HUKUMAN (HUDUD/SYAR’IYAH)

Kata dasar hudud adalah had menurut bahasa berarti mencegah. Disebut hudud karena hukuman itu dapat mencegah terjadinya perbuatan yang mengakibatkan jatuhnya hukuman.
Sedangkan menurut syara’, hudud adalah hukuman yang terukur atas berbagai perbuatan tertentu, atau hukuman yang telah dipastikan bentuk dan ukurannya di dalam syariat, baik hukuman itu karena melanggar hak Allah maupun merugikan hak manusia.
Hukuman itu diberlakukan untuk melindungi berbagai kepentingan publik yang memuat perlindungan keberagamaan, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda, kepentingan tertentu atau setiap individu.
Pada permulaan Islam bentuk hudud berupa denda. Kemudian berkembang dengan ketentuan hadd perzinaan, tuduhan melakukan perzinaan, mengonsumsi minuman memabukkan, pencurian, peperangan, pemberontakan, dan murtad. Menurut jumhur ulama non-Hanafiyah, hadd qishas juga termasuk kategori hudud .
Hudud terbagi tiga macam, yaitu hukuman mati, hukuman pancung, dan cambuk meskipun disertai dengan penyaliban atau pengasingan. Hukuman mati diberlakukan dalam empat macam tindak kriminal, yaitu murtad, zina muhshan, meninggalkan shalat karena malas, dan membegal. Hukuman pancung diberlakukan dalam dua tindak kriminal, yaitu pencurian dan membegal disertai perampasan harta benda. Hukuman cambuk diberlakukan dalam tiga tindak kriminal, yaitu mengonsumsi minuman memabukkan, menuduh berzina, dan zina selain muhshan.
A. Hadd Perzinaan
1. Definisi, Batasan-Batasan Zina, Hukum Berzina, dan Landasan Hukum Pensyariatan Hadd Tindak Pidana Perzinaan
Zina adalah aktivitas seksual yang melibatkan organ reproduksi yang diharamkan, membangkitkan nafsu syahwat serta menetapkan adanya hadd. Meskipun memasukkan pucuk atau kadar tertentu dari penis seorang lelaki, sekalipun impoten, non ereksi, berkondom ke dalam lubang vagina perempuan atau lubang anus laki-laki atau perempuan yang tidak halal. Dan tindakan zina itu tidak mengandung unsur bias yang dapat menggugurkan hadd, serta vagina itu dapat membangkitkan libido orang normal, sehingga hal itu dapat menetapkan adanya hadd.
Unsur bias yang dapat menggugurkan hadd ada tiga bagian, yaitu sebagai berikut. Pertama, bias yang timbul dari subjek pelaku, misalnya pelaku tidak mengetahui larangan berzina. Kedua, bias objek sasaran, misalnya seseorang diduga sebagai istrinya. Ketiga, bias prosedur, misalnya pernikahan tanpa wali.
Hadd zina wajib dijatuhkan ketika pelaku perzinaan telah baligh, berakal, suka sama suka, serta mengetahui larangan berzina, baik dia seorang muslim, kafir dzimmi, atau murtad. Sehingga hadd zina tidak dapat dijatuhkan kepada pelaku yang masih anak-anak, gila, orang yang dipaksa melakukan zina, dan orang yang tidak mengetahui larangan berzina, misalnya pelaku adalah seorang mualaf.
Ketika seseorang telah berzina lalu dia mengatakan, “Saya tidak mengetahui larangan berzina,” sementara dia belum lama memeluk Islam, atau dia hidup di sebuah wilayah yang jauh dari dakwah, maka dia tidak dapat dijatuhi hadd zina karena ada alasan yang dapat diterima. Jika alasannya tidak demikian, misalnya dia sudah lama masuk Islam, dia tinggal di wilayah yang terjangkau dakwah, tetapi dia mengklaim tidak mengetahui larangan berzina, maka dia harus dijatuhi hukuman. Menurut pendapat yang shahih, jika seseorang mengetahui larangan berzina tetapi dia tidak mengetahui adanya hukuman berzina, dia tetap dijatuhi hukuman.
Adapun pelaku yang masih anak-anak dan orang gila tidak dapat dijatuhi hukuman. Hal ini sesuai dengan hadits, “Qalam diangkat dari tiga orang; orang tidur hingga dia bangun, orang yang ditimpa musibah hingga bebas dari musibahnya, dan dari anak kecil hingga dia dewasa. “ Dalam riwayat lain disebutkan, “… orang gila (hilang akalnya) hingga sembuh.”
Namun demikian, wali harus menakzir pelaku yang masih anak-anak dengan tindakan yang dapat membuat dia jera, dan tidak menjatuhi hukuman hadd.
Menurut pendapat azhar, orang yang dipaksa melakukan zina baik laki-laki atau perempuan tidak dapat dijatuhi hukuman. Karena menurut pendapat yang shahih, unsur pemaksaan diasumsikan menimpa laki-laki. Ulama juga sepakat bahwa pemaksaan berzina dapat menimpa perempuan.
Seseorang tidak dapat dijatuhi hukuman akibat persetubuhan yang dilakukan melalui prosedur yang dibenarkan seorang ulama. Misalnya pernikahan tanpa saksi sebagaimana dikemukakan Imam Malik, atau pernikahan tanpa wali sebagaimana dikemukakan Abu Hanifah, atau nikah mut’ah. Yaitu, pernikahan tanpa wali dan saksi namun dibatasi waktu sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Abbas ra, menurut pendapat yang shahih. Meskipun pelaku meyakini adanya larangan persetubuhan semacam demikian, karena adanya perbedaan pendapat ulama yang membuat hukum menjadi bias.
Orang yang tidak mengetahui larangan berzina tidak dapat dijatuhi hukuman. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi saw kepada Ma’iz ra, “Tahukah kamu apa itu zina?” Andaikan ketidaktahuan larangan itu dijatuhi keputusan hadd, beliau pasti tidak akan pernah mempertanyakan masalah tersebut kepada Ma’iz ra. Di samping itu, vonis hadd mengikuti perbuatan dosa, sementara dalam kasus ini dia tidak berdosa.
Andaikan dia mengetahui larangan berzina tetapi tidak mengetahui adanya hukuman berzina, maka dia tetap dijatuhi hadd. Karena orang yang mengetahui larangan berzina semestinya mampu menahan dirinya dari perbuatan tersebut.
Menurut al-madzhab, berhubungan intim melalui lubang anus laki-laki  dan perempuan sama seperti melalui lubang vagina perempuan dalam kasus perzinaan. Sedangkan kontak badan melalui paha, melakukan senggama dengan istri pada saat haid, berpuasa atau sedang ihram tidak dapat dijatuhi hadd.
Seseorang dapat dijatuhi hadd akibat menyetubuhi budak perempuan yang disewa karena tidak adanya unsur kepemilikan dan akad nikah. Sedangkan akad sewa untuk tujuan demikian hukumnya batal, dan hal tersebut tidak memberikan bias yang dapat menggugurkan hukuman. Sama seperti kasus ketika seseorang membeli khamr lalu dia meminumya. Budak perempuan tersebut juga harus dijatuhi hukuman hadd.
Seseorang dijatuhi hukuman pula akibat menyetubuhi perempuan yang merelakan dirinya untuk disetubuhi. Karena fungsi vagina bukanlah untuk dipinjamkan. Demikian pula, perempuan yang merelakan vaginanya untuk disetubuhi dikenai hadd.
Seseorang dijatuhi hukuman pula karena menyetubuhi perempuan mahram karena faktor keturunan, sesusuan, dan besan, meskipun perempuan itu telah dinikahinya.” Karena objek zina tidak bias dan dapat dipastikan keharamannya. Oleh karena itu, persetubuhan semacam ini tetap terkena hadd.
2. Hikmah Hadd Zina
Hadd zina bertujuan melindungi nasab, menghindari pelanggaran nama baik seseorang, mencegah pelaku melakukan perusakan badan atau kejiwaan orang lain. Bahkan perzinaan terkadang mengakibatkan subjek atau objek pelaku (perempuan atau laki-laki ) divonis hukuman mati.
Hukum zina adalah haram, termasuk perbuatan dosa besar dan keji serta mengakibatkan adanya hadd. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, “Janganlah kalian mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk,” (QS. al-Isra’ [17]: 32), dan firman Allah SWT, “Orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain, tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina; barang siapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat hukuman yang berat,” (QS. al-Furqan [25]: 68). Ayat ini berhubungan dengan pelarangan berzina. Sedangkan tentang hadd yang harus dijatuhkan berdasarkan firman Allah SWT, “Pezina perempuan dan pezina laki-laki , deralah masing-masing dari keduanya seratus kali,” (QS. An-Nur [24]: 2).
Hadits Abdullah bin Mas’ud ra, dia berkata, “Saya bertanya kepada Nabi, “Dosa apakah yang paling hina di mata Allah?” Beliau menjawab, ‘Kamu menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dia telah menciptakanmu,’ saya berkata, ‘Sesungguhnya hal itu sesuatu yang sangat hina.’ Saya bertanya lagi, ‘Kemudian dosa apa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Kamu membunuh anakmu karena khawatir dia makan bersamamu.’ Saya bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Kamu berzina dengan istri tetanggamu.’”
Keterangan di atas berhubungan dengan hadd zina bagi perawan yaitu hukuman cambuk. Sementara hukuman rajam bagi orang muhshan telah disepakati para ulama. Bahkan hukumnya telah ditetapkan berdasarkan dalil hadits mutawatir yang diterima seutuhnya, di mana Rasulullah saw pernah menghukum rajam Ma’iz bin Malik al-Aslami dan seorang perempuan keturunan Ghamidiyah, Beliau pernah menghukum rajam seorang lelaki dari kabilah Aslam, seorang lelaki keturunan Yahudi, dan seorang perempuan.”
Ketentuan tersebut telah dikukuhkan berdasarkan nash al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan hadits Umar ra menurut sekumpulan ulama, bahwasanya dia pernah berkata, “Di antara sekian ayat yang diturunkan kepada Rasulullah adalah ayat yang berhubungan dengan rajam. Beliau membacakan ayat tersebut kepada kami dan kami telah menghafalnya. Rasulullah pernah menghukum rajam dan kami pernah menghukum rajam setelah beliau wafat.”
Ayat tersebut termasuk kategori ayat yang redaksinya dinasakh, sedangkan hukumnya tetap dibiarkan. Penghapusan bacaan tidak otomatis menghapus ketentuan hukum yang terkandung di dalamnya, seperti interpretasi yang dilakukan Abu Dawud terhadap hadits ibnu Abbas ra, imam Ahmad dan ath-Thabarani telah melakukan interpretasi dalam kitab al-Kabir terhadap hadits Abu Umamah bin Sahal dari bibinya al-Ajma’, ‘Sesungguhnya di dalam al-Qur ‘an yang diturunkan oleh Allah terdapat ayat, ‘Asy-syiaikhu wa asy-syaikhatu ‘idza zanaya farjumuhuma al-battata bima qadhaya min al-ladzdzati.”
Ibnu Hibban telah melakukan pentakhrijan terhadap hadits serupa dalam kumpulan hadits shahihnya dari hadits Ubay bin Ka’ab ra dengan ungkapan, “Surah al-Ahzab senada dengan surah al-Baqarah di mana di dalamnya terkandung ayat rajam; asy-syaikhu wa as-syaikhatu. Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Rajam adalah vonis yang harus diterima laki-laki dan perempuan yang berzina. Jika dua orang muhshan, jika ditemukan alat bukti, saksi, kehamilan, atau pengakuan. Demi Allah, andaikan sekumpulan orang tidak berkata, ‘Umar telah menambah ayat dalam kitab Allah, pasti saya akan mencatatnya.” Hal tersebut terjadi di hadapan para sahabat, dan tidak ada seorang pun yang menyangkalnya.
3. Ragam Hadd Zina
Hadd zina ada dua macam, hukuman cambuk disertai pengasingan, dan hukuman rajam (dilempari batu sampai mati).
Jika pelaku zina seorang perawan bukan muhshan, dan orang merdeka bukan budak, haddnya berupa hukuman cambuk sebanyak seratus kali, sesuai dengan firman Allah SWT , “Deralah masing-masing dari keduanya seratus kali,”(QS. an-Nur [24]: 2), dan diasingkan selama setahun. Ketentuan terakhir sesuai dengan sabda Nabi saw, “Perzinaan yang dilakukan oleh lelaki perjaka dengan wanita perawan hukumannya seratus kali deraan dan dibuang selama setahun.”
Hakim boleh mendahulukan salah satu dari kedua hukuman itu sesuai dengan kebijakan yang dikehendakinya, dengan syarat pengasingan tersebut mencapai jarak yang telah diperkenankan untuk mengqashar shalat, menurut pendapat yang shahih. Karena rencana pengasingan itu bertujuan menjauhkan pelaku perzinaan dari keluarga dan tanah kelahirannya. Tempat yang jauhnya kurang dari jarak yang telah diperkenankan untuk mengqashar shalat masih dianggap rumah tinggal.
Imam yang merangkap sebagai hakim boleh mengasingkan pelaku zina muhshan melebihi jauhnya jarak yang ditentukan syariat apabila hal itu lebih membawa kebaikan bagi pelaku zina. Karena Abu Bakar ra pernah mengasingkan hingga ke Fadak, Umar ra hingga ke Syam, Utsman ra hingga ke Mesir, dan Ali ra hingga ke kota Bashrah.
Seorang pezina perempuan tidak boleh diasingkan kecuali ditemani mahram atau suaminya. Jika mahram enggan menemaninya kecuali ada upah, maka menurut pendapat yang ashah, upah itu harus disediakan dan diambil dari harta benda milik perempuan tersebut.
Kesimpulannya, pezina non muhshan jika dia orang merdeka maka dia dapat dihukum cambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama satu tahun hingga mencapai jarak yang telah diperkenankan untuk mengqashar shalat.
Muhshan adalah orang yang pernah menyetubuhi vagina istrinya dalam ikatan pernikahan yang sah dan dia orang yang merdeka, telah baligh, dan berakal. Apabila dia menyetubuhi lubang anus istrinya, menyetubuhi lubang kemaluan budak perempuannya, atau bersetubuh dalam pernikahan yang batal, atau melakukan senggama dengan istrinya yang masih berstatus budak kemudian merdeka, atau masih kanak-kanak atau orang gila kemudian sembuh dan melakukan zina, maka dia tidak dapat disebut muhshan.
4. Ketentuan Hukum Gay
Gay adalah hubungan seks sesama jenis laki-laki melalui lubang anus. Pelakunya dapat dijerat dengan hadd zina apabila dia mukallaf, sukarela melakukannya, serta mengetahui larangan perbuatan tersebut, baik dia berstatus muslim, kafir dzimmi, atau murtad.
Gay hukumnya haram. Firman Allah SWT “(Ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah (keji), padahal kalian melihatnya (kekejian perbuatan maksiat itu)? Mengapa kalian mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) syahwat (kalian), bukan (mendatangi) perempuan? Sungguh, kalian adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatan kalian),” (QS. an-Naml [27]: 54-55).” (Ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya, “Kalian benar-benar melakukan perbuatan yang sangat keji (homoseksual) yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kalian,” (QS. Al ‘Ankabut [29]: 28). Allah SWT menyebut perbuatan homoseksual dengan sebutan perbuatan keji, dan Allah SWT berfirman, “Janganlah kalian mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi,” (QS. al-An’am [6]: 151) dan karena Allah SWT menurunkan adzab kepada kaum Nabi Luth dengan adzab yang belum pernah diturunkan kepada seorang pun akibat perbuatan mereka. Ini menunjukkan keharaman perbuatan tersebut.
Menurut pendapat yang masyhur, siapa saja yang melakukan homoseksual, sementara dia memenuhi kualifikasi orang yang harus dijatuhi hadd zina, maka dia harus dijatuhi hadd zina. Dengan demikian, ketentuan hukum homoseksual sama seperti ketentuan hukum perzinaan. Sesuai dengan firman Allah SWT, “ Terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kalian, maka berilah hukuman kepada keduanya,” (QS. an-Nisa’ [4]: 16).
Kemudian Nabi saw bersabda, “Jauhkanlah dariku, jauhkanlah dariku, Allah telah menciptakan jalan dalam diri para wanita …. “ Hadits tersebut menunjukkan bahwa hadd gay sama dengan hadd perzinaan yang keji. Beliau pernah bersabda, “Ketika seorang laki-laki berhubungan intim dengan laki-laki lain, mereka disebut orang-orang yang berzina.” Beliau juga bersabda, “Siapa saja yang terbukti kalian temukan sedang melakukan perbuatan seperti yang dilakukan kaum Luth, bunuhlah orang yang menjadi subjek dan objeknya.” Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Rajamlah orang yang berposisi di atas dan di bawah.”
Pengambilan keputusan hukum berdasarkan hadits tersebut merupakan pendapat kedua menurut para pengikut Madzhab Syafi’i. Sementara Imam Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, “Orang yang dilaknat ialah orang yang menyetubuhi lubang anus istrinya. Apabila pelaku homoseks bukan orang muhshan, dia harus dijatuhi hukuman cambuk dan dibuang selama satu tahun. Jika muhshan, dia harus dirajam. Hal ini sesuai dengan hadits Abu Musa al-Asy’ari ra, “Ketika seorang laki-laki berhubungan intim dengan laki-laki lain, mereka disebut orang-orang yang berzina, dan ketika seorang perempuan berhubungan intim dengan sesama perempuan maka mereka disebut orang-orang yang berzina.” Karena hadd tersebut merupakan hadd yang harus dijatuhkan akibat persetubuhan. Oleh karena itu, dalam masalah ini harus dibedakan pula antara orang yang berstatus perawan dengan janda seperti halnya hadd zina.
5. Berhubungan Seks Melalui Selain Farji dan Anus
Siapa saja yang telah diharamkan menyetubuhi farji karena dianggap melakukan perzinaan atau perbuatan homoseksual, dia diharamkan pula melakukan hubungan intim pada selain farji dengan disertai nafsu berahi. Sehingga siapa saja yang melakukan persetubuhan di selain farji, dia harus ditakzir dan tidak dijatuhi hadd zina. Dalam menakzir, hakim jangan sampai melebihi batas minimal hudud. Sesuai dengan sabda Nabi saw, “Seseorang tidak boleh dijatuhi hukuman cambuk melebihi sepuluh kali, kecuali dalam masalah hadd dari berbagai macam hadd Allah.” Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Siapa saja yang menjatuhkan hukuman di luar batas hukuman, dia temasuk sekumpulan orang-orang yang melampaui batas.”
Dalil larangan berhubungan intim di selain farji yaitu firman Allah SWT, ‘Orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidak tercela,” (QS. al-Mu’minun [23]: 5-6).
Rasulullah saw bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian berdua-duaan dengan seorang perempuan yang bukan mahram di tempat yang sunyi, karena pihak ketiga yang berada di antara mereka adalah setan.” Berkhalwat dengan seorang perempuan bukan mahram diharamkan. Berhubungan intim dengan perempuan bukan mahram sangat layak untuk diharamkan, karena lebih berpotensi mendorong terjadinya perbuatan haram.
Apabila seseorang berhubungan badan pada selain farji, dia tidak harus dijatuhi hukuman hadd zina. Sesuai dengan hadits riwayat lbnu Mas’ud ra, ada seorang lelaki datang menemui Nabi saw, lalu dia berkata, “Sesungguhnya saya telah membawa seorang perempuan ke dalam perkebunan, dan saya telah menyentuh semua bagian tubuhnya hanya saja saya tidak melakukan hubungan intim dengannya. Lakukanlah tindakan terhadap saya sesuai dengan yang tuan kehendaki.” Lalu beliau saw membacakan ayat, “Laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah),” (QS. Hud [11]: 114), lalu dia dijatuhi hukuman takzir karena tindakan itu merupakan perbuatan maksiat yang ketentuan haddnya tidak diatur dan tidak ada kewajiban membayar kafarat.
