yang paling dimurkai Allah adalah talak.

Hukum makruh itu berlaku secara umum, namun ada dua khulu’ yang hukumnya tidak makruh.

Pertama, suami istri atau salah satunya khawatir tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah (maksudnya, sesuatu yang diwajibkan dalam perkawinan), sesuai firman Allah SWT, “Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah,” (QS. al-Baqarah [2]: 229). Penyebutan “khawatir” pada ayat ini bersifat umum. Sebab, umumnya khulu’ terjadi akibat pertengkaran. Jika istri tidak suka suaminya karena buruk rupa atau sikap yang tidak terpuji, dan dia khawatir tidak bisa memenuhi hak suaminya, dia boleh meminta khulu’ dengan kompensasi tertentu. Hal ini sesuai dengan ayat, “Maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya,” (QS. al-Baqarah [2]: 229).

Kedua, suami bersumpah akan melakukan taklik talak tiga terhadap istrinya dengan perbuatan yang pasti dia lakukan (seperti makan, minum, dan buang hajat) lalu dia mengkhulu’nya, kemudian melakukan hal yang dijadikan sumpah, selanjutnya menikahi dia, maka dia tidak melanggar sumpah, sebab sumpahnya sudah batal dengan perbuatan pertama. Maksudnya, talak tiganya tidak jatuh.

Menurut pendapat yang mu’tamad, khulu’ dapat mengurangi jumlah talak karena khulu’ itu sama dengan talak, bukah fasakh.

Rukun khulu’ ada lima, yaitu suami, penerima kompensasi, kemaluan (pernikahan), kompensasi, dan shighat (pernyataan mengkhulu’).

2. Syarat-Syarat Khulu’

Syarat masing-masing rukun khulu’ adalah sebagai berikut.

a.           Syarat untuk Suami

Khulu’ sah dilakukan oleh setiap suami yang sah melakukan talak. Yaitu orang baligh, berakal, dan atas keinginan sendiri karena khulu’ sama dengan talak. Suami merupakan rukun khulu’, bukan syarat. Jadi, khulu’ yang dilakukan anak kecil, orang gila, dan orang yang dipaksa tidak sah, seperti tidak sahnya talak mereka. Adapun khulu’ orang yang transaksinya dicekal akibat bodoh maka hukumnya tetap sah, baik seizin wali maupun tidak, asal dengan mahar mitsil atau kurang dari itu. Dia wajib memberikan kompensasi kepada si wali sebagaimana hartanya yang lain. Jika istri menyerahkan kompensasi kepada orang yang bodoh tanpa izin walinya -utang- maka dia belum bebas dan wali bisa menarik uang itu darinya. Jika wali langsung mengambil kompensasi itu dari orang bodoh yang di bawah perwaliannya maka si wanita bebas.

b. Syarat Penerima Kompensasi

Penerima kompensasi, baik penerima atau pemohon khulu’, atau orang lain yang menerima khulu’, agar khulu’nya sah, disyaratkan harus bebas melakukan transaksi harta. Artinya, dia harus mukallaf dan tidak dicekal hak transaksinya. Pencekalan ini karena empat sebab yaitu bodoh, sakit, masih kecil, dan gila. Jadi, khulu’ yang dilakukan wanita bodoh (safah) tidak sah. Ketika wanita bodoh mengeluarkan pernyataan sanggup memberikan kompensasi sebagai imbalan penyelesaian masalah, khulu’nya batal dan jatuhlah talak raj’i.

Wali tidak diperkenankan mengkhulu’kan wanita yang mempunyai anak kecil maupun mengkhulu’kan anak kecil perempuan yang kekurangan harta. Alasan kasus pertama karena talak hanya sah dilakukan oleh suami, sedangkan alasan kasus kedua sebab khulu’ merupakan murni kondisi darurat, sehingga wali tidak mempunyai wewenang untuk melakukannya.

Khulu’ wanita sakit menjelang kematiannya tetap sah sebab dia berhak memanfaatkan hartanya untuk kemaslahatan dirinya. Ini berbeda dengan wanita bodoh. Seperti keabsahan orang sakit menjelang mati untuk memperistri gadis dengan mahar mitsil tanpa ada hajat. Dia tidak boleh memberikan sepertiga hartanya, kecuali lebih sedikit dari mahar mitsil. Sebab, pemberian itu harus lebih sedikit dari mahar mitsil. Dia seperti berwasiat kepada orang lain. Berbeda dengan mahar mitsil dan harta kurang dari itu, maka dihitung dari modal.

Jika suami mengkhulu’ wanita bodoh (yang dicekal transaksinya karena bodoh) setelah berhubungan seksual dengan kata “khulu”‘ misalnya berkata, “Aku mengkhulu’mu dengan kompensasi seribu,” atau, “Aku menalakmu dengan kompensasi seribu,” lalu istrinya menerima, maka dia tertalak raj’i. Sementara penyebutan kompensasi itu tidak berkonsekuensi hukum. Sebab, wanita bodoh tidak termasuk orang yang berhak menerima itu, meskipun walinya memberi izin. Wali tidak boleh membelanjakan harta wanita tersebut dalam kondisi seperti ini.

c. Syarat Kemaluan

Kemaluan Istri adalah milik suami. Jadi, tidak sah khulu’ terhadap selain istri. Menurut pendapat yang azhar, seorang suami sah mengkhulu’ istri yang ditalak raj’i, sebab dia berstatus sebagai istri dalam sejumlah ketentuan hukum. Namun seorang suami tidak sah mengkhulu’ istri yang tertalak ba’in karena dia tidak memiliki hak atas kemaluan wanita tersebut. Demikian sesuai ijma’ sahabat.

Khulu’ ditangguhkan dalam kondisi murtadnya kedua suami istri atau salah satunya; juga dalam kasus Islamnya salah seorang suami istri paganis setelah berhubungan seksual.

d. Syarat Kompensasi

Kompensasi dalam khulu’ sah, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak, baik diutang, berupa benda, maupun berupa manfaat, sebab Allah SWT berfirman, “Maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya,” (QS. al-Baqarah [2]: 229). Di samping itu khulu’ merupakan akad atas manfaat kemaluan, jadi boleh dengan kompensasi yang ditentukan, seperti halnya maskawin. Segala sesuatu yang boleh dijadikan maskawin juga boleh dijadikan kompensasi dalam khulu’. Namun, ada dua pengecualian dari kemutlakan kata “manfaat” ini.

