HUKUM QARDH (HUTANG PIUTANG)

HUKUM QARDH (HUTANG PIUTANG)

1.    Definisi Qardh

Qardh menurut bahasa berarti “membagi”. la kadang digunakan dalam bentuk kata benda bermakna “sesuatu yang dipinjamkan” dan bentuk mashdar dengan makna “peminjaman”. Sedangkan qardh menurut syara’ ialah menyerahkan kepemilikan sesuatu dengan syarat penerima mengembalikan barang yang sepadan.

2.    Ketentuan Hukum Qardh

Qardh hukumnya sunah. Syariat amat menganjurkan perbuatan itu, berdasarkan firman Allah “Berbuatlah kebaikan agar kalian beruntung, “(QS. al-Hajj : 77).

Nabi     bersabda, “Siapa yang menghilangkan satu kesulitan duniawi saudaranya, Allah akan menghilangkan satu kesulitan Hari Kiamat dari dirinya. Allah selalu menolong hamba-Nya, selama hamba itu menolong saudaranya, ” (HR. Muslim).

Dalam Shahih Ibnu Hibban yang bersumber dari Ibnu Mas’ud disebutkan, “Siapa yang memberi pinjaman kepada seorang muslim 1 dirham sebanyak dua kali, dia berhak mendapat ganjaran sedekah satu kali.

3.    Rukun Qardh

Seperti halnya akad jual-beli, rukun qardh ada tiga, yaitu:

1)    Shighat Qardh

Shighat terdiri dari ijab dan qabul. Redaksi ijab misalnya seperti, “Aku memberimu Pinjaman,” “Aku mengutangimu,” “Ambilah barang ini dengan ganti barang sejenis,” atau “Aku berikan barang ini kepadamu dengan syarat kamu mengembalikan gantinya.” Menurut pendapat yang ashah disyaratkan ada pernyataan resmi tentang penerimaan pinjaman, seperti jenis transaksi lainnya.

Redaksi qabul disyaratkan sesuai dengan isi ijab, layaknya jual beli. Seandainya pemberi pinjaman berkata, “Aku mengutangimu 1000 dirham,” lalu peminjam menerima lima ratus dirham, atau sebaliknya, maka akad tersebut tidak sah. Utang piutang dihukumi sah bila menggunakan kata qardh (meminjami) atau salaf (mengutangi) karena syara’ menggunakan kedua kata tersebut. Kata yang mempunyai makna tersebut (mengutangkan) juga sah digunakan dalam shighat iJab qabul seperti telah disebutkan di atas. Contohnya, “Aku berikan kepadamu.”

Sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa jika peminjam berkata kepada pemberi pinjaman, “Berikanlah saya utang sekian,” lalu dia meminjaminya; atau Peminjam mengirim seorang utusan kepada pemberi Pinjaman lalu dia mengirim sejumlah harta kepadanya, maka akad qardh tersebut sah. Menurut al-Adzra’i, ijma’ ulama sepakat sistem tersebut boleh dilakukan.

2)    Para Pihak yang Terlibat Qardh

Pemberi pinjaman hanya disyaratkan satu hal, yakni cakap mendermakan harta, sebab akad utang piutang mengandung unsur kesunahan. Sedangkan Peminjam hanya disyaratkan cakap bermuamalah. Jadi hanya orang yang boleh bertransaksi saja yang akad utang piutangnya dihukumi sah, seperti halnya jual beli.

3)    Barang yang Dipinjamkan

selanjutnya adalah Barang yang dipinjamkan disyaratkan harus dapat diserahterimakan dan dapat dijadikan barang pesanan (muslam fih), yaitu berupa barang yang mempunyai nilai ekonomis (boleh dimanfaatkan menurut syara’) dan karakteristiknya diketahui karena ia layak sebagai pesanan. Dalilnya, Nabi saw pernah meminjam unta yang masih muda.

Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Rafi’ ra bahwa Rasulullah saw pernah meminjami seekor unta muda kepada seseorang. Sebagai gantinya beliau menyerahkan seekor unta hasil zakat. Beliau memerintah Abu Rafi’ untuk melunasi unta muda milik orang tersebut. Abu Rafi’ ra, berkata “Aku hanya mendapati unta pilihan yang telah berumur enam tahun.” Nabi berkata, “Berikanlah unta itu kepadanya karena orang terbaik adalah mereka yang memberikan pembayaran terbaik.”

Apabila dalam akad qardh mencantumkan syarat pembayaran yang melebihi pokok pinjaman (ziyadah), praktik tersebut mengandung riba. Hal itu sesuai dengan hadits, “Setiap Utang Piutang yang mendatangkan suatu keuntungan itu merupakan riba.”

Menurut pendapat shahih, barang yang tidak sah dalam akad pemesanan tidak boleh dipinjamkan. Jelasnya setiap barang yang tidak terukur atau jarang ditemukan karena untuk mengembalikan barang sejenis akan kesulitan.

Dengan demikian, qardh boleh dilakukan terhadap setiap harta yang dimiliki melalui transaksi jual beli dan dibatasi karakteristik tertentu. Alasannya qardh merupakan akad penyerahan hak milik yang kompensasinya diberikan kemudian (dalam tanggungan). Karena itu objek qardh tidak lain adalah sesuatu yang bisa dimiliki dan dibatasi dengan karakteristik tertentu seperti akad pemesanan, bukan barang yang tidak dibatasi dengan sifat tertentu seperti batu mulia dan lain sebagainya.