Begitu pula apabila seseorang melakukan hubungan intim dengan seorang anak-anak atau laki-laki lain di selain farji , dia harus ditakzir dan tidak boleh dijatuhi hukuman hadd zina.
6. Ketentuan Hukum Lesbian
Lesbian adalah hubungan seks sesama perempuan. Lesbian juga haram. Setiap pelaku lesbian harus ditakzir dengan hukuman lebih ringan daripada hadd zina. Selain karena diharamkan, dosa perbuatan itu sama seperti dosa melakukan perzinaan.
Sesuai dengan hadits Abu Musa al-Asy’ari ra yang telah dikemukakan, “Ketika seorang perempuan berhubungan intim dengan sesama perempuan maka mereka disebut orang-orang yang berzina.” Mereka hanya diwajibkan takzir, tidak dijatuhi hukuman hadd karena hubungan intim tersebut tanpa melakukan senggama sehingga hanya terkena hukuman takzir bukan hadd zina, seperti halnya hubungan intim seorang laki-laki  dengan seorang perempuan pada selain farji.
7. Hubungan Seks dengan Binatang dan Mayat
Bersenggama dengan binatang dan mayat hukumnya haram, sebagaimana diharamkannya menyetubuhi orang hidup pada selain farji, dan berhubungan intim dengan sesama perempuan. Firman Allah SWT, “Kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidak tercela,” (QS. al-Mu’minun [23]: 6).
Namun demikian, pelakunya tidak dapat dijatuhi hukuman hadd zina, bagi yang bersenggama dengan mayat, menurut pendapat yang ashah. Menurut pendapat azhar, bersenggama dengan binatang tidak dapat dijatuhi hukuman hadd zina karena hadd zina diberlakukan untuk menekan sesuatu yang dapat membangkitkan syahwat dan sesuatu yang cenderung disukai nafsu. Oleh karena itu, hukuman hadd juga diberlakukan dalam mengonsumsi khamr, tidak dalam mengonsumsi air kencing.
Secara logika, organ seks binatang tidak dapat membangkitkan syahwat, bahkan termasuk kategori organ yang dibenci oleh watak normal manusia. Biasanya, kelamin binatang bukanlah objek sasaran sehingga dalam kasus ini tidak diberlakukan hukuman hadd, bahkan hanya ditakzir.
An-Nasa’i meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas ra, “Hadd tidak dapat dijatuhkan kepada seorang penyetubuh binatang”
Menurut pendapat yang ashah, binatang yang disenggama tidak boleh disembelih, tidak peduli binatang jantan atau betina. Jika binatang tersebut halal dimakan dan telah disembelih, binatang tersebut halal dimakan.
8. Hukum Onani
Hukum onani adalah haram. Ketika seseorang mengeluarkan air mani dengan tangannya, dia harus ditakzir karena onani ialah persetubuhan yang diharamkan tanpa melakukan senggama dan mengakibatkan keterputusan keturunan. Dengan demikian, perbuatan tersebut diharamkan seperti halnya berhubungan intim dengan perempuan yang bukan mahram pada selain farji. Hal tersebut sesuai ayat yang telah dikemukakan, “Orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidak tercela, “ (QS. al-Mu’minun [23]: 5-6).
“Orang yang dilaknat ialah orang yang bersetubuh dengan tangannya.” Jika seseorang melakukan perbuatan tersebut, dia harus ditakzir dan tidak dijatuhi hukuman hadd karena onani ialah berhubungan intim tanpa melakukan senggama. Jadi, perbuatan ini serupa dengan berhubungan intim dengan perempuan yang bukan mahram di selain farji.
•    Kesimpulan

Pelaku senggama dengan binatang, atau mayat, atau pada selain farji, atau dengan istrinya pada masa haid, atau di lubang anus, onani, atau sesama jenis, dia tidak dapat dijatuhi hukuman hadd, namun cukup ditakzir.
9. Persyaratan Terhukum (Mahdud)
Syarat penetapan hadd zina, baik rajam ataupun hukuman cambuk adalah jika subjek atau objek seorang mukallaf (baligh serta berakal). Orang yang mabuk karena minuman keras, dia tetap dapat dijatuhi hadd meskipun dia bukan mukallaf dan mengetahui larangan berzina. Hadd zina tidak dapat dijatuhkan kepada orang yang tidak mengetahui larangan berzina karena dia baru memeluk Islam atau berada jauh dari kaum muslimin (dengan disertai sumpah). Apabila dia berada di antara kaum muslimin dan mengklaim tidak mengetahui larangan berzina, pengakuannya tidak dapat diterima.
Pelaku yang masih anak-anak dan orang gila tidak dapat dijatuhi hadd. Perbuatan zina dilakukan secara sukarela, sehingga orang yang dipaksa berbuat zina tidak dapat dijatuhi hadd.
Di antara persyaratan lain ialah mempunyai tanggung jawab hukum, Persyaratan ini berlaku bagi kalangan muslim dan kafir dzimmi. Sedangkan kafir harbi dan kafir yang mengadakan perjanjian damai tidak dapat dijatuhi hadd zina.
Orang yang bukan muhshan dapat dijatuhi hadd zina sebanyak seratus kali cambukan dan diasingkan selama satu tahun sejauh jarak yang telah diperkenankan mengqashar shalat. Penentuan tempat pengasingan diserahkan kepada imam.
Sedangkan orang muhshan dapat dijatuhi hadd zina (rajam), jika dia seorang mukallaf serta merdeka walaupun kafir dzimmi atau murtad, karena Nabi saw pernah menghukum rajam dua orang keturunan Yahudi sebagaimana disebutkan dalam kitab Shahihain. Abu Dawud menambahkan, “… dan mereka orang muhshan, “ meskipun hanya memasukkan ujung penisnya di lubang kemaluan dalam ikatan pernikahan yang sah, bukan pernikahan yang batal. Hal ini menurut pendapat azhar, karena bersenggama dalam pernikahan yang batal hukumnya haram, sehingga dengan batalnya pernikahan seseorang tidak dapat disebut memiliki sifat yang sempurna sebagai muhsan.
Ketika seseorang telah melakukan senggama dalam ikatan pernikahan yang sah, tetapi perempuan yang disenggama sedang menjalani ‘iddah, atau dia melakukan senggama dengannya di siang hari bulan Ramadhan, pada masa haid, atau sedang melakukan ihram, maka dia tidak boleh dihukum rajam, namun dia diwajibkan menahan diri dari perbuatan haram.
Pezina yang sempurna secara syara’, laki-laki  atau perempuan, ketika berzina dengan objek yang belum sempurna seperti anak kecil. Subjek dianggap orang muhshan, karena dia orang yang merdeka serta mukallaf yang pernah melakukan senggama dalam ikatan pernikahan yang sah.
Hukuman rajam tidak wajib dijatuhkan kepada pezina yang pernah melakukan senggama dalam ikatan pernikahan yang sah. Namun, pada saat melakukannya dia masih kanak-kanak, gila, atau berstatus budak.
Muhshan adalah orang yang pernah melakukan hubungan badan dalam ikatan pernikahan yang sah, dan saat melakukannya dia orang yang merdeka, baligh serta berakal. Apabila seseorang menyetubuhi lubang anus istrinya, atau menyetubuhi lubang vagina budak perempuan miliknya, maka dia bukan orang muhshan. Begitu pula bila dia pernah melakukan senggama dalam ikatan pernikahan yang batal, misalnya pernikahan tanpa wali atau tanpa saksi; atau pernah menyetubuhi istrinya, namun pada saat melakukannya dia masih berstatus budak kemudian dia merdeka, atau dia masih kanak-kanak kemudian baligh, atau dia gila kemudian sembuh dan melakukan zina, maka dia tidak dapat disebut orang muhshan. Jadi, orang yang pernah melakukan senggama namun dia masih ada suatu kekurangan yang telah disebutkan, tidak dapat dihukum rajam.
Ihshan menurut bahasa adalah mencegah, sedangkan menurut syara’ ihshan merupakan manifestasi dari Islam, baligh, berakal, merdeka, terjaga dari perbuatan tercela, dan menikah. Ihshan juga menunjukkan bolehnya persenggamaan yang dilakukan orang mukallaf serta merdeka dalam ikatan pernikahan yang sah. Pernyataan yang terakhir inilah arti ihshan yang dikehendaki dalam pembahasan ini.
10. Penetapan Hadd Zina
Hadd zina dapat ditetapkan berdasarkan salah satu dari dua prosedur pembuktian, yaitu alat bukti saksi dan pengakuan terdakwa.
Alat bukti saksi maksudnya ialah kesaksian empat orang saksi laki-laki  yang adil. Hal itu sesuai firman Allah SWT, “Para perempuan yang melakukan perbuatan keji di antara perempuan-perempuan kalian, hendaklah terhadap mereka ada empat orang saksi di antara kalian (yang menyaksikannya),” (QS. an-Nisa’ [4]: 15). Dengan syarat para saksi dapat menyebutkan secara spesifik orang yang berzina. Karena ada kemungkinan hadd zina akibat perbuatannya melakukan senggama dengan seorang perempuan tidak akan dijatuhkan berdasarkan pertimbangan para saksi.
Para saksi harus menyebutkan detail tindakan perzinaan karena ada kemungkinan pelaku hanya berencana melakukan hubungan intim pada selain farji . Mereka harus menyebutkan posisi kepala penis atau kadarnya pada waktu berzina sehingga mereka harus mengatakan, “Kami melihat dia memasukkan penisnya atau sekadar ujung penisnya ke dalam farji si fulanah dengan motif perzinaan.” Namun, para saksi cukup mengatakan, “Si fulan berzina dengan si fulanah dengan perzinaan yang mengakibatkan ditetapkannya hadd zina,” jika mereka mengetahui ketentuan hukum perzinaan.
Pemberian kesaksian harus diawali dengan kalimat asyhadu ‘ala annahu zana biha (aku bersaksi bahwa dia telah berzina dengan perempuan itu), dan menyebutkan tempat perzinaan dilakukan. Karena kesaksian bisa batal apabila para saksi berbeda dalam penyebutan tempat kejadian. Tempat yang dimaksud ialah menerangkan sebuah tempat atau kamar. Apabila dua orang saksi memberikan kesaksian bahwa si fulan berzina dengan si fulanah di sudut ini dari sebuah kamar itu, sementara dua saksi yang lain memberikan kesaksian bahwa dia berzina dengan si fulanah di sudut kamar yang lain, maka kesaksian tersebut tidak dapat diterima. Kesaksian itu tidak dapat dijadikan dasar pertimbangan pengambilan keputusan hukum hadd karena tidak ada kata mufakat dalam satu tindak perzinaan tersebut.
Kesaksian tersebut serupa dengan kasus apabila sebagian para saksi menerangkan dia berzina kemarin pagi, sebagian yang lain mengatakan kemarin sore.
Apabila empat orang laki-laki memberikan kesaksian terkait kasus perzinaan seorang perempuan, sementara empat orang perempuan, dua orang laki-laki, atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan memberikan kesaksian bahwa dia masih perawan, maka dia tidak dapat dijatuhi hadd zina dengan tetap utuhnya keperawanan. Perzinaan yang disangkakan kepadanya menjadi samar. Oleh karena itu, hadd zina harus ditolak akibat sangkaan yang masih samar karena fakta yang terungkap dari kondisi diri perempuan yang dituduh berzina telah membuktikan bahwa dia belum pernah disenggama.
Orang yang menuduhnya berzina itu tidak dapat dijatuhi hadd qadzaf karena dia memiliki alat bukti saksi terkait perzinaan yang dilakukannya, dan karena ada kemungkinan keperawanan perempuan itu kembali dengan sangat cepat karena persetubuhan tidak terlalu kasar.
Al-Bulqini mengatakan ketentuan tersebut berlaku jika tidak meninggalkan bekas penetrasi akibat memasukkan ujung penis dengan keperawanan tetap terjaga. Jika meninggalkan bekas penetrasi akibat memasukkan ujung penis, dia harus dijatuhi hadd zina, karena tindak perzinaan telah cukup bukti dan tidak ada hal yang bertentangan.
Adapun yang dimaksud ikrar ialah pengakuan terdakwa tentang perbuatan yang sebenarnya dia lakukan walaupun hanya sekali.” Karena Nabi saw pernah menghukum rajam Ma’iz dan al-Ghamidiyah berdasarkan pengakuan mereka berdua.” Ikrar harus berupa pernyataan yang rinci seperti halnya dalam kesaksian. Sehingga hakim tidak dibenarkan mengambil keputusan hukum hadd zina berdasarkan interpretasinya.
Sementara pengakuan yang tak sebenarnya ialah sumpah yang ditolak setelah seorang penuduh menarik sumpahnya. Pengakuan semacam ini tidak dapat dijadikan dasar menetapkan perzinaan. Namun, hadd qadzaf dihapuskan dari si penuduh berzina.
isyarat orang bisu berkenaan dengan pengakuan perbuatan zina dianggap mencukupi dalam pengambilan keputusan hadd zina.
Apabila seorang laki-laki dan perempuan terlihat tidur bersama dalam satu selimut, mereka harus ditakzir, tidak boleh dijatuhi hadd zina.
Eksekusi hadd zina boleh dilakukan di kawasan orang kafir harbi, jika imam tidak takut timbulnya fitnah seperti murtadnya seorang terhukum dan memilih bergabung dengan musuh di kawasan yang dikuasai musuh.
Bagi orang yang melakukan zina dan siapa saja yang berbuat kemaksiatan disunahkan agar menutupi perbuatan tercela yang menimpa dirinya. Hal ini sesuai dengan hadits, “Siapa yang melakukan perbuatan kotor, hendaknya dia menutupinya dengan memohon perlindungan Allah, karena orang yang memperlihatkan catatan perbuatannya kepada kami, pasti kami akan menjatuhkan hadd kepadanya.”
Dengan demikian, memperlihatkan perbuatan zina supaya dijatuhi hadd zina atau ditakzir menyimpang dari anjuran sunah. Sedangkan menceritakan kemaksiatan karena bangga, hukumnya haram, sesuai dengan keterangan berbagai hadits shahih yang berhubungan dengan masalah ini.
Begitu pula, seseorang disunahkan agar menutupi kemaksiatan itu dengan tidak melakukan kesaksian, jika dia melihat tindakan tersebut dapat memberikan kemaslahatan. Tetapi, jika kesaksian itu berhubungan dengan penetapan sanksi hadd yang dijatuhkan kepada orang lain-misalnya tiga orang telah memberikan kesaksian terkait perzinaan, orang keempat berdosa karena keengganannya memberikan kesaksian, dan dia harus menyampaikan kesaksian tersebut.
Adapun kesaksian yang berhubungan dengan hak seseorang seperti pembunuhan atau tuduhan melakukan zina, disunahkan bahkan diwajibkan bagi seorang saksi agar memberikan pengakuan terkait hak tersebut, supaya orang tersebut mendapatkan haknya. Karena dalam kasus pelanggaran hak seseorang tidak ada kelonggaran untuk melepaskan diri dari hukuman.
Memberi keringanan dan pengampunan dari tuntutan hadd Allah SWT adalah haram. Sesuai sabda Rasulullah saw kepada Usamah ra, saat dia berdiskusi dengan beliau tentang kasus pencurian oleh al-Makhzumiyah, “Apakah kamu hendak membantu meringankan tuntutan hadd dari hudud Allah?”
Hadd zina dihapuskan apabila seseorang mengakui perbuatan zina kemudian dia menarik kembali pengakuannya. Karena Nabi saw pernah memberi kesempatan kepada Ma’iz ra untuk menarik pengakuannya dengan mengatakan, “Mungkin kamu hanya mencium, meraba atau memandangnya.” Apabila hadd zina tidak gugur akibat penarikan pengakuan Ma’iz, maka penarikan pengakuan menjadi tak berguna. Pada saat Ma’iz ra melarikan diri, Nabi ra bersabda, “Kenapa kalian tidak membiarkannya, mungkin dia hendak bertaubat, lalu Allah menerima taubatnya.” Hadits ini adalah dalil yang sangat jelas perihal dapat diterimanya menarik kembali pengakuan berzina.
Menurut pendapat yang ashah, hadd zina tidak dapat digugurkan apabila pengaku zina mengatakan, “Jangan jatuhkan hadd zina kepada saya,” atau dia melarikan diri. Karena dia telah menerangkan perbuatannya dengan memberi pengakuan dan tidak menjelaskan tentang penarikan pengakuan. Namun, dia menolak untuk dihukum seketika itu juga dan tidak boleh mengejarnya. Jika dia menarik kembali pengakuannya, dia terbebas dari tuntutan hadd zina. Jika tidak demikian, maka dia harus dijatuhi hadd zina. Jika dia tidak menolak untuk dieksekusi, lalu dia meninggal, maka tidak ada kewajiban membayar kompensasi atas kematiannya. Karena Nabi tidak pernah mewajibkan apa pun kepada para sahabat dalam kasus Ma’iz.
11. Pejabat Pelaksana dan Prosedur Eksekusi Hadd Zina
Pelaksanaan hadd terhadap pelaku perzinaan menjadi kewenangan khusus imam atau yang mewakilinya. Sesuai dengan Sunah dan demi menjaga ketertiban. Imam berhak memaksa, menghindari terjadinya kekacauan, dan melampaui batas hukuman yang telah diberlakukan. Oleh karena itu, siapa pun selain imam atau yang mewakilinya, tidak memiliki kewenangan melaksanakan hadd zina, kecuali atas rekomendasi imam.
Jika hadd zina diputuskan berdasarkan pertimbangan para saksi, maka pelaksanaan eksekusi hadd zina disunahkan dihadiri imam dan para saksi. Berbeda dengan pendapat yang disampaikan Abu Hanifah, beliau mengatakan bahwa eksekusi hadd zina wajib dihadiri imam dan para saksi.
Dalil sunahnya menghadiri eksekusi hadd zina ialah Nabi saw pernah menjatuhkan hukuman rajam kepada Ma’iz dan al-Ghamidiyah. Namun, beliau tidak menghadiri pelaksanaan eksekusinya. Dan beliau bersabda kepada Unais, “Jika dia mengakui perbuatannya, rajamlah dia.” Beliau tidak mengatakan, “Kabari aku sampai aku tiba di hadapannya,” dan beliau tidak berkata kepada Unais, “Sampai aku tiba bersama kamu.” Hal ini juga karena diqiyaskan dengan hukuman cambuk.
Kesunahan eksekusi hadd zina dihadiri oleh sejumlah laki-laki dari kalangan kaum muslimin yang merdeka sesuai dengan firman Allah SWT, “Hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman,” (QS. an-Nur [24]: 2). Imam Syafi’i mengatakan bahwa eksekusi hadd zina minimal dihadiri oleh empat orang, yakni sama dengan jumlah saksi kasus perzinaan. Karena hadd zina ditetapkan berdasarkan kesaksian mereka.
Jika hadd zina ditetapkan berdasarkan pengakuan terhukum, maka eksekusi rajam disunahkan diawali oleh imam kemudian disusul sekumpulan orang. Jika hadd zina ditetapkan berdasarkan keterangan para saksi, maka rajam diawali oleh para saksi kemudian disusul imam, dan dilanjutkan oleh sekumpulan orang.
Apabila hadd zina berupa hukuman cambuk, sementara terdakwa dalam kondisi sehat dan kuat serta kondisi cuaca juga normal, imam segera melaksanakan eksekusi hadd cambuk tersebut. Imam tidak dibenarkan menundanya karena pelaksanaan perkara fardhu tidak boleh ditunda tanpa ada alasan tertentu.