Pertama, khulu’ dengan kompensasi berupa si suami membebaskan tempat tinggal istrinya. Dalam kasus ini, talak pun jatuh. Suami tidak boleh mengganti dengan kompensasi lain sebab mengusir mantan istri dari rumah adalah haram. Istri berhak memperoleh tempat tinggal dan juga mahar mitsil.

Kedua, khulu’ dengan kompensasi mengajar al-Qur’an. Khulu’ seperti ini tidak sah sebab tidak mudah mewujudkannya.

Untuk sesuatu yang dipakai kompensasi, disyaratkan harus memenuhi syarat-syarat harga dalam jual beli, yakni memiliki nilai, diketahui besarnya, dan bisa diserahterimakan. Seandainya seseorang melakukan khulu’ dengan kompensasi sesuatu yang tidak diketahui, seperti satu dari dua barang, atau khamr yang dimaklumi, atau hal lain yang tidak bisa dimiliki, atau dengan sesuatu yang tidak mungkin diserahterimakan, maka istrinya tertalak ba’in dengan kompensasi mahar mitsil. Sebab, mahar mitsillah yang dimaksud ketika kompensasi rusak. Maksudnya, seandainya seseorang melakukan khulu’ dengan kompensasi berupa sesuatu yang tidak diketahui atau khamr, maka istrinya tertalak ba’in dengan kompensasi senilai mahar mitsil.

Yang dimaksud “khamr” di sini adalah suatu najis yang sudah dipahami. Jika ia bukan najis yang sudah dipahami seperti darah, maka jatuhlah talak raj’i sebab kata itu tidak memiliki makna apa pun.

Khulu’ orang kafir dengan kompensasi sesuatu yang bersifat nonmateriil hukumnya sah, sebagaimana dalam pernikahan mereka. Jika dia masuk Islam setelah menerima seluruh kompensasi, dia tidak berhak menerima apa pun dari mantan istri. Jika dia belum menerima apa pun darinya, maka dia berhak atas mahar mitsil; atau setelah menerima sebagian kompensasi, maka wajib ada pembagian yang adil baginya.

Jika suami mengkhulu’ istri dengan kompensasi benda, seperti barang perniagaan, lalu barang tersebut rusak sebelum diserahkan, atau ternyata menjadi hak milik selain istri, atau cacat lalu dikembalikan, atau tidak memenuhi ketentuan yang berlaku lalu dikembalikan, maka dia mengambil mahar mitsil.

Kompensasi khulu’ bagi istri adalah layaknya maskawin bagi suami, dalam arti sebagai tanggungan akad.

Apabila seorang suami berkata kepada istrinya, “Jika kamu membebaskan aku dari maskawinmu atau dari utangmu, kamu orang yang ditalak.” Lalu jika dia membebaskan suaminya tanpa mengetahui hal itu, maka dia tidak tertalak sebab pembebasan di sini tidak sah, sehingga tidak ditemukan sesuatu yang ditaklik oleh talak.

Perlu diperhatikan. Pembebasan bagi satu pihak itu berarti pemilikan, sedangkan bagi pihak yang dibebaskan berarti pengguguran. Karena itu, pihak pertama disyaratkan harus tahu, sedang pihak kedua tidak. Hal ini selama masalahnya tidak berkembang menjadi pertentangan suami. Jika terjadi pertentangan, keduanya sama-sama disyaratkan harus mengetahui.

3. Perwakilan dalam Khulu’

Suami istri boleh mewakilkan khulu’, mengingat khulu’ merupakan akad pertukaran seperti jual beli. Apabila suami berkata kepada wakilnya, “Khulu’lah dia dengan kompensasi seratus,” misalnya, maka wakilnya tidak boleh mengurangi angka tersebut, sebab itu tidak diizinkan. Jika suami memutlakkan izin kepada wakilnya, misalnya, “Khulu’lah dia dengan kompensasi harta” atau dia diam saja, maka wakil tidak boleh menentukan kompensasi kurang dari mahar mitsil, sebab mahar mitsil itulah yang dimaksud. Wakil boleh meminta kompensasi lebih dari mahar mitsil, baik dari benda sejenis maupun bukan. Jika wakil menetapkan kompensasi kurang dari seratus (dalam kasus pertama) dan kurang dari mahar mitsil (dalam kasus kedua) dengan selisih yang cukup mencolok -yang nilainya tidak pantas secara umum- maka istrinya tidak tertalak sebab masih adanya persengketaan. Ini seperti tidak sahnya jual beli yang dilakukan oleh para wakil.

3. Perwakilan dalam Khulu*

Suami istri boleh mewakilkan khulu’, mengingat khulu’ merupakan akad pertukaran seperti jual beli. Apabila suami berkata kepada wakilnya, “Khulu’lah dia dengan kompensasi seratus,” misalnya, maka wakilnya tidak boleh mengurangi angka tersebut, sebab. itu tidak diizinkan. Jika suami memutlakkan izin kepada wakilnya, misalnya, “Khulu’lah dia dengan kompensasi harta” atau dia diam saja, maka wakil tidak boleh menentukan kompensasi kurang dari mahar mitsil, sebab mahar mitsil itulah yang dimaksud. Wakil boleh meminta kompensasi lebih dari mahar mitsil, baik dari benda sejenis maupun bukan. Jika wakil menetapkan kompensasi kurang dari seratus (dalam kasus pertama) dan kurang dari mahar mitsil (dalam kasus kedua) dengan selisih yang cukup mencolok -yang nilainya adanya persengketaan. Ini seperti tidak sahnya jual beli yang dilakukan oleh para wakil.