Qardh juga hanya boleh dilakukan di dalam harta yang telah diketahui kadarnya. Apabila seseorang mengutangkan makanan yang tidak diketahui takarannya, itu tidak boleh, karena qardh menuntut pengembalian barang yang sepadan. Jika kadar barang tidak diketahui tentu tidak mungkin melunasinya.

  • Kewajiban dalam Pelunasan Qardh

Dalam akad qardh peminjam wajib melunasi utangnya dengan barang sejenis, jika pinjamannya memiliki padanan (yaitu barang yang ditakar. ditimbang, diukur, atau dihitung perbiji seperti kelapa dan telur) karena itu lebih tepat. Sementara pelunasan utang berupa barang yang mempunyai nilai ekonomis tertentu (yaitu barang yang setiap unitnya memiliki harga berbeda seperti perabotan rumah dan berbagai barang niaga), adalah barang yang serupa bentuknya.

Apabila pemberi pinjaman bertemu dengan peminjam di luar tempat berlangsungnya akad qardh, sementara itu pemindahan barang (misalnya, gandum dan hasil tani lainnya) memerlukan jasa transportasi dan biaya, maka pemberi pinjaman berhak menuntut pengembalian sesuai standar harga yang berlaku di tempat qardh dilaksanakan. Karena wilayah tersebut merupakan tempat terjadinya pengalihan hak milik di saat adanya permintaan, sekaligus waktu pemilikan atas barang.

Apabila pemindahan barang tidak membutuhkan transportasi dan biaya, pemberi pinjamam berhak menuntut pengembalian barang yang sepadan dari segi jenis, bentuk, kadar, atau cirinya. Dan tentu saja peminjam harus memenuhinya seperti mata uang (emas dan perak).

4)    Khiyar dan Batas Jatuh Tempo dalam Qardh

Khiyar syarat dan khiyar majelis tidak berlaku dalam akad qardh karena khiyar ditujukan untuk membatalkan perjanjian. Sementara dalam perjanjian utang piutang, kedua belah pihak boleh membatalkan perjanjian

Akad qardh tidak boleh menyertakan syarat batasan jatuh tempo, sebab syarat ini menuntut penambahan kompensasi. Sementara kompensasi qardh tidak mengalami fluktuasi (bertambah atau berkurang).

Apabila syarat tersebut telah disertakan dalam perjanjian qardh, ia tidak berlaku.

5)    Syarat yang Diperbolehkan dan yang Dilarang dalam Qardh

Dalam qardh tidak boleh menyertakan syarat jatuh tempo, sebagaimana telah disinggung di atas. Peminjam tidak boleh mengajukan syarat yang berupa keuntungan bagi dirinya, seperti syarat pengembalian barang yang lebih berkualitas, atau pemberi pinjamam mengajukan syarat kepada peminjam seperti, “Kamu harus menjual kuda atau tanahmu kepadaku dengan harga sekian”, karena demikian ini merupakan praktik riba, sebab qardh diberlakukan atas dasar rasa belas kasihan kepada pihak peminjam.

Apabila peminjam melunasi utangnya dengan barang yang lebih baik atau lebih banyak dari yang semestinya dia bayar, tanpa dipersyaratkan, tindakan ini boleh, sejalan dengan hadits, “Orang terbaik di antara kalian adalah orang yang membayar utangnya dengan yang lebih baik.” Dengan demikian, penambahan sifat atau kadar barang, sedikit atau banyak hukumnya boleh, berdasarkan hadits tersebut dan hadits lainnya, bahkan penambahan itu sangat dianjurkan.

Menyertakan syarat gadai dan jaminan dalam qardh diperbolehkan untuk mengukuhkan akad. Nabi dahulu pernah menggadaikan baju besinya kepada seorang yahudi demi mendapatkan gandum untuk keluarganya. Hadits ini merupakan dalil diperbolehkannya gadai dan etika berinteraksi dengan ahli dzimmah (kalangan Ahli Kitab yang melakukan perjanjian untuk mematuhi aturan pemerintah Islam).

  • Masa Penerimaan Utang

Peminjam berhak menerima utang yang disepakati dengan cara menerima langsung dari pemberi pinjaman, meskipun dia tidak memanfaatkannya secara langsung, seperti barang yang dihibahkan. Bahkan lebih dari sekadar hibah karena dalam qardh terdapat kompensasi yang setara.

Dikutip dari Buku al-Fiqhu asy-Syafi’iy al-Muyassar, karya Prof. Dr. Wahbah Zuhaili

Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya

Dua Macam Berpikir, Karena Iman ...
الْفِكْرَةُ فِكْرَتَانِ فِكْرَةُ تَصْدِيْقٍ وَإِيْمَانٍ وَفِكْ...
Berpikir Adalah Pelita Hati
الْفِكْرَةُ سِرَاجُ الْقَلْبِ فَإِذَا ذَهَبَتْ فَلَا إِضَاءَةَ...
Pikirkan Makhluk-Nya
الْفِكْرَةُ سَيْرُ الْقَلْبِ فِى مَيَادِيْنِ الْأَغْيَارِ Berp...
Sangat terhina, waktu kosong tap...
الْخِذْلَانُ كُلَّ الْخِذْلَانِ اَنْ تَتَفَرَّغَ مِنَ الشَّوَا...
Orang Yang Diberkati Umurnya
مَنْ بُوْرِكَ لَهُ فِى عُمْرِهِ اَدْرَكَ فِى يَسِيْرٍ مِنَ الز...
Ada kalanya, Umur Panjang Tapi K...
رُبَّ عُمْرٍ اِتَّسَعَتْ امَادُهُ وَقَلَّتْ اَمْدَادُهُ وَرُبّ...

Anggota DINULQOYIM