Terpidana hadd zina tidak boleh ditelanjangi dan dibentangkan. Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra, “Dalam (hukum) umat Islam tidak diberlakukan membentangkan anggota badan, menelanjangi, mengikat leher dengan tali (al-ghall) dan membelenggu,” (HR. aI-Baihaqi).
Pemukulan terhadap anggota badan dilakukan secara terpisah. Pemukulan harus menghindari daerah wajah dan organ vital yang dapat mengakibatkan kematian. Hal ini sesuai pernyataan Ali ra terhadap para eksekutor dalam keterangan hasil interpretasi al-Baihaqi, “Pukullah dia dan berikanlah masing-masing anggota badan sesuai hak yang harus diterimanya, jauhilah pemukulan pada wajah dan anggota badan yang dapat menghilangkan daya ingat.”
Al-Baihaqi juga telah meriwayatkan hadits dari Umar ra bahwasanya seorang wanita muda yang telah melakukan tindakan menyimpang dihadirkan ke hadapannya, lalu dia berkata, “Bawa dan pukullah dia, janganlah melukai kulitnya.” Karena rencana awal ditegakkannya hadd tersebut bertujuan menanamkan efek jera, bukan membunuhnya.
Jika kondisi cuaca sangat panas, sangat dingin, atau dia sedang menderita sakit yang masih ada harapan untuk dapat disembuhkan, atau dia orang yang tangan atau kakinya telah dipenggal, maka dia harus menjalani hukuman hadd yang lain. Terhukum tidak boleh dieksekusi sampai kondisi cuaca kembali normal, dia sembuh dari sakitnya, atau luka bekas penggalannya sudah sembuh, sehingga dia dapat menahan rasa sakit akibat hukuman cambuk karena ditakutkan mengakibatkan terjadinya kematian.
Apabila terhukum orang yang berfisik kurus serta tidak dapat menahan sabetan cambuk, atau dia sedang menderita sakit yang tidak ada harapan untuk dapat disembuhkan, maka imam mengikat seratus tangkai kurma, lalu memukulkannya dengan sekali pukulan. Sesuai anjuran Rasulullah ra tentang kebijakan tersebut.”
Ukuran pemukulan kira-kira tangkai kurma itu dapat dirasakan oleh terhukum atau menumpuk sebagian tangkai kurma di atas sebagian lainnya supaya terhukum dapat merasakan sebagian rasa sakit.
12. Jaminan Seorang Terpidana
Jika hadd zina dilaksanakan dalam situasi yang kondusif, lalu terhukum meninggal dunia akibat eksekusi tersebut, hakim tidak berkewajiban membayar jaminan atas kematiannya. Karena kebijakan hakim yang berujung pada kematian itu muncul akibat pelaksanaan perkara yang memang wajib dijatuhkan kepadanya.
Jika hadd zina dilaksanakan dalam situasi yang tidak kondusif, jika terhukum seorang wanita hamil, lalu janin yang dikandungnya tewas akibat hadd zina yang dijatuhkan kepadanya, maka hakim wajib membayar sejumlah kompensasi karena keselamatan janin di jamin. Tanggungan atas janin tidak gugur akibat tindak kriminal yang dilakukan oleh selain janin, dan diyat janin wajib dibayar oleh ahli waris ashabah.
Apabila hadd zina berupa rajam, maka prosedur rajam harus menggunakan tanah yang telah membatu. Batu yang digunakan berukuran sedang (sebesar genggaman tangan). Tidak menggunakan krikil yang ringan supaya terhukum tidak tersiksa terlalu lama, dan tidak menggunakan batu besar yang dapat mempercepat kematian terhukum, sehingga pemberian contoh untuk membuat orang jera yang menjadi rencana awal dapat terpenuhi.
Apabila terhukum rajam dalam kondisi sehat, kondisi cuaca juga normal maka dia harus segera dirajam. Sebab, hadd zina tidak boleh ditunda tanpa alasan tertentu.
Apabila terhukum rajam sedang sakit yang ada harapan dapat disembuhkan, atau kondisi cuaca sangat panas atau dingin, maka eksekusi rajam tidak boleh ditunda karena dia telah divonis mati.
Lubang tidak perlu disediakan untuk menutupi laki-laki terhukum rajam. Nabi saw tidak pernah memerintahkan menggali lubang untuk Ma’iz. Sebab, tubuh seorang laki-laki  tidak bersinggungan dengan aurat.
Menurut pendapat yang ashah, jika terhukum rajam seorang wanita, disunahkan agar menggali lubang untuk dia hingga menutupi dadanya jika perbuatan zinanya ditetapkan berdasarkan keterangan para saksi agar auratnya tidak tersingkap. Hal ini sesuai hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah, “Ada seorang perempuan dari Ghamid datang menemui Rasulullah, lalu dia mengaku telah melakukan perbuatan zina, tiba-tiba beliau memerintahkan untuk membuat lubang. Lalu, digalilah lubang tersebut untuknya hingga menutupi dadanya kemudian beliau memberi perintah agar merajamnya,” karena dengan disediakannya lubang tubuh dia lebih tertutupi.
Terpidana rajam harus dikejar dan segera dirajam apabila dia melarikan diri dari hukuman yang telah ditetapkan berdasarkan keterangan para saksi. Sebab, tidak ada ruang untuk melepaskan diri dari jerat hadd zina.
Jika hadd zina ditetapkan berdasarkan pengakuan terpidana, dia tidak boleh dikejar. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri ra, “Ma’iz datang menemui Rasulullah lalu dia mengatakan bahwa sesungguhnya orang yang berada jauh telah melakukan zina, dan dia menyebutkan kasusnya sampai akhirnya beliau bersabda, “Bawalah pergi orang ini dan rajamlah dia.’ Lalu, kami membawanya ke sebuah tempat yang sedikit berbatu. Saat kami melemparinya, dia merasakan sakit yang luar biasa sambil berlari menjauh dari hadapan kami, lalu kami mengejarnya. Dia tiba bersamaan dengan kami di sebuah tempat lapang yang berbatu banyak. Lalu, dia berdiri sambil mengangkat badannya. Lalu, kami melemparinya dengan batu hingga dia terbunuh. Kemudian kami sepakat untuk menemui Rasulullah saw lalu kami menceritakan peristiwa yang terjadi kepada beliau, lalu Rasulullah saw bersabda, “Subhanallah, kenapa kalian tidak melepaskannya pada saat dia berlari dari hadapan kalian semua.”
Apabila terpidana rajam tidak melarikan diri dan hadd zina ditetapkan berdasarkan pengakuannya, dia segera dirajam. Jika dia mencabut pengakuannya, dia tidak boleh dirajam karena pencabutan pengakuan dapat diterima.
13. Status Terpidana Mati Hukuman Rajam
Status hukum orang yang dibunuh karena menerima sanksi hukum berupa hadd zina atau hukuman lainnya, sama seperti kaum muslimin yang meninggal, mulai dari harus memandikan, mengafani, menshalati, dan lain sebagainya. Seperti halnya orang yang meninggalkan shalat ketika dia dihukum mati, dan karena Rasulullah saw menshalati mayat Juhaniyah, dan beliau memberi perintah agar menshalati al-Ghamidiyah dan menguburkannya.”
B. Had Tuduhan Berzina (Qadzaf)
1. Definisi, Larangan, dan Landasan Hukum Hadd Qadzaf
Secara bahasa, qadzaf adalah melayangkan tuduhan (ar-ramyu). Sedangkan definisi qadzaf adalah melayangkan tuduhan berzina dengan memperlihatkan kejelekan perbuatan orang lain. Maksudnya, memberikan kesaksian terkait dengan perzinaan. Para saksi tidak dapat dijatuhi hadd qadzaf, kecuali para saksi perzinaan yang kurang dari empat orang.
Hukum qadzaf haram dan termasuk dosa besar yang dapat membinasakan seseorang. Dalam sebuah hadits disampaikan, “Jauhilah tujuh perkara yang dapat membinasakan diri seseorang-disebutkan di antaranya-menuduh berzina terhadap orang-orang muhshan,” baik tuduhan berzina itu dialamatkan kepada orang muhshan laki-laki atau perempuan.
Menurut bahasa hadd adalah hukuman yang telah ditentukan yang wajib dijatuhkan karena melanggar hak Allah SWT, seperti dalam kasus perzinaan, atau merugikan hak seseorang seperti dalam kasus tuduhan berzina.
Hukuman tersebut disebut hudud karena Allah SWT telah membatasi dan menentukan hukuman tersebut, sehingga seseorang tidak diperbolehkan memberikan vonis melebihi hudud yang telah ditentukan, Allah SWT berfirman, “ltulah hukum-hukum Allah, dan barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh, dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri,” (QS. ath-Thalaq [65]: 1).
Sandaran atau landasan hukum diberlakukannya hadd qadzaf ialah al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ ulama.
Landasan hukum al Qur’an, “Orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali,” (QS. an-Nur [24]: 4).
Sedangkan dalil as-Sunnah ialah hadits shahih bahwa saat diturunkan ayat yang menyatakan kebersihan Aisyah ra dari zina. Rasulullah ra menghukum cambuk orang-orang yang menuduhnya berzina.
Landasan ijma’nya adalah bahwa para ulama sepanjang masa sepenuhnya bulat menyatakan bahwa hadd qadzaf hukumnya wajib.
Manfaat diwajibkannya hadd qadzaf berbeda dengan pencemaran nama baik dengan kata-kata kafir. Orang yang dituduh kafir dapat menafikan tuduhan itu dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Berbeda dengan orang yang dituduh berzina, dia tidak dapat menafikan perbuatan zina itu dari dirinya.
2. Syarat Ditetapkannya Hadd Qadzaf
a. Syarat Pihak Penuduh
Qadzif atau penuduh harus orang yang sudah baligh serta berakal, kecuali orang yang mabuk minuman keras. Dia bukan orang tua tertuduh. Hadd qadzaf tidak dapat dijatuhkan kepada pihak penuduh yang berstatus anak-anak dan orang gila. Orang-orang semacam ini tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Selain itu, tuduhan mereka tidak dapat menyakiti seseorang.
Demikian pula hadd qadzaf tidak dapat dijatuhkan kepada pihak penuduh yang berstatus sebagai orang tua (baik laki-laki atau perempuan) karena menuduh anak, cucu, dan seterusnya sebagaimana dia tidak divonis mati karena membunuh anaknya. Maksudnya, hadd qadzaf merupakan hukuman yang wajib dijatuhkan untuk memenuhi hak asasi manusia. Hukuman itu tidak wajib diberlakukan untuk memenuhi hak anak atas orang tuanya seperti dalam masalah qishas.

Apabila seseorang menuduh istrinya berzina, lalu dia meninggal dunia, sementara dia memiliki anak hasil perkawinan dengan perempuan tersebut, hadd qadzaf menjadi gugur.
Qadzif anak-anak yang sudah mumayiz atau orang gila yang memiliki sifat tamyiz yang berbeda-beda harus ditakzir agar dia jera dan dapat mengambil pelajaran atas perbuatannya. Jika dia belum ditakzir hingga dia telah baligh, takzir menjadi gugur karena takzir diadakan agar dia jera dan dapat mengambil pelajaran. Sementara faktor yang lebih kuat dibandingkan sifat mumayiz yaitu sifat mukallaf telah muncul.
Ditambahkan persyaratan keempat yang berkenaan dengan pihak penuduh, yaitu bahwa dia melakukan tuduhan secara sukarela sehingga hadd qadzaf tidak dapat dijatuhkan kepada orang yang dipaksa melakukan tuduhan. Sebab, perbuatan orang semacam ini tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum, dan dia tidak mempunyai tujuan menyakiti seseorang dengan tuduhan itu karena dia dipaksa untuk melakukannya. Demikian pula orang yang memaksa tidak dapat dijatuhi hadd qadzaf.
Perbedaan antara kasus tuduhan berzina dengan pembunuhan adalah sebagai berikut. Dalam kasus tuduhan berzina, orang yang memaksa dan yang dipaksa, keduanya dapat dihukum mati. Orang yang memaksa dapat meminjam tangan orang yang dipaksa layaknya sebuah alat bagi dirinya. Caranya, dia meraih tangan orang lain, lalu membunuh seseorang menggunakan tangan tersebut. Sementara dalam kasus tuduhan berzina seseorang tidak mungkin mengambil lidah orang lain lalu dia menuduh berzina dengan meminjam lidah orang lain tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, ketika ada orang yang telah baligh, berakal, sukarela, muslim atau kafir yang telah sanggup menjaga hak-hak kaum muslimin, baik kafir murtad, kafir dzimmi, atau kafir yang memiliki perjanjian damai, menuduh orang muhshan (orang yang terjaga dari perbuatan tercela) berbuat zina, dia tidak mempunyai anak akibat persetubuhan yang menetapkan hadd zina, maka pihak penuduh harus dijatuhi hadd qadzaf . Sesuai ayat yang mulia, “Orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina), “ (QS. an-Nur [24]: 4).
Jika seseorang menuduh selain orang muhshan, dia tidak harus dijatuhi hadd qadzaf, sesuai dengan makna yang terkandung dalam ayat yang telah dikemukakan.
•    Hadd Qadzaf bagi Para Saksi
Menurut pendapat yang azhar, kesaksian zina yang kurang dari empat orang harus dijatuhi hadd qadzaf. Menurut al-madzhab, begitu pula dengan empat orang perempuan, budak, dan orang-orang kafir. Apabila satu orang bersaksi terkait pengakuan perbuatan zina yang dilakukan tertuduh, maka hadd qadzaf tidak dapat dijatuhkan kepadanya.
Apabila ada empat orang memberikan kesaksian terkait perbuatan zina, lalu kesaksian mereka ditolak akibat perbuatan fasik, walaupun kefasikannya sudah dapat dipastikan seperti berbuat zina dan minum khamr, mereka tidak dapat dijatuhi hadd qadzaf karena hadd qadzaf tertolak akibat faktor yang samar.
b. Syarat Pihak Tertuduh (Maqdzuf)
Ada lima persyaratan yaitu maqdzuf harus seorang muslim, baligh, berakal, merdeka, dan terjaga dari perbuatan zina. Kelima persyaratan ini merupakan syarat seseorang disebut muhshan, yaitu Islam, baligh, berakal, merdeka, dan terjaga dari perbuatan zina.
Ketika seseorang menuduh zina terhadap orang kafir, seorang anak kecil, orang gila, budak, orang yang benar-benar melakukan zina, maka dia tidak dapat dijatuhi hadd qadzaf karena tidak memenuhi syarat ihshan yang telah digariskan ayat di muka. Namun demikian, dia harus ditakzir karena telah menyakiti orang lain. Sebab, meskipun tuduhan yang dilayangkan kepada anak kecil atau orang gila terbukti, dia tidak dapat dijatuhi hadd zina. Demikian pula dengan pihak penuduh, dia tidak dapat dijatuhi hadd qadzaf, sebagaimana kasus apabila ada seseorang menuduh orang baligh serta berakal berbuat selain persenggamaan.
Penuduh orang kafir berbuat zina tidak harus dijatuhi hadd qadzaf, sesuai dengan hadits Ibnu Umar ra bahwasanya Nabi saw bersabda, “Siapa yang menyekutukan Allah bukanlah orang muhshan.”
Apabila ada orang menuduh seorang budak berbuat zina, dia tidak dapat dijatuhi hadd qadzaf. Sebab, minusnya sifat budak dapat menghalangi kesempurnaan hadd. Hal inilah yang menghalangi keharusan menetapkan hadd kepada penuduhnya.
Apabila ada seseorang menuduh berzina terhadap seseorang yang benar-benar melakukan zina, dia tidak dapat dijatuhi hadd qadzaf. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, “Orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina), “(QS. an-Nur  [ 24]: 4). Hadd digugurkan darinya ketika dia telah divonis melakukan zina. Hal ini menunjukkan bahwa ketika dia menuduh berzina terhadap seseorang yang mana dia benar-benar melakukan zina, dia tidak harus dijatuhi hadd qadzaf.
•    Pertanyaan tentang Tertuduh yang Berstatus Muhshan
Laporan tertuduh kepada hakim perihal penuduh, maka status tertuduh wajib dipertanyakan, apakah dia orang muhshan atau bukan. Sebab, status tersebut merupakan salah satu syarat pengambilan keputusan hukum. Seperti halnya mempertanyakan tentang sikap adilnya para saksi.
•    Takzir Penuduh karena Tidak Terpenuhinya Syarat lhshan
Penuduh tidak wajib dijatuhi hadd qadzaf karena tertuduh bukan orang muhshan, atau karena dia melemparkan tuduhan berbuat zina tanpa disertai niat, dia harus ditakzir. Karena dia telah menyakiti seseorang yang tidak boleh disakiti.
Apabila seseorang berkata kepada istrinya, “Apakah kamu dipaksa melakukan zina?” maka dia harus ditakzir. Karena dia telah menggolongkan istrinya melakukan perbuatan tercela.
c. Syarat-Syarat Shighat Qadzaf
Hadd qadzaf tidak wajib dijatuhkan, kecuali dengan tuduhan yang jelas (sharih) atau kinayah disertai niat menuduh seseorang berbuat zina.
Contoh tuduhan yang sharih, seperti “Anda telah berzina atau menyodomi”, “wahai pezina, farji Anda telah berzina”, “lubang anusmu atau penismu telah berzina”, dan ungkapan sejenis lainnya. Perbuatan zina dipastikan terjadi dengan ungkapan-ungkapan tersebut.
Contoh tuduhan zina yang berupa ungkapan kinayah, seperti “wahai orang yang menyimpang”, “wahai orang yang berbuat kotor”, atau “wahai putra anak yang sah”. Penuduh wajib dijatuhi hadd qadzaf karena dia telah sengaja menggolongkan orang lain sebagai pelaku perzinaan. Jika dia tidak berniat apa pun, atau berniat menuduh orang lain melakukan kezhaliman tertentu misalnya, maka dia tidak dapat dijatuhi hadd qadzaf .
Pernyataan yang dapat dibenarkan ialah pernyataan qadzif dengan disertai sumpah dalam klaim ada atau tidak adanya niat menuduh berzina.
Apabila seorang wanita berkata kepada wanita lain, “Anda paling maniak zina di antara sekian banyak orang atau si fulan,” ungkapan tersebut termasuk tuduhan kinayah karena dalam ungkapan tersebut tidak ada ketegasan tentang penyandaran perbuatan kepada lawan bicara.
Apabila seorang lelaki berkata kepada lelaki lain, “Si fulan adalah pezina,” dan “Anda paling maniak berzina dibandingkan si fulan,” ungkapan itu termasuk tuduhan sharih dalam menuduh lawan bicara berbuat zina.
•    Tuduhan Zina Massal
Apabila qadzif menuduh sekumpulan orang berbuat zina yang mustahil mereka lakukan, contohnya seperti ucapan, “Semua penduduk Mesir atau Maroko adalah pezina,” maka dia harus ditakzir. Apabila ada kemungkinan sekumpulan orang tersebut melakukan zina, seperti ucapan penuduh, “Keturunan si fulan adalah orang-orang yang berzina,” maka masing-masing pihak tertuduh berhak menuntut satu hadd qadzaf . Apabila penuduh menuduh seseorang dengan dua kali tuduhan berzina, maka penuduh harus dijatuhi satu hadd qadzaf.
•    Pengulangan Tuduhan Berzina
Apabila ada penuduh zina telah dijatuhi hadd qadzaf, kemudian dia menuduh untuk yang kedua kalinya, maka dia hanya harus ditakzir.
Apabila qadzif menuduh orang muhshan, lalu qadzif belum dijatuhi hadd qadzaf hingga muhshan itu melakukan zina, maka hadd qadzaf dihapuskan dari dirinya. Berbeda dengan kasus ketika muhshan berubah menjadi murtad, hadd qadzaf tidak dihapuskan dari dirinya.
d. Syarat Pelaksanaan Eksekusi Hadd Qadzaf
Ada dua persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan eksekusi hadd qadzaf, yaitu sebagai berikut.