Kasus pengurangan kompensasi khulu’ bisa dianalogikan dengan mahar yang besarnya telah ditentukan (atau mahar mitsil), dalam kasus orang yang mengkhulu’ dengan kompensasi yang ditangguhkan, atau dengan selain mata uang yang berlaku di suatu negara.

Apabila seorang istri berkata kepada wakilnya, “Lakukanlah khulu’ dengan kompensasi 1000 dirham,” misalnya lalu dia mengikuti ucapan tersebut, maka khulu’nya sah sebab khulu’ seperti yang diperintahkan telah terjadi. Demikian halnya jika dia mengkhulu’ dengan kompensasi kurang dari 1000 dirham.

Apabila wakilnya menambahkan kompensasi yang telah ditentukan oleh si istri, misalnya dia berkata, “Aku mengkhulu’ dia dengan kompensasi dua ribu yang diambil dari hartanya dengan perwakilan,” maka dia tertalak ba’in dan wajib mengeluarkan mahar mitsil karena kompensasi yang ditentukan telah rusak akibat tindakan wakil (penambahan) yang tidak diizinkan.

Jika wakil menyandarkan khulu’ pada dirinya sendiri -yaitu khulu’ lewat pria lain di luar suami istri- maka hukumnya sah. Dia wajib mengeluarkan hartanya sendiri sebagai kompensasi, sedang si istri tidak dikenai kewajiban apa pun. Sebab, penyandaran wakil pada dirinya sendiri merupakan penyimpangan perwakilan dan bentuk kelaliman wakil.

Apabila wakil memutlakkan khulu’, misalnya dia tidak menyandarkannya pada diri sendiri tidak pula kepada istri, tapi meniatkan hal itu untuk istri, maka menurut pendapat yang azhar, si istri dikenai kewajiban memberikan kompensasi yang telah dia tentukan sebab dia telah menyanggupinya. Wakil pun wajib memberikan tambahan karena istri tidak akan ridha dengan jumlah kompensasi yang lebih besar dari nilai yang telah dia tentukan.

Sifat Wakil

Suami boleh mewakilkan khulu’, meskipun dari wanita muslimah kepada kafir dzimmi (yang bersikap kooperatif kepada pemerintah Islam) atau kepada orang yang dicekal transaksinya karena bodoh, meskipun walinya tidak mengizinkan. Sebab dalam hal ini wakil tidak dikaitkan dengan perjanjian. Namun, penerimaan kompensasi tidak boleh diwakilkan kepada orang yang dicekal transaksinya karena bodoh, sebab dia tidak mumpuni untuk masalah itu. Jika dia mewakilkan hal itu kepadanya dan dia menerima, berarti suami telah menghamburkan hartanya. Sementara istri yang mengajukan khulu’ tetap terbebas dari ikatan pernikahan dengan pemberian kompensasi tersebut.

Menurut pendapat yang ashah, perwakilan suami kepada seorang perempuan untuk mengkhulu’ istrinya atau menalaknya hukumnya sah. Hal ini karena perempuan itu sah menalak dirinya sendiri dalam kasus ketika suami menyerahkan hak talak kepadanya.

Apabila suami istri bersamaan mewakilkan khulu’ kepada seorang pria maka pria itu hanya mewakili salah satu pihak (maksudnya, mana saja yang dia kehendaki). Pihak yang lain diwakili oleh salah satu suami istri atau wakilnya. Wakil ini tidak boleh mewakili dua belah pihak, seperti halnya dalam jual beli dan lainnya.

Syarat Shighat dalam Khulu’

Redaksi khulu’ ada yang sharih ada pula yang kinayah. Khulu’ yang sharih tidak memerlukan niat. Sebaliknya, khulu’ kinayah membutuhkan niat.

Shighat khulu’ yang sharih adalah dengan kata “khulu”‘ seperti, “Aku mengkhulu’mu dengan kompensasi seribu,” atau kata “tebusan” seperti, “Aku menebusmu dengan nilai sekian,” dan kata “talak” misalnya, “Kamu orang yang ditalak dengan kompensasi seribu.Demikian pula pernyataan suami, “Jika kamu memberiku seribu maka kamu orang yang ditalak,” lalu istrinya langsung memberi seribu maka dia tertalak ba’in. Begitu juga seperti pernyataan istri, “Talaklah aku dengan kompensasi seribu,” lalu suaminya berkata, “Kamu orang yang ditalak,” maka istri wajib memberikan seribu.

Apabila kata in (jika) diganti dengan mata dan kalimat taklik talak lainnya maka khulu’ tidak disayaratkan harus segera. Namun disyaratkan harus ada kesesuaian antara ijab dan qabul. Seandainya suami berkata kepada istrinya, “Aku menalakmu dengan kompensasi seribu” lalu dia menerima dengan kompensasi dua ribu, pernyataan ini tidak berkonsekuensi hukum apa pun.

Khulu’ yang menggunakan kata “khulu”‘ dan semisalnya merupakan talak sharih, bukan fasakh. Apabila kata “khulu”‘ digunakan tanpa menyebutkan besarnya kompensasi, menurut pendapat yang ashah, suami wajib menerima mahar mitsil.

Shighat Khulu’ Kinayah

Khulu’ juga sah dilakukan dengan sejumlah bentuk talak kinayah yang dibarengi niat talak. la juga sah menggunakan bahasa non-Arab, asal mengindikasikan makna khulu’. Apabila suami berkata kepada istrinya, “Aku menjual dirimu dengan harga sekian, seribu,” misalnya, lalu istrinya langsung menjawab, “Aku beli,” atau “Aku terima,” atau kata semisalnya, maka ini termasuk khulu’ kinayah.

Jika suami memulai khulu’ dengan kalimat pertukaran seperti, “Aku menalakmu” atau “Aku mengkhulu’mu dengan kompensasi sekian,” maka berdasarkan pengetahuan umum, khulu’ ini merupakan talak, menurut pendapat yang rajih. Praktik seperti ini adalah pertukaran sebab suami mengambil kompensasi sebagai imbalan dari hak yang dikeluarkan dan bercampur taklik sebab jatuhnya talak tergantung pada penerimaan kompensasi. Pertukaran seperti ini didasari tiga faktor.