Pertama, hadd qadzaf tidak boleh dilaksanakan kecuali di hadapan hakim. Maksudnya, hadd qadzaf hanya dilaksanakan oleh imam atau yang mewakili. Setiap individu anggota masyarakat tidak memiliki kewenangan melakukan eksekusi hadd qadzaf. Hal ini guna mencegah terjadinya kekacauan.
Kedua, hadd qadzaf tidak boleh dilaksanakan, kecuali berdasarkan permohonan dari pihak tertuduh. Jika tertuduh mengampuninya, maka hadd qadzaf dengan sendirinya menjadi gugur.
Apabila tertuduh meninggal dunia maka haknya berpindah ke tangan ahli waris. Sebab, hak dalam menuntut hadd qadzaf menjadi milik tertuduh. Seorang ahli waris dapat mewarisi hak tersebut dari tangan tertuduh.
Apabila seorang memaksa orang lain untuk menuduhnya telah berzina, lalu orang lain tersebut terpaksa menuduhnya, maka orang lain itu tidak dapat dijatuhi hadd qadzaf karena tuduhan itu berdasarkan pemaksaan.
Pembalasan pencemaran nama baik diperbolehkan sesuai kadar pencemaran yang diterima. Tidak dibenarkan mencemarkan nama baik ayah dan ibunya.
Wali orang yang berhak untuk menuntut hadd qadzaf atau takzir yang mengalami gangguan jiwa tidak dibenarkan memohon agar hak tersebut segera dilaksanakan. Hak itu wajib dilaksanakan untuk menuntut balas dan meredakan kemarahan. Oleh karena itu, pelaksanaan hak itu harus ditunda sampai dia sembuh seperti halnya dalam masalah tuntutan qishas.
Menurut pendapat yang azhar, keputusan hukum tentang perbuatan zina harus berdasarkan kesaksian empat orang laki-laki merdeka. Apabila kurang dari empat, mereka dapat dijatuhi hadd qadzaf.
3. Yang Berwenang Menuntut Hadd Qadzaf
Hadd qadzaf atau takzir merupakan hak tertuduh yang harus dipenuhi ketika dia memohon hak tersebut dilaksanakan. Namun, hak tersebut gugur ketika tertuduh mengampuni penuduh. Rasulullah saw bersabda, “Apakah salah seorang di antara kalian tidak mampu bersikap seperti yang ditunjukkan Abu Dhamdham? Dia mengatakan saya menyedekahkan nama baik saya.”
Sedekah berupa nama baik tidak akan pernah terwujud, kecuali dengan mengampuni dari yang harus dia laksanakan. Sebab, para ulama sepakat bahwa hak tersebut tidak boleh dilaksanakan kecuali berdasarkan permohonan tertuduh sehingga dia boleh memberi maaf seperti halnya hak qishas.
4. Beberapa Situasi Berulangnya Tuduhan Zina
Apabila pihak penuduh secara berulang-ulang melayangkan tuduhan berzina terhadap dua orang, maka penuduh harus dijatuhi hadd qadzaf sesuai dengan banyaknya tuduhan.
Jika penuduh harus menerima dua sanksi hadd qadzaf yang menjadi hak dua orang tertuduh, lalu penuduh telah menerima satu sanksi hadd qadzaf untuk memenuhi hak salah seorang dari mereka, maka penuduh tidak boleh dijatuhi hadd qadzaf untuk memenuhi hak tertuduh lainnya sampai badannya sembuh akibat hukuman pertama. Sebab, pelaksanaan antara dua hukuman secara kontinyu dapat mengakibatkan kematian.
Penuduh zina yang mengulangi tuduhannya kedua kali harus menerima takzir, bukan hadd qadzaf karena telah merugikan orang lain. Abu Bakrah pernah memberikan kesaksian terkait perzinaan yang memberatkan al-Mughirah. Lalu, Umar ra menjatuhkan hukuman cambuk kepadanya. Kemudian, dia mengulangi tuduhan serupa dan Umar hendak mencambuknya kembali. Tiba-tiba Ali ra berkata, “Jika Anda hendak mencambuknya kembali, hendaklah Anda merajam sahabatmu.” Lalu Umar ra membatalkan niatnya mencambuk al-Mughirah.
Dengan akan dijatuhkannya hadd qadzaf yang kedua, telah terjadi pembatalan hadd qadzaf pertama. Maksudnya, ketika terjadi pengulangan tuduhan zina, hadd qadzaf tidak boleh diulang, namun dia harus ditakzir. Itu pun ketika imam memandang kebijakan itu dapat membawa kebaikan.
Pendapat yang dikemukakan Ali ra menunjukkan bahwa pengulangan hadd qadzaf akan menetapkan pengulangan hadd qadzaf yang dasar hukumnya meragukan. Oleh karenanya, al-Mughirah harus dirajam karena telah terpenuhi empat saksi yakni kesaksian Nafi’ saudara laki-laki Aba Bakrah, Syibli bin Ma’bad al-Bajili , dan dua kesaksian Aba Bakrah dalam dua tempat. Sementara Ziad bin Abu Sufyan enggan memberikan kesaksian dan dia tidak memberikan kesaksian dengan sempurna.
5. Ukuran Hadd Qadzaf
Seseorang yang merdeka menuduh orang lain berzina dapat dijatuhi hadd qadzaf sebanyak delapan puluh kali cambukan sesuai dengan ketentuan ayat al-Qur’an, “… maka deralah mereka delapan puluh kali,“(QS. an-Nur  [24]: 4). Yang dimaksud empat orang saksi ialah orang-orang yang merdeka sesuai dengan firman Allah SWT, “… dan janganlah kalian terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya, “ (QS. an-Nur [24]: 4). Karena kesaksian orang yang tidak merdeka tidak dapat diterima, meskipun dia tidak melakukan tuduhan berzina.
Abu Dawud meriwayatkan hadits dari Aisyah ra, dia berkata, “Pada saat ayat yang menghilangkan kesusahanku diturunkan, Nabi berdiri sambil membaca al-Qur’an dan beliau memerintahkan untuk menghukum dua orang lelaki dan seorang perempuan, lalu mereka dipukul, mereka adalah Hassan, Misthah, dan Hamnah.”
Ath-Thahawi mengatakan masing-masing didera sebanyak delapan puluh kali dera, dan karena tuduhan melakukan berbuat zina lebih ringan dibandingkan tindak pidana perzinaan.
6. Tuduhan Berzina tanpa Kehadiran Tertuduh
Apabila imam mendengar seseorang berkata, “Seorang lelaki telah berbuat zina,” maka imam tidak boleh menjatuhkan hadd qadzaf kepadanya. Karena tertuduh yang berhak menuntut hadd qadzaf tidak hadir. Pihak penuduh tidak boleh dipaksa untuk menjelaskan tertuduh. Hal ini sesuai firman Allah SWT, “Janganlah kalian menanyakan (kepada Nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian (justru) menyusahkan kalian,“ (QS. al-Ma’idah [5]: 101 ). Sebab, hadd qadzaf tertolak akibat tuntutan yang samar, sedangkan menutupi kesalahan merupakan tindakan yang diperintahkan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi saw, “Kenapa kamu tidak menutupinya dengan pakaianmu wahai Hazzal ?!”
Apabila ada seseorang mengatakan, “Saya mendengar seorang lelaki berkata bahwa si fulan telah berzina, “ maka dia tidak dapat dijatuhi hadd qadzaf. Dia hanyalah orang yang menceritakan kejadian tersebut. Hakim juga tidak boleh menanyakan kepadanya tentang identitas si penuduh, karena hadd qadzaf tertolak akibat tuntutan yang samar.
Apabila ada seseorang berkata, “Si fulan telah berzina.” Menurut pendapat yang rajih, imam harus menanyakan tentang identitas tertuduh. Sebab, dia memiliki kewenangan menuntut hak yang tidak diketahuinya. Oleh karena itu, imam harus memberitahunya. Sebagaimana kasus ketika seseorang memiliki harta benda yang berada di tangan seseorang, sedangkan dia tidak mengetahui harta tersebut.
7. Gugurnya Tuntutan Hadd Qadzaf
Hadd qadzaf gugur akibat adanya tiga perkara, yaitu sebagai berikut.
Pertama, kehadiran para saksi yang memberatkan tertuduh benar benar melakukan zina, baik tertuduh berstatus sebagai istri atau perempuan lain. Adapun perempuan lain selain istri berdasarkan firman Allah SWT, “Mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali,” (QS. an-Nur [24]: 4). Allah SWT memerintahkan kepada kita agar menjatuhkan hukuman cambuk ketika tidak dapat mendatangkan para saksi.
Nabi saw pernah bersabda kepada Hilal bin Umayah saat dia menuduh istrinya berzina dengan Syarik bin as-Sahma’ di hadapan Nabi saw , “Apakah ada alat bukti saksi atau dirimu harus menerima hadd qadzaf.” Beliau mengatakan ungkapan itu berulang-ulang. Kemudian Allah SWT menurunkan ayat tentang li’an, sehingga seorang suami mempunyai dua pilihan cara untuk menggugurkan hadd qadzaf yakni dengan alat bukti saksi dan li’an berdasarkan nash al-Qur’an.
Kedua, pengampunan dari tertuduh. Hadd qadzaf dengan sendirinya menjadi gugur dengan adanya pengampunan dari tertuduh karena hadd qadzaf merupakan hak tertuduh. Oleh karena itu, hak tersebut tidak dapat dilaksanakan tanpa rekomendasi dan permohonan dari tertuduh, dia boleh mengambil keputusan dengan membebaskan penuduh dari tuntutan hadd qadzaf .
Ketiga, li’an yang berkenaan dengan hak istri, misalnya seorang suami mengucapkan sumpah li’an sebanyak lima kali, dengan demikian tuntutan hadd qadzaf dihapuskan dari dirinya.
Ditambahkan faktor keempat yang dapat menggugurkan hadd qadzaf, yakni orang yang memiliki hak untuk menuntut hadd qadzaf mengalami gangguan jiwa. Untuk itu, apabila ada seseorang tiba-tiba terganggu jiwanya, walinya tidak dibenarkan menuntut pelaksanaan hadd qadzaf dari penuduh.
Apabila seseorang menuduh orang muhshan berzina lalu dia belum juga dijatuhi hadd qadzaf , sampai akhirnya orang muhshan itu melakukan zina, hadd qadzaf digugurkan dari diri penuduh. Berbeda dengan kasus ketika muhshan berubah menjadi murtad, hadd qadzaf tidak digugurkan dari dirinya, sebagaimana keterangan yang telah dikemukakan.
8. Beberapa Pengakuan Gugurnya Hadd Qadzaf
Ketika ada seseorang menuduh orang muhshan berzina, dan dia berkata, “Saya menuduh dia berzina pada saat saya kehilangan akal.” Jika kondisi gangguan jiwa yang dialaminya tidak pernah diketahui, maka pernyataan yang dapat dibenarkan ialah pernyataan tertuduh dengan disertai sumpah bahwa dirinya tidak pernah mengetahui bahwa si penuduh mengalami gangguan jiwa. Sebab, pada dasarnya gangguan jiwa itu tidak ada.
Apabila kondisi gangguan jiwa yang dialaminya telah diketahui, maka pernyataan yang dapat dibenarkan ialah pernyataan pihak penuduh. Karena, pengakuan yang disampaikannya ada kemungkinan benar. Pada dasarnya dia terlindungi dari tuntutan hadd qadzaf karena hadd qadzaf tertolak akibat tuntutan yang samar. Sesuai dengan sabda Nabi saw, “Jauhilah pelaksanaan hudud akibat tuntutan yang samar, dan hindarilah hudud itu selama kalian mampu, sesungguhnya kesalahan imam karena memberi pengampunan lebih baik daripada kesalahannya dalam memberikan hukuman.”
C. Hadd Tindak Pidana Pencurian
1. Definisi, Ketentuan Hukum Pencurian Menurut Syara’, dan Kewajiban Memberikan Sanksi Hukum
Menurut bahasa, tindak pidana pencurian adalah mengambil harta benda orang lain secara sembunyi-sembunyi. Adapun menurut syara’, tindak pidana pencurian adalah tindakan mengambil harta benda orang lain dengan sembunyi -sembunyi secara zhalim dari tempat penyimpanan harta benda tersebut dengan syarat-syarat tertentu. Bisa pula diartikan dengan tindakan mengambil harta benda orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi dan mengeluarkan harta tersebut dari tempat penyimpanannya.
Perbedaan antara tindak pencurian, perampokan, pencopetan, ghashab, dan penipuan harta adalah sebagai berikut.
•    Pencurian adalah pengambilan suatu barang dengan cara sembunyi-sembunyi agar pemilik barang yang dicuri tidak mengetahui proses terjadinya tindakan tersebut.
•    Perampokan adalah pengambilan suatu barang dengan mengandalkan kekuatan dan cara kekerasan kemudian melarikan diri. Jadi perampok adalah orang yang mengambil harta benda secara terang-terangan dan mengandalkan kekuatan.
•    Pencopetan adalah mengambil suatu barang secara terang-terangan di hadapan pemiliknya ketika pemilik terlihat lalai, dan pada umumnya bukan dari tempat penyimpanan yang semestinya untuk barang tersebut. Atau orang yang mengandalkan kekuatan melarikan diri karena tidak mempunyai kekuatan memaksa pada saat pemilik melihat perbuatannya.
•    Penipuan harta adalah merahasiakan sesuatu yang sengaja tidak diperlihatkan. Misalnya dia mengambil harta benda dari pemiliknya dengan sembunyi-sembunyi serta dia memperlihatkan dirinya seolaholah dia sedang memberikan nasihat dan melindungi terkait harta bendanya.
•    Ghashab adalah mencoba mengambil harta benda milik orang lain dengan paksaan, terang-terangan dan bersifat terbuka, tidak dengan sembunyi sembunyi.
Seseorang yang melakukan perampokan, pencopetan, penipuan, ghashab, mengingkari barang titipan dan barang pinjaman tidak dapat dijatuhi sanksi hukum hadd pencurian. Hal ini sesuai dengan hadits, “Hukuman penggal tidak diberlakukan kepada orang yang melakukan tindak penipuan dan pencopetan,” dan hadits, “Hukuman penggal tidak diberlakukan kepada perampok.”
Pengghashab lebih tepat untuk tidak dipotong dibandingkan perampok, karena pengambilan barang dilakukan secara terbuka, dan tidak melarikan diri. Hanya saja mereka harus ditakzir dengan hukuman takzir berdasarkan hasil ijtihad hakim. Pengabaian hadd pencurian kepada selain pencuri juga karena alasan tindakan pencurian secara terbuka yang dilakukan oleh mereka dapat dicegah dengan meminta bantuan sekelompok orang atau seorang imam, sehingga tidak perlu memberikan vonis hukuman untuk menghentikan tindakan mereka dengan hukuman potong.
Tindak pencurian adalah haram dan termasuk dosa besar. Karena pencurian dapat merugikan harta benda orang lain secara ilegal. Nabi saw bersabda, “Harta benda seorang muslim tidak halal kecuali (diberikan) dengan hati yang lapang.”
Sesuai hukum al-Qur’an, sanksi hadd pencurian wajib dijatuhkan kepada seorang pencuri dengan beberapa persyaratan guna memberikan efek jera, menghentikan tindakan pencurian tersebut, dan melindungi harta benda orang lain. Sesuai dengan firman Allah SWT, “Adapun orang laki-laki  maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana,” (QS. Al Ma’idah [5]: 38).
Sesuai dengan ketentuan berbagai macam hadits yang masyhur, di antaranya, “Sesungguhnya kehancuran yang menimpa orang-orang sebelum kalian ialah ketika seorang tokoh mereka telah terbukti melakukan tindak pencurian, mereka tidak pernah mengambil tindakan hukum, namun ketika orang yang tak berdaya telah melakukan tindak pencurian, mereka segera memotongnya.”
2. Rukun-Rukun Pemberian Sanksi Hadd Pencurian atau Potong Tangan
Rukun-rukun pemberian sanksi hadd pencurian, yaitu: barang curian (masruq), pencuri (sariq), dan perbuatan mencuri. Hadd tindak pidana pencurian hanya boleh dilakukan oleh imam atau yang mewakili.
a. Syarat-Syarat Pencuri yang Dapat Dijatuhi Hadd Pencurian
Tangan seorang pencuri boleh dipotong jika memenuhi tujuh macam persyaratan sebagai berikut.
(1) Orang yang telah baligh, (2) berakal, (3) tanpa ada keterpaksaan, (4) mempunyai tanggung jawab melaksanakan hukum Islam, (5) mengambil harta benda sebanyak satu nisab (kira-kira 1/4 dinar), (6) dari tempat penyimpanan harta benda, (7) tidak ada hubungan kepemilikan dan tidak ada unsur kepemilikan yang samar terkait harta yang dicuri, baik dia seorang muslim, kafir dzimmi atau orang murtad.
Jadi, hukuman potong tangan tidak dapat diberlakukan kepada anak-anak, orang gila, dan orang yang dipaksa. Sesuai dengan dua hadits yang masyhur yaitu, “Tanggung jawab hukum dihapuskan dari diri tiga orang,” dan hadits, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadaku agar mengampuni perbuatan yang dilakukan umatku karena lalai, lupa, dan perbuatan yang terpaksa mereka lakukan.”
Hadd pencurian tidak dapat dijatuhkan kepada kafir harbi karena dia tidak mempunyai tanggung jawab melaksanakan hukum islam. Menurut pendapat yang azhar, hukuman potong tangan tidak dapat diberlakukan kepada kafir musta’man atau mu’ahad.
Hadd pencurian tidak harus diberlakukan akibat mencuri barang yang kurang dari satu nisab (yaitu 1/4 dinar), atau harta yang nilainya setara dengan 1/4 dinar. Hal ini sesuai dengan hasil kesimpulan dalil yang akan disampaikan berkenaan dengan harta curian.
Hadd tidak diberlakukan akibat mencuri harta benda dari selain tempat penyimpanan harta, mencuri harta benda milik pencuri, atau dia memiliki hak yang samar dalam harta yang dicurinya tersebut. Hal ini sesuai dengan keterangan yang akan disampaikan penjelasannya.
b. Syarat-Syarat Harta Benda yang Dicuri
Harta benda yang dicuri harus memenuhi tiga macam persyaratan, yaitu sebagai berikut.
Pertama, jumlahnya sebanyak 1/4 dinar atau lebih banyak emas murni (yaitu emas murni pada waktu pencurian terjadi), walaupun milik bersama. Hal ini sesuai dengan hadits Imam Muslim, “Tangan pencuri tidak boleh dipotong, kecuali dia mencuri harta sebanyak 1/4 dinar dan seterusnya.” Atau mencuri harta benda yang nilainya setara dengan 1/4 dinar emas murni.
Oleh karena itu, hukuman potong tangan tidak diberlakukan kepada siapa saja yang mencuri harta sebanyak 1/4 dinar emas campuran. Karena pada hakikatnya hitungan emas semacam ini tidak melebihi 1 /4 dinar emas murni.
Hukum potong juga tidak berlaku akibat mencuri 1/4 dinar emas yang telah dicetak, perhiasan emas atau sejenisnya yang jumlahnya tidak setara dengan 1/4 mata uang dinar emas. Sebab, redaksi yang disebutkan dalam matan hadits yaitu kata “dinar”. Istilah ini digunakan untuk menyebut emas yang dibuat mata uang.
Ukuran satu nisab terhitung sejak waktu dikeluarkannya harta benda tersebut dari tempat penyimpanannya. Hadd potong tangan tidaklah gugur bila nilainya mengalami pengurangan setelah mengeluarkan harta tersebut.