1. Suami boleh mencabut khulu’ sebelum menerimanya karena ini ketentuan pertukaran.

2. Disyaratkan adanya qabul dari istri yang khulu’ yang mampu berbicara dengan segera, tidak terpisah (dari ijab).

3. Disyaratkan adanya kesesuaian antara ijab dan qabul.

Apabila qabul berbeda dengan ijab, seperti perkataan suami, “Aku menalakmu dengan kompensasi seribu,” lalu istri menerimanya dengan kompensasi dua ribu, atau sebaliknya, atau “Kamu aku talak tiga dengan kompensasi seribu,” lalu istrinya menerima talak satu dengan kompensasi tiga ribu, maka tiga contoh ini tidak membawa konsekuensi hukum. Sebab ketiga contoh tersebut terjadi perbedaan antara ijab dan qabul, seperti dalam jual beli.

Apabila suami berkata, “Aku menalakmu tiga dengan kompensasi seribu,” lalu istrinya menerima talak satu dengan kompensasi seribu, menurut pendapat yang ashah, jatuhlah talak tiga, dan istri wajib memberikan seribu. Sebab, suami mengajukan talak, dan qabul istrinya dipertimbangkan atas dasar pemberian harta. Ketika si istri menyanggupi pembayaran harta tersebut maka talak dari pihak suamilah yang dipertimbangkan.

Jika suami yang pertama mengucapkan shighat taklik dalam bentuk kalimat positif, misalnya “kapan,” “kapan pun,” “pada saat, ” atau “pada waktu kamu memberiku kompensasi sekian maka kamu orang yang ditalak”, maka ini merupakan taklik murni dari pihak suami. Dalam hal ini, suami tidak boleh rujuk sebelum dia memberi kompensasi, seperti taklik yang tidak bermuatan kompensasi dalam contoh, “Jika kamu masuk rumah maka kamu orang yang ditalak.” Dalam kasus ini tidak disyaratkan qabul secara lafazh, sebab shighatnya tidak menuntut hal itu, selain juga tidak disyaratkan memberi kompensasi secara langsung di majelis akad.

Apabila suami berkata, “Seandainya kamu memberiku kompensasi ini maka kamu orang yang ditalak,” maka ini juga dinamakan taklik. Namun, disyaratkan adanya pemberian secara langsung di majelis akad. Ketentuan ini merupakan aturan kompensasi dalam pertukaran.

Apabila istri yang mulai mengajukan talak dengan menggunakan kalimat taklik di depan, lalu suami langsung menjawab permintaan tersebut maka ini merupakan pertukaran dari pihak istri yang bercampur akad ju’alah. Sebab, istri tidak memiliki pernikahan dengan kompensasi yang dia berikan. Maksud pertukaran bercampur ju’alah ialah si istri memberikan harta sebagai imbalan terhadap talak yang diutarakan suami. Syaratnya, jawaban suami disyaratkan harus dilakukan segera di majelis akad.

Apabila istri meminta suaminya untuk menalak tiga dengan kompensasi seribu, lalu suaminya menalak satu dengan kompensasi tiga ribu, maka jatuhlah talak satu. Ini untuk memprioritaskan unsur ju’alah.

Rujuk setelah Khulu’

Ketika seorang pria mengkhulu’ atau menalak istrinya dengan kompensasi yang shahih maupun fasid, dia tidak boleh merujuknya kembali. Sebab, untuk memiliki kemaluannya (kembali), si istri telah menyerahkan harta, sehingga suami tidak memiliki wewenang untuk rujuk. Dia membutuhkan akad pernikahan yang baru.

Jika suami mensyaratkan rujuk kepada istrinya dengan berkata, “Aku mengkhulu’mu atau menalakmu dengan kompensasi sekian dinar, asalkan aku boleh rujuk lagi padamu,” maka ini adalah talak raj’i, dan suami tidak boleh menerima kompensasi.

Apabila istri berkata, “Talaklah aku dengan kompensasi sekian,” lalu dia murtad. Kemudian, suaminya langsung memenuhi permintaan itu, maka jika perbuatan murtad tersebut terjadi, baik sebelum maupun sesudah hubungan seksual, dan si wanita tetap murtad sebelum masa ‘iddahnya habis maka dia tertalak ba’in dan tidak perlu memberikan kompensasi. Juga tidak ada talak karena ikatan pernikahan telah terputus (maksudnya, telah terjadi fasakh nikah) akibat murtad tadi.

Apabila wanita yang murtad itu masuk Islam kembali pada masa ‘iddah, jelas khulu’nya sah dan dia tertalak dengan kewajiban membayar kompensasi yang sudah ditentukan saat suami menjawabnya untuk menjelaskan keabsahan khulu’. ‘Iddahnya dihitung dari waktu talak. Apabila murtadnya terjadi kemudian hari, atau jawaban suami berbeda shighat­nya, maka khulu’ tersebut tidak sah.

Dalam khulu’, tidak mengapa memisahkan antara ijab dan qabul dengan kalimat yang pendek menurut takaran kebiasaan. Ini berbeda dengan jual beli. Kalimat yang panjang dapat membatalkan khulu’ karena mengisyaratkan adanya kemungkinan penyimpangan dari tujuan.

Keraguan dalam Talak dan Hukum Rujuk

Orang yang ragu apakah dia menalak atau tidak, berarti dia belum menalak karena hukum asalnya tidak ada talak. Namun, yang lebih wira’i ialah melakukan rujuk seandainya hal itu memungkinkan, misalnya, jika suami telah berhubungan intim. Talak yang diragukan menjatuhkan hukum talak raj’i. Jika tidak demikian, yang wira’i adalah melangsungkan akad nikah baru, jika suami memungkinkan dan menginginkan tetap berlangsungnya pernikahan. Jika tidak, dia boleh menjatuhkan talaknya agar si wanita menjadi halal dinikahi pria lain.

Apabila suami ragu, apakah dia telah melakukan talak satu atau lebih, jatuhlah talak yang paling sedikit, bukan yang lebih banyak.

Suami yang menalak tiga ketika sakit menjelang kematiannya, maka istri yang ditalak tersebut tidak mewarisi hartanya. Perempuan yang tertalak ba’in meski tanpa talak tiga, kedudukannya seperti perempuan yang tertalak tiga.

4. Lafazh yang Menjadikan Wajibnya Memberikan Kompensasi

Seorang suami kadang menggunakan sejumlah lafazh saat istrinya menyanggupi memberikan kompensasi talak. Lafazh tersebut adalah sebagai berikut.

Langsung menjatuhkan talak dan kesanggupan. Bila suami berkata kepada istrinya, “Kamu orang yang ditalak,” atau “Aku telah menalakmu,” dan “Kamu wajib atau aku berhak menerima kompensasi sekian,” dan ini tidak didahului oleh gugatan si istri atas kompensasi harta tersebut, maka jatuhlah talak raj’i, baik istrinya menerima maupun tidak. Tidak ada kompensasi yang wajib dikeluarkan istri kepada suami sebab dia telah menjatuhkan talak secara cuma-cuma, tanpa menyebutkan kompensasi ataupun syarat, melainkan menyebutkan pernyataan yang berhubungan dengan talak.

Apabila seorang suami berkata, “Maksud perkataanku tersebut adalah aku tidak bermaksud menalakmu dengan kompensasi demikian,” dan istri membenarkan itu, maka itu seperti pernyataan sebelumnya, “Aku menalakmu…,” menurut pendapat yang ashah.

Jika pernyataan suami tersebut didahului oleh gugatan talak istri dengan kompensasi tertentu, seperti ucapan istri, “Talaklah aku dengan kompensasi seribu,” lalu suami berkata, “Kamu orang yang ditalak. Wajib atasmu atau aku berhak mendapat seribu darimu,” maka si istri tertalak ba’in. Sebab, keduanya sepakat atas hal itu, dan si istri wajib mengeluarkan kompensasi seribu.

Akan tetapi, jika pernyataan suami itu didahului oleh gugatan talak istri dengan kompensasi harta yang tidak jelas, seperti ucapan, “Talaklah aku dengan kompensasi harta,” maka jika suami menentukan besar harta tersebut saat menjawab, misalnya, dia berkata, “Aku menalakmu dengan kompensasi seribu,” maka dia seperti yang memulai pernyataan itu lebih dulu.

Jika suami berkata, “Kamu orang yang ditalak, dengan syarat aku menerima harta sekian darimu,” maka menurut al-Madzhab ini seperti perkataan, “Aku menalakmu dengan kompensasi sekian.” Jika istri langsung menerimanya, dia tertalak ba’in serta wajib memberikan harta tersebut karena pernyataan si suami menunjukkan syarat. Jika istri menanggung harta tersebut maka dia tertalak dan wajib membayar tanggungan.

Redaksi Dhaman (Tanggungan)

Apabila suami berkata, “Jika kamu menanggung seribu untukku, kamu orang yang ditalak,” lalu istrinya langsung bersedia menanggung maka dia tertalak ba’in dan wajib memberikan seribu, sebab syarat pada akad yang menuntut kesanggupan dari segi ijab dan qabul telah terpenuhi.

Maksud “secara langsung” (fauran) dalam contoh di atas adalah suami istri masih berada dalam satu majelis (majelis ijab qabul), demikian menurut ar-Rafi’i.

Apabila suami berkata, “Kapan pun kamu menanggungku seribu, kamu orang yang ditalak,” maka tidak disyaratkan harus segera. Jadi, kapan pun si wanita menanggung, dia tertalak. Sebab kata “kapan” berfungsi melambatkan, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Jika istri menanggung kurang dari seribu, dia tidak tertalak. Namun, jika menanggung dua ribu, dia pun tertalak.

Jika suami berkata, “Talaklah dirimu jika kamu menanggungku seribu,” lalu istri langsung berkata, “Aku telah menalak dan menanggung,” atau berkata sebaliknya, “Aku telah menanggung dan menalak,” maka dalam dua kondisi ini dia tertalak ba’in dengan kompensasi seribu. Apabila istri hanya menggunakan salah satu kata, dia tidak tertalak ba’in, juga tidak wajib membayar kompensasi. Sebab, suami telah menyerahkan perceraian kepadanya dan menjadikannya sebagai syarat. Karenanya, harus ada pernyataan cerai dan syarat dari pihak istri.

•  Taklik Talak dengan Pelepasan Harta (Iqbadh)

Apabila suami berkata, “Jika kamu melepaskan harta kepadaku…,” -menurut pendapat yang ashah, redaksi ini seperti taklik yang tidak mengandung makna saling memberi- maka suami tidak berhak memiliki pemberian tersebut. Sebab, pelepasan harta tidak melahirkan hak kepemilikan. Jadi ia merupakan sifat murni yang berbeda dengan pemberian. Selain itu, pelepasan harta tidak disyaratkan adanya majelis seperti taklik talak lainnya. Konsekuensinya, taklik talak dengan pelepasan harta ini adalah jatuhnya talak raj’i. Untuk mewujudkan sifat pelepasan harta, syaratnya suami harus mengambil alih harta istri, meski dengan paksaan. Jadi tidak cukup dengan menyerahkan harta tersebut kepada suami, sebab ini tidak bisa dinamakan penerimaan.

•  Kompensasi yang Wajib dalam Talak

Apabila istri menggugat talak dengan kompensasi seribu lalu suami menalaknya dengan kompensasi seratus maka jatuhlah talak dengan kompensasi seratus, karena si suami bisa menjatuhkan talak tanpa kompensasi. Demikian pula jika suami hanya meminta setengahnya.

Apabila istri berkata, “Talaklah aku besok dengan kompensasi seribu.” Ternyata esok hari (atau sebelumnya) si suami telah menalak maka khulu’ tersebut rusak dan istrinya tertalak ba’in dengan kompensasi mahar mitsil. Sebab, khulu’ ini berisi syarat pengakhiran talak, padahal syarat ini fasid (tidak sah) maka gugurlah harta yang menjadi pembanding kompensasi yang tidak diketahui. Sisa harta yang tidak diketahui itu harus dikembalikan pada nilai mahar mitsil.