Apabila seseorang mencuri beberapa dinar yang dikira uang logam, yang nilainya tidak setara dengan 1/4 dinar emas murni, tangannya harus dipotong. Sebab, yang dimaksud pencurian itu adalah materinya yang ternyata nilainya setara dengan 1/4 dinar. Dan karena istilah sebutan dinar telah terbukti, sementara dugaan pencurian yang salah tidak menjadi pertimbangan.
Begitu pula tangan seorang pencuri baju usang dapat dipotong apabila di dalam saku baju usang tersebut terdapat lebih dari 1/4 dinar emas murni. Sebab, dia telah mengeluarkan satu nisab dari tempat penyimpanan dengan niat mencuri. Sementara ketidaktahuan tentang jenis barang yang dicuri tidak berakibat hukum apa pun. Seperti halnya ketidaktahuan tentang sifat harta yang dicuri.
Landasan hukumnya ialah hadits riwayat Aisyah ra, “Rasulullah tidak pernah menghukum potong tangan seorang pencuri kecuali dia mencuri harta sebanyak 1/4 dinar atau lebih.”
Perbedaan antara diyat dengan hukuman potong tangan dalam tindak pencurian ialah sebagai berikut. Dalam diyat, sebuah tangan setara dengan setengah diyat pembunuhan. Sementara dalam tindak pencurian, tangan seseorang dapat dipotong akibat mencuri harta sebanyak 1/4 dinar.
Nilai harga sebuah tangan dibedakan antara situasi amanah dengan situasi berkhianat. Situasi amanah terjadi ketika memotong tangan orang lain, dan harga sebuah tangan yang harus dibayarkan ialah setengah dari diyat akibat perbuatan membunuh. Sebab, sebuah tangan dalam situasi semacam ini mempunyai harga, kehormatan, dan dilindungi hukum. Sedangkan dalam tindak pencurian, tangan dapat dipotong akibat mencuri harta sebanyak 1/4 dinar emas murni. Sebab, sebuah tangan dalam kasus terakhir berada dalam situasi berkhianat.
Perbedaan itu dibuat perumpamaan saat Abu al-‘Ala al-Ma’ri mengatakan keraguannya tentang perbedaan antara diyat dan hukuman potong tangan dalam tindak pencurian:
Sebuah tangan dihargai lima puluh ekor unta sebagai diyatnya
Bagaimana sebuah tangan dipotong harga karena 1/4 dinar …
Kemudian Hakim Abdul Wahab al-Maliki menjawab keraguan tersebut dengan ucapan;
Harga melindungi nyawa sangatlah mahal, dan yang membuatnya murah perbuatan khianat yang hina,
Pahamilah hikmah Allah Yang Maha Pencipta
Maknanya ialah apabila tangan mampu melunasi sesuatu yang dipotongnya, pasti banyak terjadi kasus mutilasi anggota badan karena ringannya kompensasi sebagai pengganti tangan yang dipotong, sehingga kompensasi ganti rugi harus diperberat agar tidak banyak orang yang memotong tangan orang lain dan untuk melindungi tangan tetap utuh.
Ibnu al-Jauzi saat dimintai jawaban tentang masalah tersebut mengatakan, ketika tangan merupakan amanah yang harus dilindungi maka harganya sangat tinggi. Namun, ketika tangan berkhianat maka harga sebuah tangan sangatlah rendah.
Kedua, harta benda yang diambil merupakan harta bukan milik pencuri, dan pencuri tidak mempunyai hak yang samar terkait kepemilikan harta tersebut.
Hukuman potong tangan tidak diberlakukan akibat mencuri sesuatu yang tidak dianggap harta benda menurut perspektif umum. Misalnya barang yang tak berharga dan hina seperti sebiji kurma, sebutir telur dan kekayaan yang nilainya kurang dari 1/4 dinar emas murni.
Hukuman potong tangan juga tidak diberlakukan akibat mencuri sesuatu yang bukan dianggap harta benda menurut perspektif syariat, seperti anjing, babi, khamr, dan kotoran hewan ternak. Sebab, vonis potong tangan diputuskan untuk melindungi harta benda.
Menurut al-madzhab, apabila seseorang mencuri bejana yang nilainya setara dengan satu nisab, dan di dalam bejana itu berisi khamr atau air seni, maka tangannya harus dipotong. Penghapusan hukuman potong tangan karena faktor yang diwadahi bejana yakni khamr atau air seni tidak mengakibatkan gugurnya hukuman potong tangan dalam kasus tindak pencurian bejana.
Menurut pendapat yang ashah yang dikemukakan mayoritas ulama, tangan pencuri shanam (patung berbentuk binatang), atau satu dari berbagai jenis alat musik yang diharamkan, seperti sejenis kecapi, seruling, organ, dan jenis alat musik lainnya tidak harus dipotong. Sebab, barang curian termasuk alat untuk berbuat kemaksiatan. Ini seperti halnya kasus seseorang yang mencuri khamr.
Tangan penculik anak di bawah umur atau orang gila tidaklah dipotong. Karena, yang dicuri bukanlah harta benda yang dilindungi. Apabila dia menculiknya dan di tubuhnya melekat perhiasan, harta benda, atau gelang yang kadarnya setara dengan 1/4 dinar emas murni, menurut pendapat yang ashah, tangan penculik tidak boleh dipotong karena dia berniat menculik anak kecil. Sama seperti kasus andaikan seseorang mencuri unta yang di punggungnya terdapat pemiliknya.
Menurut pendapat yang ashah, tangan pencuri yang mencuri barang wakaf ataupun barang yang diwakafkan untuk masjid harus dipotong. Sebab, barang curian merupakan barang tanggungan di bawah kekuasaan orang lain. Demikian pula pencuri pintu masjid, hiasan dinding masjid, atau batang kayu masjid. Sesuai dengan hadits riwayat Umar ra, “Rasulullah pernah menghukum potong tangan seorang pencuri kelambu mimbar Rasulullah.” Sebab, harta yang dicuri ialah harta benda yang tersimpan di tempat penyimpanan barang serta tidak ada unsur bias kepemilikan dalam harta tersebut.
Namun, andaikan pencuri mempunyai hak kepemilikan atas barang curiannya melalui warisan, barang gadaian, dan sewaan sebelum barang itu dikeluarkan dari tempat penyimpanan, atau nisab barang berkurang akibat dimakan sebagian, atau terbakar, maka tangannya tidak boleh dipotong. Sebab, dalam kasus pertama, pencuri hanya mengeluarkan barang yang menjadi miliknya. Sementara dalam kasus kedua, dia tidak mengeluarkan harta dari tempat penyimpanannya melebihi satu nisab.
Menurut pendapat yang azhar, tangan pencuri yang mencuri barang milik bersama dari tempat penyimpanan barang tidak boleh dipotong, meskipun bagian miliknya hanya sedikit. Sebab, dalam bagian tertentu dia mempunyai hak milik yang berbaur dengan hak milik rekannya. Itulah yang disebut dengan kepemilikan absurd.
Sementara itu, tangan pencuri yang mencuri harta pribadi rekannya yang bukan milik bersama harus dipotong. Hal ini jika kedua harta tersebut (harta bersama dan harta pribadi rekannya) tersimpan di dua tempat yang berbeda. Apabila kedua harta tersebut tersimpan di tempat yang sama, maka tangannya tidak boleh dipotong.
Hukuman potong tangan tidak diberlakukan akibat mencuri barang milik pencuri yang berstatus kepemilikan absurd. Contohnya mencuri harta milik orang tua atau anak-anaknya. Karena pada hakikatnya antara mereka terjalin hubungan yang tak terpisahkan, meskipun diyat mereka berbeda. Sebab, harta milik masing-masing memang disediakan untuk memenuhi kebutuhan yang lain.
Menurut pendapat yang azhar, tangan salah seorang dari pasangan suami istri harus dipotong ketika dia mencuri harta milik pasangannya yang disimpan secara terpisah dari hartanya. Karena ayat dan berbagai teks hadits yang berhubungan dengan hadd pencurian bersifat lex generalis, dan karena harta milik masing-masing pasangan suami istri disendirikan dari harta pasangannya yang lain.
Pencuri harta orang yang dipiutanginya, dan orang tersebut mengingkari tanggungan utangnya yang sudah jatuh tempo atau lewat, lalu pencuri berniat mengambil haknya, maka tangannya tidak boleh dipotong. Dalam situasi semacam ini dia diizinkan mengambil haknya. Jika tidak berniat demikian, tangannya harus dipotong. Dan dalam kasus semacam ini status hak milik dengan jenis yang berbeda dianggap sama dengan jenis hak miliknya.
Pencuri yang mengambil barang melebihi kadar hak miliknya yang terambil bersamaan dengan pengambilan hak miliknya, tidak boleh dipotong tangannya, meskipun kelebihan yang diambil mencapai satu nisab dan tersimpan menyendiri. Sebab, jika dia dapat masuk dan mengambil harta dengan mudah, harta yang disimpan secara terpisah tidak mungkin tersisa.
Apabila pada masa paceklik seseorang mencuri makanan tanpa bermotivasi menguasainya, maka tangannya tidak boleh dipotong. Begitu pula seseorang yang diizinkan masuk ke dalam rumah atau kedai untuk membeli atau berbuat lainnya, lalu dia mencuri. Contohnya seorang tamu ketika dia mencuri sebagian harta milik tuan rumah.
Apabila seseorang yang bukan termasuk golongan yang berhak menerima harta baitul mal, mencuri harta baitul mal setelah masing-masing harta dibagi untuk golongan tertentu, maka tangannya harus dipotong. Jika harta belum dipilah-pilah untuk golongan tertentu, maka tangannya tidak boleh dipotong.
Menurut pendapat yang ashah, jika pencuri mempunyai hak atas barang curian, contohnya harta yang disediakan untuk kepentingan umum yang melibatkan orang muslim fakir atau kaya, atau seperti harta sedekah, sementara pencuri orang yang fakir, maka tangannya tidak boleh dipotong. Jika dia tidak mempunyai hak atas harta yang dicuri, maka tangannya harus dipotong karena tidak adanya unsur kepemilikan yang absurd.
•    Kesimpulan
Hukuman potong tangan tidak dapat diberlakukan dalam tindak pidana pencurian harta yang di dalamnya mengandung unsur kepemilikan absurd bagi pencuri. Sesuai dengan hadits yang telah dikemukakan, “… hindarilah penetapan hudud akibat tuntutan yang absurd.”
Apabila seorang muslim mencuri harta baitul mal dan dia mempunyai hak atas harta tersebut, maka tangannya tidak boleh dipotong. Ini sesuai dengan keterangan seorang gubernur bawahan khalifah Umar ra yang pernah berkirim surat kepada Umar ra sambil bertanya tentang pencuri harta baitul mal. Umar ra menjawab, “Janganlah kau potong tangannya, tidak ada seorang pun, kecuali dia mempunyai hak atas harta yang tersimpan dalam baitul mal.”
Asy-Sya’bi menceritakan seorang laki-laki pernah mencuri harta dari baitul mal. Lalu berita itu sampai kepada Ali ra, lalu dia berkata, “Sesungguhnya dia mempunyai bagian harta yang tersimpan di baitul mal.”
Tangan kafir dzimmi yang mencuri harta dari baitul mal harus dipotong. Karena dia tidak mempunyai hak atas harta yang tersimpan di baitul mal.
Hukum potong tangan tidak berlaku dalam kasus pencurian harta yang dighashab dari tangan pengghashab. Sebab, pengghashab mencoba menyimpan harta di sebuah tempat yang tidak direlakan oleh pemilik harta tersebut.
Tindak pencurian yang dilakukan oleh orang yang menyewakan dari tangan penyewa, dan oleh orang yang meminjamkan dari tangan peminjam dapat mengakibatkan hukuman potong tangan. Karena tidak ada unsur kepemilikan yang samar bagi orang yang menyewakan terkait harta benda penyewa, dan tidak (ada unsur yang samar) berkenaan dengan perusakan tempat penyimpanan harta penyawa, dan karena peminjam menyimpan hartanya di tempat penyimpanan yang dapat dibenarkan.
Seseorang yang menghibahkan hartanya yang dicuri kepada pencurinya setelah kasusnya dilaporkan ke pihak berwajib tidak dapat menghapuskan tuntutan hukum potong tangan terhadap pencurinya. Sesuai dengan hadits bahwa Nabi saw memerintahkan agar menindak pencuri selendang Shafwan dengan memotong tangannya. Lalu Shafwan berkata, “Sesungguhnya saya tidak menghendaki hal ini terjadi. Selendang itu saya sedekahkan kepadanya.” Lalu Rasulullah saw bersabda, “Kenapa tidak kamu lakukan hal itu sebelum kamu datang mengadukan hal ini kepadaku?”
Tangan pencuri selendang yang selendang itu sedang digunakan sebagai bantal oleh seseorang harus dipotong. Sesuai hadits Shafwan yang telah dikemukakan. Namun jika orang yang sedang tidur itu berpaling dari kain tersebut, tiba-tiba kain itu dicuri, maka tangan pencurinya tidak boleh dipotong karena tempat selendang itu sudah tidak aman.
•    Pencurian Kain Kafan
Pencuri kain kafan dengan cara menggali kuburan yang terletak di lahan tak bertuan, maka tangannya tidak boleh dipotong. Sebab, pemakaman semacam ini bukanlah tempat penyimpanan kafan, mungkin karena darurat.
Apabila kuburan itu di tempat pemakaman umum, maka tangannya harus dipotong. Sesuai dengan hadits yang diceritakan oleh al-Barra’ bin ‘Azib ra, Nabi saw bersabda, “Siapa saja yang melakukan pembakaran, kami pasti membakarnya. Siapa saja yang menenggelamkan, kami pasti menenggelamkannya. Dan siapa saja yang menggali kuburan, kami pasti memotong tangannya.”
•    Ringkasan Pembahasan
An-Nawawi mengatakan kain kafan dalam kuburan yang terletak dalam kamar yang kukuh dianggap kafan yang tersimpan di tempat penyimpanan. Begitu pula menurut pendapat yang ashah, kafan yang berada di tempat pemakaman yang berada di pinggir tempat hunian adalah kafan yang tersimpan di tempat penyimpanan. Tidak demikian dengan kafan yang berada di tempat yang diterlantarkan, seperti kawasan yang jauh dari hunian. Sebab, pencuri mengambilnya tanpa disertai perasaan khawatir.
Ketiga, barang curian dalam keadaan tersimpan di tempat penyimpanan yang sesuai dengan barang tersebut berdasarkan ijma’ ulama.
Cara penyimpanan harta adakalanya melalui pengawasan terhadap barang yang dicuri (dengan menempatkan seorang penjaga yang disebut security system), atau dengan melindungi tempat harta yang dicuri (penjagaan langsung oleh keberadaan harta itu sendiri).
Apabila harta tersimpan di tanah lapang, masjid, sekitar jalan raya atau tempat penyimpanan lainnya, disyaratkah harus selalu mendapat penjagaan atau dengan menempatkan petugas yang melakukan pengawasan atau melindungi harta dari pencurian. Dengan cara semacam ini harta pada umumnya tersimpan dengan aman.
Apabila harta tersimpan dalam benteng, maka pengamanannya cukup dengan melakukan pengawasan yang biasa, tidak disyaratkan harus selalu melakukan pengawasan karena mengikuti tindakan yang dilakukan secara umum.
Dengan demikian hadd pencurian tidak harus diberlakukan dalam harta yang dicuri dari selain tempat penyimpanan. Hal ini sesuai dengan hadits yang diceritakan oleh Abdullah bin Amr bin Ash ra bahwasannya seorang lelaki dari kabilah Muzainah berkata, “Wahai utusan Allah, bagaimana pendapat tuan tentang sesuatu yang dilindungi dengan perbukitan?” Beliau bersabda, “Hukuman potong tangan tidak diberlakukan dalam kasus pencurian sebagian hewan ternak kecuali hewan ternak yang ditempatkan dalam kandang ternak (al-murah). Hukuman potong tangan pun tidak diberlakukan dalam kasus pencurian sebagian buah kurma yang tergantung di pohon kecuali kurma yang telah ditempatkan di tempat pengeringan. Sesuatu yang diambil dari tempat pengeringan, lalu (setelah ditimbang) nilainya mencapai harga sebuah perisai (al-mijan), maka tindak pencurian semacam ini hukuman potong tangan diberlakukan.”
Tempat penyimpanan setiap sesuatu disesuaikan dengan mempertimbangkan kondisi barang tersebut. Hal ini akan berbeda, tergantung perbedaan jenis harta, wilayah, perilaku adil dan perilaku menyimpangnya, kekuatan dan kelemahan seorang imam. Oleh karena itu, tempat penyimpanan perkakas rumah dan bejana ialah sebuah rumah. Tempat penyimpanan permata, perhiasan, mata uang emas atau perak, kain, pakaian yang bagus dan bejana yang antik ialah peti atau lemari yang terkunci. Sedangkan halaman atau pelataran rumah dan rak (tempat bagian atas) merupakan tempat penyimpanan bejana, perkakas rumah dan kain yang telah usang. Tempat penyimpanan barang dagangan ialah toko yang terkunci dengan ditambah seorang penjaga. Tempat penyimpanan hewan ialah kandang hewan. Sementara tempat penyimpanan kain kafan ialah kuburan di perkotaan atau di pedesaan.
Waktu sehari dianggap oleh asy-Syari’ dalam kategori tempat penyimpanan mobil yang terparkir di pinggir jalan raya menurut adat yang berlaku dan tidak ditemukan bengkel mobil. Tidur di lapangan terbuka atau di dalam masjid di atas sehelai kain, dan meletakkan harta benda di bawah kepala atau terikat pada badannya dianggap dalam kategori tersimpan di tempat penyimpanan. Jika seseorang bergerak lalu dia menjauh dari kain itu, kain itu bukan lagi barang yang tersimpan. Oleh sebab itu, tangan pencurinya tidak dapat dipotong, sebagaimana keterangan yang telah dikemukakan.
Peletakan kain dan harta benda berdekatan dengan kawannya di lapangan terbuka dianggap tersimpan di tempat penyimpanan jika dia selalu mengawasinya dengan selalu memantau barang tersebut. Sebab, hukum yang berlaku umum mengatur demikian. Jika dia tidak mengawasinya, bahkan dia tertidur atau membelakangi barang itu dengan punggungnya atau tidak ingat, maka barang itu bukan lagi barang yang terlindungi di tempat penyimpanan.
Syarat pengawasan ialah harus mampu mencegah terjadinya tindak pencurian dengan kekuatan atau meminta bantuan pengamanan.
•    Penjagaan Rumah
Jika rumah terpencil dari hunian yang ramai, dan rumah itu mendapat pengawasan secara profesional, maka rumah itu dapat dikategorikan pelindung harta benda yang berada di dalam rumah tersebut, baik pintu dalam keadaan terbuka maupun tertutup.
Jika tidak demikian adanya (misalnya di dalam rumah tidak ada seorang penjaga dan pintu dalam keadaan terkunci, atau ada orangnya namun sangat lemah serta tidak peduli dengan isi rumah, dan letak rumah sangat jauh untuk meminta bantuan pengamanan, atau di dalam rumah ada seorang penjaga yang sangat kuat, namun dia tertidur dan pintu dalam kondisi terbuka, atau terkunci), maka rumah itu tidak memenuhi syarat sebagai tempat penyimpanan. Sama halnya dengan pendapat ashah, rumah tidak termasuk kategori yang aman jika dalam rumah itu ada seorang penjaga tetapi tertidur, atau tidak ada penjaga dan rumah dalam keadaan terkunci atau terbuka, meski di siang hari.
Apabila letak rumah berdampingan dengan hunian yang ramai dan berpenghuni, dan pintu dalam kondisi terkunci, atau ada petugas keamanan yang menjaga, maka rumah itu termasuk kategori tempat penyimpanan harta benda di dalamnya, baik malam maupun siang hari.
Apabila pintu rumah terbuka, atau penjaganya tertidur di malam hari, maka rumah itu bukan kategori tempat penyimpanan. Begitu juga di siang hari menurut pendapat yang ashah, Karena dia telah mengabaikan penjagaan itu. Begitu pula bukan kategori tempat penyimpanan di siang hari, seperti kasus tidak ada seorang penjaga di dalam rumah dan pintu dalam keadaan terbuka.
Demikian pula halnya menurut pendapat yang ashah, seorang petugas yang terjaga di dalam rumah yang dapat diperdayai oleh seorang pencuri dan dia melakukan tindak pidana pencurian, maka rumah itu bukan tempat penyimpanan harta.
Menurut al-madzhab, rumah yang berdampingan tidak berpenjaga, maka rumah itu termasuk kategori tempat penyimpanan harta di siang hari dalam kondisi aman dan pintu dalam keadaan tertutup.
Apabila ketiga persyaratan itu tidak terpenuhi, misalnya pintu dalam keadaan terbuka, situasi tidak aman, atau pada waktu malam hari, maka dalam situasi semacam ini rumah tersebut tidak termasuk kategori tempat penyimpanan harta.
Tempat penyimpanan di padang sahara disyaratkan harus ada seorang penjaga, walaupun dia tertidur. Unta yang digembalakan di lapangan terbuka harus mendapat penjagaan seorang pengawal yang selalu mengawasinya.
Penuntun atau penunggang unta (bighal) yang digiring disyaratkan agar menengoknya apabila dia dapat mengawasinya. Iring-iringan tidak melebihi sembilan. Sementara menurut pendapat yang ashah, unta yang tidak digiring bukan termasuk yang diawasi.
Harta benda yang berada di atas punggung hewan termasuk harta yang dilindungi. Pencurinya dapat dihukum potong tangan, baik dia hanya mencuri harta maupun sekaligus dengan hewannya.
Ukuran jenis penjagaan menurut aturan yang berlaku umum dikembalikan ke sesuatu yang dikenal oleh banyak orang sebagai tempat penjagaan harta. Dengan demikian, jika sesuatu yang dikenal secara lazim sebagai tempat penjagaan harta, maka tangan pencuri tempat tersebut harus dipotong.
Begitu pula sebaliknya. Tempat yang lazimnya tidak dikenal sebagai tempat penjagaan harta maka tangan pencuri tempat tersebut tidak boleh dipotong. Sebab syara’ telah menunjukkan agar mempertimbangkan tempat penjagaan harta, sementara hal ini tidak memiliki batasan yang pasti dari sudut pandang syara’. Masalah ini harus dikembalikan ke peraturan yang berlaku umum seperti halnya serah terima barang, perpisahan dalam akad jual beli, dan ihya al-mawat.
Berdasarkan pertimbangan keterangan tersebut, jika seseorang mencuri barang berharga sejenis emas, perak, kain sutra, dan ulat sutra dari beberapa kamar yang mendapat penjagaan dan rumah kukuh yang berdekatan dengan hunian yang ramai, dan rumah itu mempunyai banyak belenggu atau pengancing pintu, maka tangannya wajib dipotong. Tetapi jika rumah itu tidak memiliki banyak belenggu atau di dalam rumah ada seorang pengawal yang sedang tidur, maka tangan pencuri tidak harus dipotong. Sebab, tempat penyimpanan tidak dijaga. Ketentuan ini hanya berlaku bagi rumah-rumah yang berada di padang sahara.
Begitu juga pencurian yang terjadi di pertokoan. Jika tempat pertokoan di pasar, farmasi, dan gudang penyimpanan harta mempunyai banyak kunci dan pengamanannya tampak terlihat, maka tangan pencurinya harus dipotong. Sebab, tempat itu merupakan tempat untuk menjaga sejenis barang tersebut. Akan tetapi, jika penanganan keamanannya sangat lemah dan di sana tidak ditemukan seorang penjaga harta, maka tangan pencurinya tidak dapat dihukum potong karena barang itu tidak dijaga.
Apabila seseorang mencuri pintu rumah atau pintu toko, tangannya harus dipotong. Sebab, penjagaan dilakukan dengan cara memasangnya. Demikian juga tangannya harus dipotong jika seseorang mencuri lubang kunci pintu yang terpaku di pintu. Tangannya harus dipotong karena lubang kunci itu mendapat penjagaan dengan cara memakunya di pintu. Status batu bata pagar tembok keliling hukumnya sama seperti lubang kunci tersebut.
Jika seseorang mencuri makanan atau tepung yang tersimpan di dalam beberapa karung yang sebagiannya terikat dengan sebagian yang lain di tempat penjualan, maka tangannya harus dipotong. Sama seperti makanan ialah kayu bakar sebagiannya terikat dengan sebagian yang lain. Sebagian kayu bakar itu tidak mungkin terlepas, kecuali dengan melepas tali pengikatnya. Begitu juga dengan kayu yang cukup berat yang diletakkan di depan pintu rumah. Sebab, kayu semacam ini biasanya dibiarkan tersimpan di depan pintu.
Sama halnya dengan kasus di atas, tindak pencurian harta benda dari pemiliknya, sementara si pemilik melihat hal tersebut, lalu seorang pencuri memperdayainya, lalu hartanya dicuri, maka tangan pencurinya harus dihukum potong. Sebab, dia mencuri dari tempat penyimpanannya yang terjaga. Jika pemilik harta tertidur dan dia tidak mempedulikan hartanya, lalu harta itu dicuri, maka tangan pencurinya tidak harus dihukum potong. Sebab, dia mencuri dari tempat penyimpanan yang tidak terjaga.
Apabila seseorang mencuri beberapa potong pakaian yang tergantung di tempat pemandian, sementara penjaga pemandian tidak diperintahkan agar menjaganya, maka penjaga pemandian tidak harus membayar ganti rugi. Sebab, dia tidak berkewajiban menjaganya. Pencurinya tidak harus dihukum potong tangan karena dia mencuri dari tempat penyimpanan yang tidak terjaga.
•    Pencurian Hewan Temak
Pencurian hewan ternak saat digembalakan. Jika penggembala selalu mengawasi gembalaannya, dan suaranya dapat terdengar, maka pencurinya harus dihukum potong tangan. Sebab, hewan ternak dalam penjagaan yang melibatkan orang lain.
Apabila seseorang mencuri hewan ternak pada saat penggembala tertidur, atau mencuri ternak yang luput dari pandangan penggembala karena terhalang sesuatu, maka pencurinya tidak boleh dihukum potong tangan. Sebab, penjagaan hewan ternak tidak dengan cara melindungi atau mengawalnya, dan hewan yang tidak terlihat oleh penggembala bukan hewan yang dijaga.
Apabila unta beriringan dengan seorang penuntun yang selalu menengok ke belakang untuk melihatnya, dan suara penggembala dapat terdengar oleh unta itu, maka pencurinya harus dihukum potong tangan. Sebab, unta-unta itu dijaga oleh seorang penuntun. Jika tidak demikian, pencurinya tidak boleh dihukum potong tangan karena dia mencuri dari tempat penyimpanan yang tidak terjaga.
•    Mengeluarkan Harta Benda dari Tempat Penyimpanan
Hukuman potong tangan tidak wajib diberlakukan, kecuali jika seseorang mengeluarkan harta benda orang lain dari tempat penyimpanannya. Misalnya dia melempar harta tersebut ke luar, atau membobol tempat penyimpanan harta, dan menjulurkan tangan ataupun alat pengait agar dapat mengeluarkan harta tersebut.
Orang yang masuk ke tempat penyimpanan harta orang lain dan mengambil harta yang terdapat didalamnya serta memberikan harta tersebut kepada orang lain di luar tempat penyimpanannya, maka tangannya harus dihukum potong. Sebab, dia orang yang bertindak langsung mengeluarkan harta tersebut.
Dua orang yang terlibat dalam mengeluarkan senisab harta saja, misalnya masing-masing dari mereka mengeluarkan sebagian harta, maka tangan masing-masing dari mereka berdua tidak boleh dipotong.
•    Perampas atau Pencopet
Penyobek saku orang lain hingga harta orang tersebut jatuh dari sakunya, atau melubangi tempat penyimpanan makanan hingga makanannya tumpah, maka tangannya harus dipotong. Sebab, harta itu jatuh akibat perbuatannya.
Apabila di dalam tempat penyimpanan harta terdapat air yang mengalir, lalu pencuri menuangkan harta di atas aliran air hingga terbawa ke luar dari tempat penyimpanan harta, maka tangan pencurinya harus dihukum potong. Sebab, karena perbuatannya harta itu keluar dari tempat penyimpanannya.
Begitu juga jika pencuri menaruh harta di atas air yang tenang, lalu dia menggerak-gerakkan air tersebut hingga harta itu keluar dari tempat penyimpanannya, tangannya harus dipotong karena alasan yang telah disebutkan.
Apabila seseorang meletakkan harta di sebuah lubang, dan pada saat itu angin bertiup kencang hingga menerbangkan harta itu keluar dari tempat penyimpanannya, maka tangannya harus dihukum potong, seperti kasus menaruh harta di air yang mengalir.
Orang yang menaruh harta orang lain di atas punggung keledai, lalu dia menuntun atau menggiringnya sampai harta tersebut keluar dari tempat penyimpanannya, maka tangannya harus dihukum potong. Sebab, harta itu keluar disebabkan perbuatannya.
Orang yang melubangi tempat penyimpanan harta orang lain lalu menyuruh anak kecil yang belum tamyiz agar mengeluarkan harta itu dari tempat penyimpanannya, dan anak kecil itu berhasil, maka tangan penyuruh harus dihukum potong. Sebab, seorang anak kecil seperti sebuah alat mencuri.
Namun, hukuman potong tangan tidak diberlakukan apabila pencuri menghabiskan harta orang di dalam tempat penyimpanan dengan cara memakan, menelan, atau membakarnya.
Apabila seseorang berkali-kali mengambil pewangi di tempat penyimpanannya, namun jika diakumulasi pewangi itu tidak mencapai kadar satu nisab, maka tangannya tidak boleh dihukum potong. Sebab, dia menghabiskan pewangi di dalam tempat penyimpanan.
•    Harta Benda yang Terpisah dari Tempat Penyimpanan
Hukuman potong tangan tidak harus diberlakukan sampai harta benar-benar terpisah dari tempat penyimpanannya. Dengan demikian, apabila seseorang mencuri suatu barang seperti batang kayu pohon kurma atau serban, dan dia belum beranjak dari tempat penyimpanan, maka tangannya tidak boleh dihukum potong. Sebab, sebagian harta belum terpisah dari sebagian harta lainnya.
•    Ikut Andil Mengeluarkan Harta
Apabila ada dua orang melubangi tempat penyimpanan harta orang lain, orang pertama mengambil harta dan meletakkannya pada pintu masuk, lalu orang kedua mengambil harta tersebut, maka hanya tangan orang kedualah yang harus dipotong. Sebab, dialah pencurinya.
Contoh serupa, apabila orang pertama melubangi tempat penyimpanan harta orang lain dan memindahkannya di dekat pintu keluar, lalu orang kedua masuk dan mengeluarkan harta, maka keduanya tidak bisa dihukum potong tangan. Sebab, pembuat lubang tidak mencuri, dan pengambil harta tidak mengambilnya dari tempat penyimpanan. Namun, orang pertama harus mengganti dinding tembok, dan orang kedua harus mengganti harta yang diambilnya.
•    Pencurian Susu dari Kandang Ternak
Pencuri yang masuk ke dalam kandang ternak kambing orang lain, lalu dia memerah susu kambing seukuran satu nisab, lalu membawa keluar susu tersebut, maka tangannya harus dipotong. Sebab, kambing beserta susunya tersimpan di satu tempat penyimpanan.
•    Pencurian Harta dari Sebuah Rumah yang Terdapat Ruang Tengah
Ada rumah berkamar dan berpenghuni banyak. Pencuri yang masuk dan mengambil harta dari sebuah kamar, atau dia mengeluarkan harta itu ke ruangan tengah rumah, maka tangannya harus dipotong. Sebab, dia mencoba mengeluarkan harta dari tempat penyimpanannya.
Apabila pintu rumah terkunci, dan di dalamnya terdapat sebuah kamar penyimpanan harta yang pintunya terbuka, lalu pencuri berhasil mengeluarkan harta itu dari kamar tersebut ke ruangan tengah, maka tangannya tidak boleh dipotong. Sebab, harta dalam kamar telah terisolasi oleh pintu rumah. Apabila sebaliknya, yaitu pintu rumah terbuka dan pintu kamar terkunci, maka tangan pencurinya harus dipotong karena harta tersimpan di dalam kamar, bukan di dalam rumah. Apabila pintu kamar dan pintu rumah sama-sama terbuka, maka tangan pencurinya tidak boleh dipotong karena harta tidak terjaga.
•    Hal-Hal yang Dapat dan Tidak Dapat Mencegah Hukuman Potong Tangan, dan Kriteria Tempat Penyimpanan Harta
Pemilik persewaan atau peminjaman kamar yang mencuri harta penyewa atau peminjam di dalam kamar yang disewakan atau dipinjamkannya sendiri, maka tangannya harus dipotong.
Tangan orang yang mengambil hartanya sendiri dari tempat penyimpanan harta karena dighashab oleh pengghashab tidak boleh dipotong karena dia berhak mengambil paksa. Dengan demikian, harta itu bukan sesuatu yang harus dilindungi dari pencurian oleh pemiliknya sendiri. Pemilik harta tidak termasuk orang yang berbuat kejahatan. Rasulullah saw bersabda, “Keringat orang yang zhalim tidak mempunyai hak apa pun.”
Menurut pendapat yang ashah, begitu juga tangan seseorang yang bukan pemilik harta tidak boleh dipotong karena mencuri dari tempat penyimpanan barang hasil ghashab. Sebab, tempat menyimpan harta bagian dari hak guna pakai, dan pengghashab tidak berhak menggunakan fasilitas tersebut.
Apabila pengghashab harta atau pencurinya menyimpan harta itu di sebuah tempat penyimpanan, lalu pemilik harta itu mencuri harta milik pengghashab dari tempat penyimpanan, atau ada orang lain yang mencuri harta milik pengghashab atau harta milik orang yang hartanya dicuri pengghashab, maka menurut pendapat yang ashah, hukuman potong tangan tidak diberlakukan kepada salah seorang dari mereka.
Seorang pemilik harta tidak dihukum potong tangan karena dia berhak masuk ke tempat penyimpanan dan merusaknya untuk mengambil harta miliknya.
Menurut pendapat yang ashah, pencuri yang membobol dinding pada malam hari, namun tidak mencuri harta, lalu dia kembali pada malam berikutnya dan jadi mencuri harta, maka tangannya harus dipotong. Hal tersebut meski pemilik tidak mengetahui adanya pembobolan dinding, dan lubang itu tidak dapat dikenali oleh para pengguna jalan karena lubang itu tak terlihat oleh mereka.
Namun, jika pemilik mengetahui adanya pembobolan dinding tersebut atau lubang itu tidak samar bagi para pengguna jalan, maka pencuri itu tidak boleh dihukum potong tangan. Sebab, dia mengambilnya dari tempat yang tidak terjaga. Dengan begitu, kasus tersebut menjadi seperti kasus harta yang dicuri oleh orang selain dia.
Apabila orang pertama membobol dinding tembok lalu saat itu juga orang kedua mengeluarkan harta melewati lubang, maka kedua orang tersebut tidak bisa dihukum potong tangan. Sebab, pembobol tidak mencuri harta dan pengambil harta mengambilnya bukan dari tempat yang terproteksi.
Apabila ada dua orang saling membantu dalam membobol dinding, seorang pembobol meletakkan harta di dekat lubang dinding, sedangkan seorang lainnya mengeluarkan harta itu. Maka, yang dipotong tangannya adalah orang yang mengeluarkan harta itu.
Apabila salah seorang dari mereka meletakkan harta itu di tengah-tengah lubang yang dibuatnya, lalu orang ketiga yang berada di luar mengambilnya, dan nilai harta itu mencapai dua nisab, maka menurut pendapat yang azhar, mereka tidak dapat dihukum potong tangan. Sebab, masing-masing dari mereka tidak mengeluarkan harta dari tempat penyimpanan harta yang aman , yaitu dinding tembok.
Apabila seseorang melemparkan harta keluar tempat penyimpanan, lalu dia menaruhnya di dalam air yang mengalir, atau di atas punggung hewan yang sedang berjalan, atau dia membiarkan harta tertiup angin lalu angin mengeluarkannya dari tempat penyimpanan, maka dalam semua contoh kasus tersebut pelakunya harus dihukum potong tangan. Sebab, perbuatan tersebut dinisbahkan kepadanya.
Apabila pencuri meletakkan harta curian di atas punggung hewan yang sedang berhenti, lalu hewan itu berjalan keluar dari tempat penyimpanan, maka menurut pendapat yang ashah, hukuman potong tangan tidak diberlakukan. Sebab, hewanlah yang mengeluarkan harta dari penyimpanannya.
Apabila pencuri memindahkan harta curian dari sebagian sudut kamar ke sudut lain kamar tersebut, maka dia tidak boleh dihukum potong tangan. Tetapi, jika dia memindahkan harta dari kamar yang terkunci ke ruangan tengah yang pintunya terbuka, meskipun dia tidak mengeluarkan harta itu dari rumah tersebut, maka dia harus dihukum potong tangan. Sebab, dia telah mencoba mengeluarkan harta dari tempat penyimpanannya dan menempatkannya di tempat yang membuat harta terbengkalai. Jika tidak demikian, maka dia tidak boleh dihukum potong tangan.
Permasalahan ini mencakup tiga peristiwa. Pertama, pintu kamar dalam keadaan terbuka dan pintu rumah terkunci. Kedua, kedua pintu itu dalam keadaan terkunci, dan pelataran rumah semuanya menjadi tempat penyimpanan harta yang dikeluarkan. Ketiga, kedua pintu itu dalam keadaan terbuka dan tidak ada seorang penjaga.
Menurut pendapat yang ashah, kamar yang rusak, markas tentara, dan ruang tengah kamar sama seperti kamar dan ruangan tengah rumah.
•    Ketetapan Hukum Tindak Pidana Pencurian
Tindak pencurian yang mengakibatkan diberlakukannya hukuman potong tangan ditetapkan berdasarkan pengakuan pencuri, atau kesaksian dua orang laki-laki. Sama seperti sanksi hukum lainnya, kecuali tindak pidana perzinaan. Sebab, tindak perzinaan ditetapkan secara khusus berdasarkan kesaksian yang lebih banyak dari itu.
Apabila seorang laki-laki dan dua orang perempuan memberikan kesaksian tindak pidana pencurian, atau penggugat mampu menghadirkan seorang saksi terkait tindak pidana pencurian, dan dia bersumpah bersama dengan saksi, maka dia berhak mendapatkan harta yang dicuri dan hukuman potong tangan tidak diberlakukan kepada pencurinya.
Saksi harus menyebutkan beberapa kriteria tindak pencurian yang mengakibatkan hukuman potong tangan, dengan menunjuk pencuri secara langsung (jika hadir), atau menyebutkan nama dan nasab si pencuri (bin fulan), untuk menghidari kesamaran pencuri (jika si pencuri tidak hadir).
Saksi juga harus menjelaskan pihak yang dirugikan akibat pencurian, dan harta itu dicuri dari tempat penyimpanan dengan memastikan tempat kejadiannya, atau menyebutkan ciri-cirinya dan lain sebagainya. Jadi, kesaksian secara mutlak belumlah dianggap cukup, karena suatu perbuatan yang disangkakan kepada seseorang bukan sebagai tindak pencurian dianggap tindak pencurian. Para ulama mempunyai ragam pendapat yang mengakibatkan hukuman potong tangan harus diberlakukan.