Apabila istri berkata, “Talaklah aku sebulan dengan kompensasi seribu,” lalu suami melakukannya, jatuhlah talak untuk selamanya. Sebab, talak tidak dibatasi oleh mahar mitsil, mengingat telah rusaknya pernyataan tersebut dengan pembatasan waktu.

Taklik Talak dengan Sifat

Andai seorang suami berkata, “Jika kamu masuk rumah, kamu orang yang ditalak dengan kompensasi seribu,” lalu si istri menerima dan masuk rumah maka menurut pendapat yang shahih, dia tertalak dengan nilai kompensasi tersebut.

5. Khulu’ Orang Lain (Bukan Suami)

Khulu’ yang dilakukan ajnabi (orang lain yang boleh melakukan transaksi, yakni dengan kata “khulu”‘ atau “talak”), secara mutlak hukumnya sah; bahkan meski si istri tidak menyukainya. Alasannya, talak merupakan hak suami, dan orang lain bisa menerima limpahan hak tersebut dari suami yang bersangkutan. Dia harus menyerahkan harta, dan kesanggupannya berarti tebusan, mengingat Allah SWT menyebut khulu’ sebagai tebusan. Karena itu, praktik semacam ini diperbolehkan, layaknya menebus tawanan perang. Orang lain yang menerima limpahan hak khulu’ ini harus mempunyai tujuan agamis, misalnya dia melihat suami istri tersebut tidak bisa menjalankan hukum Allah SWT atau sepakat melakukan perbuatan haram.

Permintaan khulu’ ajnabi (seperti permintaan khulu’ istri) dari segi lafazh (redaksi kesanggupan) dan hukum dalam seluruh ketentuan adalah sama dengan uraian di depan. Ditinjau dari sisi suami, permintaan khulu’ adalah awal pertukaran yang bercampur taklik, sedang dari sisi ajnabi, ia merupakan awal pertukaran yang bercampur ju’alah.

Orang lain boleh mewakili si istri dalam mengajukan khulu’, sementara si istri diberi pilihan antara mengajukan khulu’ sendiri atau melalui wakil (orang lain), baik dengan cara sharih maupun kinayah.

Khulu Wakil

wakil istri dalam pengajuan khulu’ boleh mengkhulu’ secara sharih atau kinayah. Meski khulu’ ini melalui orang lain, harta kompensasi wajib dikeluarkan oleh si istri, sama seperti jika dia tidak mewakilkan. Jika wakil menyatakan perwakilan atau meniatkan perwakilan dengan jelas maka suami berhak menerima harta kompensasi. Jika wakil hanya memutlakkannya, jatuhlah talak untuk si istri.

Apabila ada orang lain mengajukan khulu’, tetapi dia berbohong dengan mengaku memiliki hak perwalian atas si istri maka si istri tidak tertalak sebab orang tersebut bukan wakil ataupun wali si istri. Bahkan perwalian pun tidak menjadikan seorang wanita wajib memberikan harta kepada wali tersebut.

Dalam kasus ini, ayah istri (mertua suami) kedudukannya seperti orang lain. Dia boleh mengusulkan khulu’ kepada anak wanitanya dengan hartanya, baik anaknya masih kecil maupun sudah dewasa. Jika dia mengajukan khulu’ dengan harta milik anaknya dan berbohong mengenai adanya hubungan perwakilan atau perwalian maka si anak tidak tertalak. Jika dia menegaskan khulu’ atas inisiatif sendiri, dengan berkata, “Aku mengajukan khulu’ karena keinginanku (atau untuk diriku) sendiri,” berarti dia telah melakukan khulu’ dan mengghashab harta anaknya. Jatuhlah talak ba’in terhadap anaknya dengan kompensasi sebesar mahar mitsil. Demikian menurut pendapat yang azhar. Apabila dia tidak menyatakan dengan jelas, seperti berkata, “Talaklah dia dengan harta ghashaban ini atau dengan kompensasi khamr,” maka jatuhlah talak raj’i. Sebab dengan pernyataan itu, dia telah mencekal harta anak wanitanya, sebagaimana khulu’nya orang bodoh. Jika dia tidak menyebutkan bahwa kompensasi tersebut berasal dari si wanita, tidak pula harta ghashab maka jatuhlah talak dengan kompensasi mahar mitsil.

6. Waktu Khulu’

Khulu’ atau talak dengan kompensasi boleh dilakukan pada waktu istri suci ataupun haid. Rasulullah saw pernah memutlakkan izin khulu’ kepadaTsabit bin Qais tanpa mencermati kondisi istri, berdasarkan firman Allah SWT yang berlaku umum, “…maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya,” (QS. Al-Baqarah [2]:229). Selain itu, khulu’ berbeda dengan talak. Larangan menalak istri saat haid itu dikarenakan adanya dampak negatif yang bakal dialami istri akibat terlalu panjang masa ‘iddahnya, sementara khulu’ dilakukan karena adanya dampak negatif yang dialami istri akibat buruknya hubungan suami istri. Efek negatif terakhir ini lebih besar dibanding yang pertama. Sebab itu, kita boleh menghilangkan efek negatif paling besar dengan memilih efek negatif yang paling ringan. Demikian alasan pengecualian keharaman talak pada masa haid.

Khulu’ dari Selain Hakim

Khulu’ boleh dilakukan tanpa kehadiran hakim. Sebab pada dasarnya, khulu’ adalah mengakhiri akad dengan kesepakatan dua belah pihak. Khulu’ dilakukan untuk mencegah hal-hal negatif dalam kehidupan berumah tangga. Karena itu, ia tidak tergantung kepada hakim, seperti halnya pemutusan transaksi dalam jual beli.

7. Macam-Macam Khulu’

Khulu’ sah dilakukan secara munjiz (segera) dengan lafazh “ganti rugi”, mengingat ia memuat unsur penggantian. Tetapi, ia juga sah dilakukan secara mu’allaq (digantungkan) dengan syarat sebab ia mengandung unsur talak.