Jika situasinya demikian, apabila kedua saksi memberikan kesaksian yang berbeda dalam masalah waktu terjadinya pencurian. Contohnya seorang saksi mengatakan dia mencuri pada pagi hari, sementara saksi lain mengatakan sore hari, maka kesaksian itu menjadi batal karena suara saksi tidak bulat dan berbeda.
•    Ganti Rugi Harta yang Dicuri
Seorang pencuri wajib mengembalikan harta yang dicurinya jika harta itu masih ada pada dirinya. Hal ini sesuai dengan hadits Abu Dawud, “Pemilik tangan (pencuri) harus menanggung sesuatu yang diambilnya sampai dia memberikannya kembali.”
Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa jika tangan seorang pencuri telah dipotong, maka dia tidak wajib membayar ganti rugi barang curian.
Jika dia telah membayar ganti rugi kepada pemilik barang, maka tangannya tidak boleh dipotong. Imam Malik mengatakan bahwa jika pencuri adalah orang kaya, dia harus mengganti.
Sedangkan ulama Syafi’iyah berdalil bahwa hukuman potong tangan wajib diberlakukan untuk memenuhi hak Allah, sementara ganti rugi guna memenuhi hak individu seseorang. Dengan demikian, salah satu dari kedua hak tersebut tidak menghalangi pemenuhan hak lainnya. Kemiskinan tidak dapat menggugurkan harta dari kepemilikan orang lain sehingga pencuri tetap harus mengganti barang curian yang telah rusak di tangannya.
•    Ketentuan Hukum dan Tempat Pemotongan Tangan
Menurut ijma’ ulama, tangan pertama yang harus dipotong adalah sebelah kanan, meskipun dia orang melarat. Dalam al-Mu’jam athThabarani disebutkan bahwa seorang pencuri pernah dihadirkan di hadapan Nabi. Lalu beliau memotong tangan kanannya. Begitu juga dengan kebijakan Khulafaur Rasyidin. Allah SWT berfirman, “… potonglah tangan keduanya …” (QS. al-Ma’idah [5]: 38). Dalam qira’at yang syadz disebutkan, “…potonglah tangan kanan keduanya.…”
Pemotongan dimulai dari pergelangan tangan, sesuai hadits yang diceritakan dari Abu Bakar dan Umar ra. Mereka pernah berkata, “Ketika seorang pencuri telah terbukti mencuri maka potonglah tangan kanannya mulai dari tulang pergelangan.” Sebab, penyiksaan dengan kekerasan itu berkenaan dengan tangan, sedangkan sesuatu yang melebihi tulang hasta hanyalah faktor penyerta.
Oleh karena itu, dalam masalah ini terdapat kewajiban membayar diyat. Pemotongan anggota yang melebihi ketentuan di atas wajib dikenai diyat hukumah yang adil yakni memberikan sejumlah kompensasi yang ditentukan oleh orang yang ahli di bidangnya.
Kaki pencuri dipotong mulai dari pergelangan kaki, sesuai dengan hadits yang diceritakan dari Umar ra, “Beliau memotong kaki mulai dari pergelangan kaki. Dalam kasus pemotongan kaki ada kewajiban membayar diyat sehingga memotong kaki itu hukumnya wajib.
Apabila pencuri tidak mempunyai tangan kanan, maka kaki kiri yang dipotong. Apabila pencuri mempunyai tangan yang jari-jarinya tidak lengkap, maka tangan itu yang harus dipotong karena tangan semacam ini masih bisa disebut tangan. Menurut pendapat yang rajih, apabila yang tersisa hanya telapak tangannya saja tetap harus dipotong karena bagian organ tubuh yang terkena wajib potong masih tersisa. Sebagaimana ketika yang tersisa dari tangan itu berupa ujung jari-jari (apabila dia memiliki tangan yang lumpuh), tangan itu harus dipotong ketika urat-uratnya tersumbat.
•    Pengalungan dan Pembebatan (Tangan yang Dipotong)
Apabila tangan sudah dipotong, disunahkan agar mengalungkan potongan tangan tersebut di leher pencuri selama satu jam. Sesuai dengan hadits riwayat Fudhalah bin ‘Ubaid, dia berkata, “Seorang pencuri dihadapkan kepada Nabi, lalu beliau menyuruh memotong tangannya. Kemudian tangan pencuri itu pun dipotong lantas Nabi menyuruh mengalungkan tangan yang dipotong itu di lehernya. Hal itu dapat menanamkan efek jera bagi semua orang.
Luka bekas pemotongan tangan hendaknya dibebat agar darah tersumbat. Hasm ialah mencelupkan bekas luka pemotongan tangan ke dalam minyak zaitun yang mendidih agar otot-otot menjadi tersumbat dan pendarahan berhenti. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra bahwasanya seorang pencuri dihadapkan kepada Nabi saw , lalu beliau bersabda, “Bawalah dia pergi lalu potonglah tangannya, kemudian sumbatlah tempat pemotongan tangannya, kemudian hadapkanlah dia kepadaku.” Kemudian tangannya dipotong lalu dihadapkan kepada beliau, lalu beliau bersabda, “Bertaubatlah kepada Allah,” lalu si pencuri berkata, “Saya bertaubat kepada Allah SWT,” lalu beliau berdoa, “Semoga Allah menerima taubatmu.”
•    Salah Memotong Tangan
Apabila seorang pencuri wajib dipotong tangan kanannya, tiba-tiba dia menjulurkan tangan kirinya, lalu eksekutor meyakini bahwa tangan itu ialah tangan kanan, atau meyakini bahwa pemotongan tangan kiri itu cukup sebagai pengganti tangan kanan, lalu seorang eksekutor memotongnya, menurut pendapat yang rajih, pemotongan tangan kiri itu dianggap cukup sebagai pengganti pemotongan tangan kanan. Sebab, hak dalam hadd pencurian ialah milik Allah SWT. Hak Allah SWT itu ditegakkan atas dasar peringanan hukuman sehingga dalam masalah semacam ini tangan kiri dapat mengganti posisi tangan kanan.
•    Pembayaran Kompensasi Barang yang Dicuri
Ketika barang curian rusak di tangan pencuri, maka dia harus menanggungnya dengan mengganti barang serupa dan dihukum potong tangan. Salah satu dari kedua perkara tersebut tidak menghalangi yang lainnya. Sebab, membayar sejumlah kompensasi merupakan hak yang wajib dibayarkan kepada seseorang. Sementara itu, hukuman potong tangan merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan karena melanggar hak Allah SWT sehingga salah satu dari kedua tuntutan itu tidak menghalangi adanya tuntutan lainnya. Seperti halnya diat dan kafarat yang mana masing-masing dari keduanya wajib dilaksanakan.
•    Faktor Penggugur Hadd Pencurian
Hadd pencurian menjadi gugur akibat faktor-faktor seperti di bawah ini.
Pertama, pencuri mencabut pengakuannya, namun dia berkewajiban menanggung harta yang dicuri.
Kedua, korban pencurian mengaku bahwa pencuri telah berbohong dalam pengakuannya terkait tindak pecurian, atau mengaku bahwa saksinya telah berbohong. Misalnya dia berkata, “Para saksi saya telah memberi kesaksian palsu.”
Ketiga, pengembalian barang curian oleh pencuri kepada pemiliknya sebelum perkara pencurian dilaporkan ke pengadilan.
Keempat, harta yang dicuri telah menjadi hak milik pencuri (dengan cara hibah, sedekah, dan sebagainya dari korban) sebelum perkara pencurian dilaporkan ke pengadilan. Namun, ketika perkara pencurian telah dilaporkan ke pengadilan, maka hukuman potong tangan tidak menjadi gugur.
Hal ini sesuai dengan hadits bahwa Nabi saw memerintahkan agar menindak pencuri selendang Shafwan dengan memotong tangannya. Lalu Shafwan berkata, “Sesungguhnya saya tidak menghendaki hal ini terjadi. Selendang itu saya sedekahkan kepadanya. “ Lalu Rasulullah saw bersabda, “Kenapa tidak kamu lakukan hal tersebut sebelum kamu datang mengadukan hal ini kepadaku.”
•    Pengampunan Pencuri dari Hukuman
Ampunan dan dispensasi hukuman atas hadd pencurian tidak dapat dilakukan ketika telah diputuskan oleh hakim. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, dia berkata, “Seorang pencuri yang telah terbukti mencuri dihadapkan kepada Rasulullah. Lalu beliau menyuruh menghukumnya. Kemudian dia dihukum potong tangan. Setelah itu beliau ditanya, ‘Wahai utusan Allah, kami tidak menduga engkau dapat menindak orang ini dengan hukuman potong tangan.’ Lalu beliau bersabda, ‘Andaikan Fathimah binti Muhammad melakukan tindakan seperti itu, pasti aku tegakkan hukuman itu kepadanya.’”
‘Urwah bin az-Zubair meriwayatkan hadits, dia berkata, “Az-Zubair pernah membantu meringankan hukuman seorang pencuri, lalu disampaikan kepadanya hingga perkara itu sampai ke tangan sultan. Dia berkata, “Ketika perkara itu sampai ke tangan sultan, Allah melaknat orang yang membantu meringankan dan orang yang diberi keringanan hukuman.” Sebab, hadd itu untuk memenuhi hak Allah sehingga dalam hal ini seseorang tidak diperbolehkan memberi ampunan dan membantu meringankan hukuman.”
D. Hadd Kebanditan [Hirabah] atau Pembegalan [Qathu Ath-Thariq]
1. Definisi dan Landasan Hukum Pensyariatan Kebanditan atau Pembegalan
Kebanditan (hirabah) adalah delik kejahatan terhadap harta benda atau nyawa, atau meneror dan menebar ancaman dengan cara yang sulit meski telah meminta bantuan pemerintahan dan lain sebagainya.
Pembegalan (qath’u ath-tahriq) adalah tindak merampas harta, membunuh, atau menakut-nakuti dengan paksaan dan mengandalkan kekuatan. Kedua hal tersebut (kebanditan dan pembegalan) mempunyai makna yang hampir sama.
Para pelaku tindak pidana semacam ini disebut pembegal (qaththa’u athatahriq) karena tindakan mereka yang menghentikan dan meneror banyak orang yang melintasi jalan tersebut.
Tindak kriminal semacam ini hukumnya haram dan termasuk dosa besar. Dengan demikian, tindak pidana semacam ini harus dijatuhi hukuman. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, “Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya serta membuat kerusakan di bumi hanyalah dibunuh, disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat adzab yang besar. Kecuali orang-orang yang bertaubat sebelum kalian dapat menguasai mereka; maka ketahuilah, bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang,” (QS. al-Ma’idah [5]: 33-34).
Mayoritas ulama mengatakan ayat tersebut diturunkan berhubungan dengan pembegal, bukan dalam masalah kafarat, sesuai dengan firman Allah SWT , “Kecuali orang-orang yang bertaubat sebelum kalian dapat menguasai mereka; maka ketahuilah, bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang,” (QS. al-Ma’idah [ 5]: 34).
Sebab, makna taubat dalam ayat ini ialah taubat dari tindak pidana pembegalan. Apabila makna yang dikehendaki ayat adalah orang-orang kafir, niscaya taubat mereka dengan cara masuk Islam, dan islam itu dapat mencegah mereka menerima hukuman sebelum mereka mampu melaksanakan tanggung jawab hukum dan setelahnya.
Al-Mawardi mengatakan, “Karena Allah telah menjelaskan peraturan hukum yang berkaitan dengan Ahli Kitab, golongan orang murtad, dan sekelompok kafir musuh di selain ayat tersebut.” Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa ayat tersebut diperuntukkan bagi selain mereka.
Dalam Sunan Abi Dawud disebutkan, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan kaum ‘Uraniyyin, bagian kabilah ‘Urainah. Nabi saw pernah mengirimkan unta sekaligus penggembalanya agar mereka meminum susu unta tersebut dan air kencingnya karena penyakit demam yang menimpa mereka di Madinah. Tiba-tiba mereka membunuh para penggembala unta tersebut, mencukil mata mereka dengan besi yang dipanaskan, serta menggiring unta itu sambil melarikan diri dengan membawa unta kiriman Nabi. Lalu ayat tersebut diturunkan untuk menjelaskan tentang hukuman yang sepadan bagi mereka dengan kejahatan yang tidak dapat dibenarkan.
2. Kualifikasi Pembegal yang Dapat Dijatuhi Hadd
Pembegal adalah setiap orang muslim, murtad, atau kafir dzimmi, mempunyai tanggung jawab hukum, mukallaf (baligh serta berakal), inisiatif sendiri, mempunyai syaukah yakni kekuatan dan kekuasaan yang mampu mengalahkan orang lain dengan hal tersebut.
Dengan demikian, setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, sadar atau mabuk, dengan atau tanpa senjata tajam, dengan kekuatan sendiri yang meneror hingga mengancam keselamatan nyawa atau harta benda pengguna jalan di perkotaan atau di padang sahara, dia dianggap pembegal.
Hadd kebanditan tidak dapat diberlakukan terhadap pelaku yang masih kanak-kanak, orang gila, orang yang dipaksa atau orang lemah yang tidak mempunyai kekuatan. Hanya saja dia harus ditakzir. Seseorang yang kekuasaan tergantung kepada meminta bantuan orang lain tidak dianggap sebagai pembegal.
3. Ketentuan Hukum Pembegalan
Hukuman bagi sebagian anggota pembegal bersenjata tajam yang hanya meneror pengguna jalan, tidak merampas harta benda dan tidak menghilangkan nyawa adalah ditakzir dan dipenjara. Sebab, mereka telah mencoba melakukan tindakan maksiat, yaitu kebanditan. Dalam kemaksiatan semacam ini tidak ada hukuman yang wajib diberlakukan dan tidak ada kewajiban membayar kafarat.
Inilah makna pengasingan (an-nafi) dalam ayat al-Qur’an yang mulia. Jenis takziran diserahkan kepada imam. Kebijakan semacam ini merupakan cara yang paling tepat untuk menetralisir tindak kejahatan, meskipun dalam ayat di atas disebutkan pada urutan terakhir.
Perbedaan sanksi hukum yang diterapkan terhadap pembegal disesuaikan dengan tingkat kejahatan yang mereka perbuat. Perlu diketahui, hadd pembegalan ada empat golongan, disesuaikan dengan keterangan ayat tentang hadd kebanditan.
Golongan tingkat pertama. Apabila mereka hanya merampas harta benda kira-kira banyaknya satu nisab, seperti pada tindak pencurian, dan tidak melakukan pembunuhan terhadap seseorang. Maka, tangan dan kaki mereka harus dipotong secara silang. Dengan demikian, apabila tangan kanan orang yang terhukum potong telah terpenggal, maka kaki kirinya yang dipotong, secara silang. Jika dia mengulangi kejahatan serupa, tangan kiri dan kaki kanan yang dipotong sekaligus atau berturut-turut, karena hadd tersebut masih satu paket. Hal ini sesuai firman Allah SWT, “… atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang …” (QS. Al Ma’idah [5]: 33).
Tangan kanan harus dipotong karena perbuatannya merampas harta, seperti hukuman yang ditetapkan dalam pencurian biasa. Kaki kiri harus dipotong karena melakukan penyerangan, atau karena merampas harta benda dan melakukannya secara terang-terangan, dengan memosisikan tindakan itu seperti pencurian yang kedua kalinya. Namun, pendapat yang lebih mendekati kebenaran mengatakan bahwa kaki kiri itu dipotong karena melakukan penyerangan.
Golongan tingkat kedua. Apabila mereka melakukan pembunuhan tanpa mengambil harta benda, mereka harus dihukum mati karena mengikuti ketentuan ayat di atas. Mengapa harus dihukum mati, padahal wali korban pembunuhan telah mengampuninya? Sebab, mereka mencoba mengintegrasikan rasa takut menggunakan jalan yang menuntut hukuman lebih berat ke dalam kejahatan mereka. Tidak ada penambahan hukuman yang lebih berat dalam kasus ini, kecuali dengan diwajibkannya hukuman mati.
Golongan tingkat ketiga. Apabila mereka melakukan pembunuhan sekaligus merampas harta benda sebanyak satu nisab atau lebih, maka mereka harus dihukum mati kemudian disalib selama tiga hari agar kondisi semacam ini terpublikasi dan sempurnanya efek jera. Kemudian jika tidak dikhawatirkan terjadi perubahan fisik, setelah tiga hari orang yang disalib diturunkan, maka biarkanlah dia tetap disalib. Jika khawatir, maka sebelum tiga hari segera diturunkan, menurut pendapat yang ashah.
Nash al-Qur’an tentang ketiga tingkatan itu diarahkan pada waktu musim dingin dan kondisi cuaca yang normal. Tujuan dari penyaliban setelah hukuman mati ialah untuk menanamkan efek jera.
Golongan tingkat keempat. Apabila mereka hanya menakut-nakuti pengguna jalan, tidak merampas harta benda dan tidak melakukan pembunuhan, mereka cukup dipenjara dan ditakzir. Inilah makna ayat, “… atau diasingkan dari tempat kediamannya …” (QS. al-Ma’idah [5]: 33).
Ketentuan takzir diputuskan berdasarkan pertimbangan imam. Artinya, hakim berhak memilih salah satu dari keempat hukuman sesuai dengan bentuk kejahatan yang dilakukan agar terpenuhi rasa keadilan. Inilah tafsir Ibnu Abbas atas ayat tersebut.
Di dalamnya dikatakan bahwa makna ayat tersebut ialah mereka dihukum mati jika melakukan pembunuhan, atau disalib dengan disertai hukuman mati apabila mereka membunuh dan merampas harta benda, atau tangan dan kaki mereka dipotong secara silang jika mereka hanya merampas harta benda, atau mereka diasingkan dari tanah kelahirannya jika mereka menebar ancaman dan tidak mengambil sesuatu apa pun.
Ibnu Abbas ra mengarahkan kata “aw” (atau) dalam ayat bermakna bermacam-macam (at-tanwi’), bukan bermakna pilihan (at-takhyir), seperti keterangan dalam firman Allah SWT, “Mereka berkata, ‘Jadilah kalian (penganut) Yahudi atau Nasrani.…’” (QS. al-Baqarah [2]: 135). Karena tidak ada seorang pun di antara mereka yang memilih antara menjadi penganut Yahudi dan Nasrani.
Mengapa penyaliban diadakan setelah hukuman mati dilaksanakan? Sebab, penyaliban sebelum hukuman mati dapat menambah siksa, padahal Rasulullah saw pernah melarang menyakiti hewan. Beliau bersabda, “Ketika kalian hendak membunuhnya maka lakukanlah cara membunuh yang terbaik.”
4. Ketentuan Hukum Pembegal dan Para Pembantunya yang Melukai atau Memotong Anggota Badan
Pembegal yang melukai atau memotong anggota badan dapat dituntut hukuman qishas. Namun, hukuman itu tidaklah wajib apabila korban memaafkan perbuatannya, dan hadd menjadi gugur.
Siapa pun yang turut membantu perbuatan pembegal harus ditakzir dengan dipenjarakan dan dibuang dari tanah kelahiran. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Siapa saja yang turut memperbanyak golongan sekelompok kaum maka dia termasuk golongan mereka.”
•    Hadd Kebanditan Hak Allah ataukah Hak Manusia?