Khulu’ munjiz dengan lafazh ganti rugi, yaitu seorang suami menjatuhkan kalimat perpisahan (furqah) dengan kompensasi. Misalnya, sang suami berkata, “Aku telah menalakmu,” atau “Kamu orang yang tertalak dengan kompensasi seribu sebagai gantinya,” dan pihak istri berkata, “Aku terima.” Ini seperti pernyataan seorang penjual, “Aku jual barang ini dengan harga seribu,” dan pembeli menjawab, “Aku terima.” Atau istri berkata, “Talaklah aku dengan kompensasi seribu,” lalu suaminya menjawab, “Aku menalakmu.” Ini seperti ucapan pembeli, “Juallah barang ini dengan harga seribu,” lalu penjual menjawab, “Aku jual (barang ini) kepadamu.” Penjual tidak perlu mengulangi penyebutan jumlah kompensasi (seribu) sebab konteksnya sudah mengarah ke sana sebagaimana dalam jual beli. Pernyataan ini sah jika dilakukan dengan segera, seperti halnya dalam jual beli. Suami boleh mencabut pernyataan ijab sebelum ada qabul; dan istri juga boleh mencabut khulu’ sebelum jatuh talak.

Khulu’ mu’allaq atau ghairu munjiz yaitu seorang suami menaklik talak dengan jaminan harta atau pemberian harta sebagaimana telah dikemukakan di depan.

Dalam perspektif syara’, khulu’ ada yang shahih ada pula yang fasid. Khulu’ yang shahih adalah khulu’ yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan, terutama syarat kompensasi (barang ganti rugi), seperti bisa diserahterimakan, milik tetap, dibolehkan secara syara’, dan sebagainya. Sebab, khulu’ adalah akad pertukaran. Jadi, ia menyerupai jual beli. Khulu’ tidak boleh dilakukan dengan kompensasi barang haram, mengandung unsur tipuan -seperti besarnya tidak diketahui- bukan milik istri, dan bukan sesuatu yang bisa diserahterimakan.

Khulu’ fasid adalah khulu’ yang tidak mensyaratkan harus diketahuinya nilai kompensasi. Apabila seorang suami mengkhulu’ istrinya dengan kompensasi sesuatu yang tidak diketahui, seperti baju yang tidak ditentukan, atau dengan tumpangan kendaraan, atau mengkhulu’ istri dengan syarat yang fasid, seperti syarat tidak memberikan nafkah padahal si istri sedang hamil, atau syarat tidak menyediakan tempat tinggal; atau mengkhulu’ istri dengan kompensasi seribu sampai waktu yang tidak diketahui, dan lain sebagainya, maka dalam seluruh ilustrasi ini si istri tertalak ba’in dengan kompensasi sebesar mahar mitsil.

Demikian halnya jika suami mengkhulu’ istri dengan kompensasi sesuatu yang bukan harta, seperti khamr, barang hasil ghashaban, atau bangkai maka jatuhlah talak ba’in dengan kompensasi sebesar mahar mitsil, seperti telah dijelaskan di depan. Akan tetapi, jika seorang suami mengkhulu’ istrinya dengan kompensasi darah maka jatuhlah talak raj’i. Sebab, darah merupakan sesuatu yang sama sekali tidak diinginkan, sehingga seolah-olah suami tidak menginginkan apa pun. Sementara khamr dan sejenisnya kadang diinginkan.

8.           Khulu’ saat Menjelang Mati

Apabila seorang suami menjelang mati mengkhulu’ istrinya, lalu meninggal dunia dan telah membayar harta sebagai maskawin untuk menghalalkan kemaluan istrinya tersebut maka besarnya kompensasi tidak dihitung dari sepertiga harta warisan, baik suka maupun tidak. Sebab, tidak ada hak bagi ahli waris terhadap kemaluan si istri. Karena itu, apabila dia menalak tanpa kompensasi maka nilai kemaluan tidak dihitung dari sepertiga harta waris.

Sebaliknya, jika seorang istri menjelang kematiannya meminta khulu’ kepada suaminya, lalu meninggal dunia -jika kompensasi yang diajukan tidak melebihi besarnya mahar mitsil- maka ia dihitung dari jumlah seluruh harta warisan. Sebab, harta yang sudah diserahkan si wanita untuk kompensasi sudah bukan miliknya lagi. Ini sama halnya dia membeli barang dengan harga standar. Jika kompensasi tersebut melebihi besarnya mahar mitsil, kelebihan tersebut dihitung dari sepertiga harta waris sebab ia tidak bisa diganti. la dihitung dari sepertiga harta waris seperti hibah. Kesimpulannya seperti diungkapkan oleh an-Nawawi ra dalam al-Minhaj: “Sah hukumnya khulu’ istri yang sedang sakit menjelang meninggal dunia. Kompensasinya dihitung dari sepertiga harta waris, jika melebihi mahar mitsil.”

9.  Hukum dan Konsekuensi Khulu’

Setelah khulu’ dinyatakan sah maka jatuhlah talak ba’in. Ketika seorang suami menalak (atau mengkhulu’) istrinya dengan kompensasi tertentu maka istrinya memiliki dirinya sendiri. Suami tidak boleh rujuk, baik kompensasi tersebut shahih maupun fasid. Sebab, si istri telah menyerahkan hartanya untuk menebus kembali kemaluannya, sehingga suami tidak mempunyai hak untuk rujuk. Demikian pula, ketika suami menyerahkan hartanya sebagai maskawin untuk memiliki kemaluan istrinya maka si istri tidak mempunyai wewenang untuk rujuk.

Wanita yang dikhulu’ tidak bisa dijatuhi talak. Ketika seorang suami mengkhulu’ istrinya maka sisa jatah talak yang ada tidak bisa dijatuhkan kepadanya. Sebab, suami sudah tidak lagi memiliki istri, sehingga talak suami tidak bisa dijatuhkan lagi. Suami juga tidak bisa merujuk istri yang dikhulu’ dalam masa ‘iddah. Perpisahan dengan lafazh khulu’ merupakan talak sharih yang mengurangi jatah talak, bukan fasakh, sebagaimana telah dijelaskan di depan.

Talak dengan Syarat Memberikan Harta

Talak dengan syarat memberikan harta hukumnya sama dengan khulu’. Istri yang ditalak dengan kompensasi tertentu maka suami tidak boleh rujuk kepadanya. Sebab, si istri telah menyerahkan harta untuk memiliki dirinya sendiri sehingga suami tidak mempunyai wewenang untuk rujuk.

Jika suami menalak istrinya dengan kompensasi dinar dengan syarat dia boleh rujuk, gugurlah hak istri terhadap dinar tersebut dan si suami diputuskan boleh rujuk.

10. Sengketa dan Kompensasi Khulu’

Sengketa dalam masalah ini biasanya terjadi pada ranah ada tidaknya khulu’, jenis atau besarnya kompensasi yang diberikan, dan lain sebagainya.

Sengketa mengenai ada tidaknya khulu’, misalnya seperti kasus berikut ini. Istri menggugat khulu’, lalu suami mengingkarinya tanpa bukti. Sanggahan suami dibenarkan di bawah sumpah. Sebab, hukum asalnya adalah tetapnya perkawinan dan tidak adanya khulu’.

Apabila suami berkata kepada istrinya, “Aku menalakmu dengan kompensasi sekian,” lalu istrinya menjawab, “Justru kamu menalakku dengan gratis,” atau “Kamu tidak menalakku,” maka istrinya tertalak ba’in berdasarkan pernyataan suami. Istri juga tidak wajib memberikan kompensasi kepada suami jika dia bersumpah bahwa kompensasi tersebut benar-benar tidak ada. Jatuhnya hukum talak ba’in itu berdasarkan pengakuan suami, sedangkan putusan tidak adanya kompensasi akibat hukum asal yang menyatakan istri itu bebas tanggungan.

Jika suami mengklaim telah meminta kompensasi berdasarkan bukti, saksi satu laki-laki dan dua wanita, sumpah berikut satu orang saksi, atau istrinya kembali dan mengakui di bawah sumpah tentang kebenaran pernyataan suaminya maka istri wajib membayar kompensasi.

Sedangkan sengketa yang berkaitan dengan kompensasi penjelasannya adalah sebagai berikut. Apabila suami istri bersengketa perihal jenis kompensasi yang diberikan, apakah dirham atau dinar, atau tentang sifatnya, seperti sempurna atau cacat, atau tentang besarnya, atau tentang waktu pemberiannya (segera atau diakhirkan), dan masing-masing tidak memiliki bukti maka keduanya saling bersumpah, sebagaimana dalam kasus jual beli; dan istri wajib memberikan kompensasi sebesar mahar mitsil.

Jika salah satu dari mereka memiliki bukti maka keputusan didasarkan pada bukti tersebut. Jika keduanya sama-sama membawa bukti pada tanggal yang sama maka kedua bukti itu gugur. Jika tanggalnya berbeda, maka bukti yang lebih dahululah yang digunakan.

Apabila suami mengkhulu’ istri dengan kompensasi seribu, misalnya, dan keduanya meniatkan suatu jenis barang, maka yang diniatkanlah yang harus diserahkan, ditambah dengan kompensasi yang dilafazhkan. Aturan ini berbeda dengan jual beli sebab sesuatu yang bisa dipakai dalam khulu’ belum tentu bisa dipakai dalam jual beli.

Apabila niat keduanya berbeda dan mereka saling berbohong, lalu suami berkata, “Seribu yang disebutkan secara global itu adalah seribu dinar,” lalu istri menimpali, “Justru yang aku maksud adalah dirham perak,” maka keduanya saling bersumpah, dan istri tertalak ba’in. Akibatnya, kompensasi wajib dibatalkan untuk kemudian diganti sebesar mahar mitsil .

Apabila salah satu suami istri berkata, “Aku mengkhulu’mu dengan kompensasi seribu dirham,” dan yang lain berkata, “Justru kamu mengkhulu’ dengan kompensasi seribu pada umumnya,” maka keduanya saling bersumpah karena salah satunya menuntut dirham sedang yang lain menuntut mahar mitsil.

Apabila suami berkata, “Aku mengkhulu’mu dengan kompensasi seribu” dan istrinya menjawab, “Justru kamu mengkhulu’ selain aku,” maka istrinya tertalak ba’in sebab keduanya sepakat atas khulu’. Pendapat yang dibenarkan mengenai jumlah kompensasi adalah pernyataan si istri karena suami menggugat haknya, padahal hukum asalnya adalah tidak adanya hak atas suami.

Demikian penjelasan tentang Khulu’ yang Kami kutip dari Buku al-Fiqhu asy-Syafi’iy al-Muyassar, karya Prof. Dr. Wahbah Zuhaili

Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya

Dua Macam Berpikir, Karena Iman ...
الْفِكْرَةُ فِكْرَتَانِ فِكْرَةُ تَصْدِيْقٍ وَإِيْمَانٍ وَفِكْ...
Berpikir Adalah Pelita Hati
الْفِكْرَةُ سِرَاجُ الْقَلْبِ فَإِذَا ذَهَبَتْ فَلَا إِضَاءَةَ...
Pikirkan Makhluk-Nya
الْفِكْرَةُ سَيْرُ الْقَلْبِ فِى مَيَادِيْنِ الْأَغْيَارِ Berp...
Sangat terhina, waktu kosong tap...
الْخِذْلَانُ كُلَّ الْخِذْلَانِ اَنْ تَتَفَرَّغَ مِنَ الشَّوَا...
Orang Yang Diberkati Umurnya
مَنْ بُوْرِكَ لَهُ فِى عُمْرِهِ اَدْرَكَ فِى يَسِيْرٍ مِنَ الز...
Ada kalanya, Umur Panjang Tapi K...
رُبَّ عُمْرٍ اِتَّسَعَتْ امَادُهُ وَقَلَّتْ اَمْدَادُهُ وَرُبّ...

Anggota DINULQOYIM