Hadd kebanditan atau pembegalan merupakan tuntutan atas pelanggaran hak setiap orang yang di dalamnya ada indikasi hukuman qishas. Di dalamnya terdapat kumulasi hak Allah SWT dan hak setiap individu manusia, namun hak setiap orang lebih diprioritaskan. Diprioritaskannya hak individu dalam hukuman yang terdapat kumulasi hak Allah SWT dan hak individu manusia karena hak setiap individu manusia dibangun berdasarkan ruang yang sempit. Sebab, jika pembegal membunuh seseorang, wali korban pembunuhan berhak menuntut qishas. Bagaimana mungkin hak wali korban pembunuhan menjadi batal akibat pembunuhan yang dilakukannya dalam peristiwa penyerangan secara paksa?
Ruang yang sempit itu mengakibatkan orang tua pelaku penyerangan secara paksa tidak boleh dihukum mati akibat perbuatannya membunuh anaknya dalam kasus pembegalan, dan tidak boleh dihukum mati akibat perbuatannya membunuh orang kafir dzimmi, jika penyerangnya seorang muslim.
Apabila pembegal meninggal dunia bukan karena dibunuh akibat menerima hukuman qishas, dia diwajibkan membayar diyat yang dibebankan kepada harta peninggalannya dalam kasus penghilangan nyawa orang merdeka.
Apabila pembegal membunuh sekumpulan orang banyak sekaligus, dia dituntut hukuman mati akibat perbuatannya membunuh salah seorang dari mereka dengan cara diundi. Korban-korban lain yang tersisa berhak menuntut diyat seperti halnya menuntut qishas.
Pengampunan wali korban pembunuhan kepada pelaku atas tuntutan qishas berupa ganti rugi harta dapat dibenarkan. Harta itu menjadi tanggungan wajib, dan tuntutan qishas digugurkan dari dirinya. Namun, setelah itu pelaku pembunuhan harus dibunuh sebagai hadd, sebagaimana terjadi dalam kasus tuntutan qishas harus diterima oleh orang murtad lalu wali korban mengampuni orang murtad tersebut dari tuntutan qishas.
Apabila pembegal membunuh seseorang dengan menggunakan alat berat, memotong anggota badan atau tindakan selain itu, hukuman serupa harus ditimpakan kepada pembegal tersebut karena untuk mengunggulkan qishas.
Menurut pendapat yang azhar, apabila pembegal melukai seseorang dengan luka yang dapat menyeretnya dituntut hukuman qishas, misalnya memotong tangan, lalu luka mulai sembuh, maka dia tidak wajib menerima hukuman qishas. Keputusan hukuman diserahkan kepada korban antara memilih qishas atau memberi pengampunan. Sebab, dalam ayat-Nya, Allah SWT tidak menyebutkan ketentuan hukum tentang perbuatan melukai. Dengan demikian, ketentuan hukum perbuatan melukai ditetapkan sesuai dengan aslinya di selain kasus penyerangan secara paksa.
5. Hadd Gugur Karena Taubat
Hadd ada yang gugur karena pertaubatan sebelum perkaranya sampai kepada hakim, tetapi ada pula yang tidak gugur.
a. Hadd yang Gugur karena Pertaubatan
ialah hukuman karena menyerang secara paksa atau membegal. Hal ini berdasarkan nash al-Qur’an yang menjelaskan tentang perbuatan penyerangan secara paksa yaitu, “Kecuali orang-orang yang bertaubat sebelum kalian dapat menguasai mereka; maka ketahuilah, bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang,” (QS. al-Ma’idah [5]: 34). Ayat ini sangat jelas menggugurkan hukuman mereka yang menyerang secara paksa tanpa harus dihukum mati, disalib, dipotong tangannya, dan dipotong kakinya.
Hukuman yang disebutkan terakhir itu ialah satu paket hukuman yang dikhususkan kepada pembegal. Dengan demikian, ketika sebagian hukuman telah digugurkan maka semua hukuman itu menjadi gugur karena pertaubatan yang dilakukannya sebelum mampu menangkap dia. Tidak demikian setelah dia tertangkap, menurut al-madzhab, hukuman itu tidak dapat digugurkan akibat pertaubatan dari perbuatan tersebut, sesuai dengan makna yang tersirat dari ayat di atas. Jika tidak demikian maka takhshish dengan kata “… sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka …” tidak ada faedahnya.
Perbedaan dari sudut pandang makna yang diinginkan ialah bahwa penghapusan hukuman pascapenangkapan pelaku dicurigai menghalangi proses pemberlakuan hukuman hadd. Berbeda dengan masalah sebelum pelaku tertangkap karena taubat yang dilakukannya jauh dari kecurigaan semacam itu, (tetapi) lebih mendekatkan ke arah yang sebenarnya terjadi.
b. Hadd yang Tidak Dapat Digugurkan Karena Pertaubatan
Ialah tuntutan hadd lain yang diberlakukan secara khusus karena melanggar hak Allah SWT Menurut pendapat yang azhar, hadd ini meliputi hadd tindak pidana perzinaan, pencurian, dan meminum khamr. Pernyataan ini merupakan pendapat jumhur ulama non pengikut Madzhab Hanbali. Sebab, pada saat Ma’iz datang menemui Nabi saw dan mengaku telah berbuat zina, beliau langsung menjatuhkan hadd kepadanya. Tidak diragukan lagi bahwa dia tidak datang menemui beliau, kecuali dia dalam keadaan telah bertaubat. Oleh karena itu, ketika Rasulullah menjatuhkan hukuman hadd zina kepada Ma’iz, menunjukkan bahwa pengguguran hadd hanya berlaku dalam peristiwa penyerangan secara paksa.
Kecuali orang yang meninggalkan shalat karena malas, menurut pendapat yang shahih, dia harus dihukum mati sebagai hadd. Namun, apabila dia bertaubat, hukuman mati pasti menjadi gugur, kecuali kasus orang kafir ketika dia berbuat zina kemudian memeluk Islam. Hadd zina digugurkan dari dirinya. Begitu pula dengan orang murtad ketika dia bertaubat maka taubatnya dapat diterima, dan hukuman mati digugurkan. Sebab, ketika dia tetap murtad, maka dia harus dihukum mati karena kekufurannya, bukan karena hadd.
Letak perbedaan dalam hal penghapusan hadd dan tidak adanya penghapusan dilihat dari kedudukan hukumnya. Adapun pelanggaran hukum yang dilakukan antara seseorang dengan Allah SWT, hukuman hadd pasti dapat digugurkan, karena taubat dapat menggugurkan bekas kemaksiatan. Rasulullah saw pernah bersabda, “Taubat dapat memotong perkara sebelumnya,” dan hadits yang telah disampaikan, “Orang yang bertaubat dari perbuatan dosa, seperti orang yang tidak pernah mempunyai dosa.”
Ketika hukuman hadd telah dilaksanakan di dunia, hukuman itu tidak akan dituntut di akhirat karena ada hadits yang mengatakan, “Allah pasti meninggalkan hukuman yang kedua kalinya terhadap hamba-Nya di akhirat.”
E. Hadd Khamr dan Minuman Memabukkan lainnya
1 . Jenis, Ketentuan Hukum, dan Masa Diharamkannya Minuman yang Memabukkan (al-Asyribat)
Kata al-asyribat ialah bentuk jamak dari kata tunggal syarab. Maknanya adalah sesuatu yang diminum (masyrub). Sementara asy-syarib ialah orang yang gemar minum-minuman, sedangkan asy-syarrab ialah kumpulan pemabuk.
Jenis minuman yang diharamkan ialah segala jenis minuman yang jika diminum banyak akan memabukkan, dan jika diminum sedikit tetap diharamkan. Termasuk di dalamnya adalah rendaman kurma, anggur, gandum, jelai, jagung, dan lain sebagainya.
Sesuai dengan hadits shahih al-Bukhari dan Muslim dari riwayat Aisyah ra, Rasulullah saw pernah bersabda, “Setiap jenis minuman yang memabukkan hukumnya haram.”
An Nasa’i menceritakan hadits bersanad shahih dari riwayat Sa’ad bin Abi Waqqash ra, Nabi saw bersabda, “Aku melarang kalian meminum minuman yang dapat memabukkan (ketika diminum dalam) jumlah yang banyak, meskipun sedikit. “ At-Tirmidzi menilai shahih sanad hadits, “Minuman yang jika diminum dalam jumlah banyak dapat memabukkan, maka meminumnya sedikit juga haram.”
Mengonsumsi minuman memabukkan, seperti khamr, termasuk dosa besar. Bahkan, khamr adalah sumber dosa-dosa besar lainnya, sebagaimana pernyataan yang dikemukakan Umar dan Utsman ra.
Firman Allah SWT sebagai landasan hukum larangan mengonsumsi minuman memabukkan ialah, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kalian beruntung. Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian, dan menghalang-halangi kalian dari mengingat Allah dan melaksanakan shalat, maka tidakkah kalian mau berhenti?” (QS. al-Ma’idah [5]: 90-91 ).
Allah SWT berfirman, “Katakanlah (Muhammad), “Rabbku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa …,” (QS. al-A’raf [7]: 33). Menurut mayoritas ulama, makna kata “dosa” ialah khamr. Hal ini diperkuat oleh pernyataan seorang penyair;
Aku meminum perbuatan dosa (khamr) sampai hilang akalku
Semacam itulah perbuatan dosa (meminum khamr) menghilangkan banyak akal
Banyak hadits yang saling mengonfirmasi keharaman khamr. Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, “Rasulullah melaknat jenis minuman khamr, peminum, penyuguh, penjual, pembeli, pemakan uang hasil penjualan khamr, orang yang memeras, orang yang mengambil perasan khamr, pembawa khamr, dan khamr yang didistribusikan kepada seseorang.”
Dari Ibnu Umar ra diceritakan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “Siapa saja yang meminum khamr di dunia kemudian dia belum bertaubat, dia tidak bisa meminumnya kelak di akhirat.”
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits, Nabi saw bersabda, “Tidaklah seseorang dikatakan pezina saat dia berbuat zina sementara dia orang yang beriman, dan tidaklah seseorang peminum khamr saat dia meminumnya sementara dia orang yang beriman.”
Ath-Thabarani meriwayatkan hadits dari as-Saib bin Yazid ra, “Siapa saja yang mengonsumsi minuman yang memabukkan apa pun jenisnya, Allah tidak akan menerima shalatnya selama empat puluh hari .”
An Nu’man bin Basyir ra menceritakan, Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya khamr itu dapat diproduksi dari kurma, gandum, jelai, dan madu .…”
Ummul Mukminin Aisyah ra mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, “Jenis minuman dalam jumlah al faraq yang dapat memabukkan maka segenggam telapak tangan dari jenis minuman itu hukumnya haram. “
Secara bulat, ijma’ ulama menyatakan sepakat tentang diharamkannya khamr. Khamr diharamkan pada tahun ke-2 H pasca terjadinya Perang Uhud.
Khamr yang memabukkan diproduksi dari perasan anggur, meskipun belum mengeluarkan buih. Namun, Abu Hanifah mensyaratkan bahwa perasan anggur harus mengeluarkan buih. Dengan demikian, khamr dari perasan anggur telah menjadi ijma’ ulama.
Menurut pendapat mayoritas ulama, istilah khamr tidak digunakan untuk segala jenis perasan yang memabukkan, kecuali dalam bentuk majas. Sedangkan dalam masalah diharamkan dan diberlakukannya hadd, masing-masing dari jenis perasan itu diqiyaskan dengan khamr. Namun, orang yang menghalalkannya tidak dihukumi kafir. Berbeda dengan khamr, karena ijma’ ulama secara bulat menyatakan bahwa khamr diharamkan, tidak demikian dengan jenis perasan yang memabukkan itu. Orang yang menghalalkan khamr telah menyalahi ketetapan hukum yang mudah dimengerti, dan hal tersebut bagian dari ajaran agama Muhammad saw berlandaskan nash yang sangat jelas tentang hal tersebut di dalam al Qur’an al-Karim.
2. Hukum Ganja dan Tumbuhan Berbahaya Lainnya
Ganja, opium, kokain, morfin, heroin, dan jenis lainnya adalah haram karena hal itu termasuk tumbuhan yang berbahaya. Hal tersebut sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah ra, “Rasulullah melarang setiap perkara yang memabukkan dan melemahkan ketahanan tubuh,” (HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud).
Al-Qarafi dan Ibnu Taimiyah menceritakan bahwa ulama telah sepakat mengharamkan sejenis ganja tersebut. Orang yang mengambilnya diberi sanksi takzir dan efek jera, bukan hadd. Shalatnya seseorang tidak batal dengan membawanya karena segala jenis tanaman yang tumbuh hukumnya suci.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ganja mulai dikenal pada penghujung tahun 600 H. Pada saat Daulah Tartar berkuasa, ganja termasuk jenis tanaman yang paling diingkari dan lebih buruk dibandingkan khamr. Sebab, ganja dapat menimbulkan mabuk, merasakan over happy, dan fly karena amat senang, seperti halnya khamr, dan menghentikannya lebih sulit dibandingkan dengan minum khamr.
Selain jenis minuman, setiap perkara yang dapat menghilangkan akal -misalnya obat bius- tidak diberlakukan hadd, seperti halnya ganja. Sebab, obat bius tidak menimbulkan rasa senang, tidak menimbulkan fly, dan tidak mendorong seseorang untuk over dosis. Bahkan, dalam obat bius ini hanya diberlakukan takzir.
3. Hadd dan Syarat-Syarat Peminum (Asy-Syarib)
Asy-Syarib ialah orang yang tenggelam dalam kenikmatan minuman, baik yang diharamkan maupun tidak; keharaman minuman itu telah disepakati maupun masih diperdebatkan; baik berupa serbuk maupun cairan, telah dimasak maupun dimakan dalam kondisi mentah; baik saat mendapatkannya meyakini bahwa hal itu diharamkan maupun diperbolehkan, menurut al madzhab. Sebab, lemahnya dalil-dalil yang memperbolehkannya.
Orang muslim, baligh, berakal (mukallaf), mempunyai tanggung jawab melaksanakan hukum syariat, independen, sadar hukum, tidak ada darurat, yang mengonsumsi minuman memabukkan baik banyak maupun sedikit harus dijatuhi hadd.
Dengan demikian, orang yang tidak dapat dijatuhi hadd adalah sebagai berikut.
Pertama, non muslim, karena keyakinannya membolehkan mengonsumsi minuman memabukkan.
Kedua, kafir harbi, karena dia tidak memiliki tanggung jawab melaksanakan syariat Islam.
Ketiga, kafir dzimmi, karena tidak ada keharusan baginya untuk melaksanakan syariat, kecuali hukum muamalat.
Keempat, anak-anak.
Kelima, orang gila.
Keenam, orang yang dipaksa meminum minuman memabukkan, menurut al-madzhab. Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah, “Dosa ditiadakan dari umatku karena lalai, lupa, dan perbuatan yang dipaksakan kepada mereka untuk melakukannya.”
Pengonsumsi minuman yang tidak memabukkan, miri tetapi tidak harus dijatuhi hadd. Namun, perbuatan itu hukumnya makruh, seperti meminum minuman berbahan baku kurma tamar dan ruthab. Al-khalith ialah minuman yang diproduksi dari bahan kurma busr dan ruthab. Alasan kemakruhan itu karena proses menjadi minuman memabukkan terjadi begitu cepat disebabkan ada percampuran itu sebelum terjadi perubahan bentuk. Sehingga peminum menduga bahwa minuman itu tidak mengakibatkan mabuk, dan ternyata minuman itu memabukkan.
Orang yang tidak mengetahui bahwa minuman yang dia konsumsi ialah khamr, lalu dia meminumnya karena menduga bahwa khamr itu minuman yang tidak memabukkan, maka dia tidak harus dijatuhi hadd karena adanya udzur tersebut.
Apabila seorang peminum baru memeluk Islam, dan dia menyatakan tidak mengetahui keharaman khamr, maka dia tidak boleh dijatuhi hadd. Hadd itu tertolak akibat tuntutan hukum yang bias.
Ketentuan hukum semacam Ini berlaku bagi seseorarg yang berdomisili di luar kawasan Islam atau di perkampungan yang jauh dari jangkauan ulama.
Menurut pendapat yang dipercaya, ketentuan hukum di atas bersifat mutlak sehingga berlaku bagi setiap orang yang baru memeluk Islam, yang secara singkat mampu mempelajari hukum Islam, meskipun dia berada di kawasan Islam.
Hadd berlaku bagi pengonsumsi budurdiy khamr.” Namun, menurut pendapat yang shahih, pemakan roti yang beradonan khamr, daging yang dimasak dengan khamr, adonan yang dimasukkan ke dalam khamr tidak dapat dijatuhi hadd. Berbeda dengan meminum kuah daging yang dimasak dengan khamr, mencelupkan daging ke dalam kuah itu, atau daging dibuat bubur dengan dicampur khamr, maka dia harus dijatuhi hadd karena wujud khamr masih tersisa.
Menurut pendapat ashah, menyuntikkan khamr ke dalam lubang anus, memasukkan khamr pada hidung untuk pengobatan tidak dapat dikenai hadd. Sebab, hadd bertujuan untuk memberikan efek jera.
Menghilangkan sedak makanan dengan cara meminum khamr karena tidak ada minuman lainnya juga tidak dikenai hadd. Sebab, dia berikhtiar menyelamatkan diri dari kematian yang dalam kondisi force majeur. Berbeda dengan pengobatan berkala. Inilah keringanan hukum yang harus dilaksanakan.
Menurut pendapat yang ashah, berobat dan menghilangkan rasa haus dengan cara meminum khamr tidak diperbolehkan. Sebab, ketika Rasulullah saw dimintai tanggapan tentang berobat menggunakan khamr, beliau menjawab, “Sesungguhnya jenis minuman itu bukanlah obat, namun minuman itu ialah penyakit.”
Makna hadits di atas ialah Allah SWT telah meniadakan kegunaan khamr ketika Allah benar-benar mengharamkannya. Hal ini sesuai dengan sabda beliau saw, “Sesungguhnya Allah tidak menciptakan obat untuk kesembuhan umatku di dalam perkara yang diharamkan kepadanya.” Pernyataan itu ada kemungkinan mengarah pada khamr. Diceritakan, Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya ketika Allah mengharamkan khamr, Allah meniadakan kegunaan yang ada di dalamnya.”
Adapun penyebutan al-Qur’an bahwa dalam khamr ada nilai guna bagi manusia, “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamr dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia,’” (QS. al-Baqarah [2]: 219), hal itu sebelum khamr diharamkan. Sesuatu yang dikehendaki dengan manfaat di sini ialah manfaat dalam bidang perniagaan dengan sistem jual beli.
Khamr diharamkan untuk menghilangkan dahaga karena pada dasarnya khamr tidak menghilangkan rasa dahaga, bahkan menambah dahaga. Sebab, karakter khamr itu panas dan kering, sebagaimana disampaikan ahli kedokteran. Oleh karena itu, peminumnya sangat memerlukan air yang dingin.
Para cendekiawan mengatakan khamr dapat menyegarkan dalam waktu yang singkat kemudian menimbulkan dampak dahaga yang sangat luar biasa.
Berobat dengan obat penawar racun yang dicampur dengan khamr dan jenis minuman keras lain yang wujudnya dapat hancur dalam adonan tersebut hukumnya boleh ketika tidak dijumpai obat halal yang dapat menggantikannya.
Berobat dengan khamr hukumnya boleh guna mempercepat kesembuhan. Namun, harus berdasarkan rekomendasi dari dokter yang muslim serta adil. Atau setidaknya dia mengetahui praktik pengobatan dengan hal tersebut, jika resep yang digunakan relatif sedikit dan tidak memabukkan.
Kayu gaharu yang diolesi dengan khamr tidak boleh diperjualbelikan karena barang itu bercampur najis. Tidak ada larangan untuk menghirupnya.
Hadd peminum khamr dan segala jenis minuman memabukkan lainnya yaitu empat puluh kali deraan dengan cambuk, tangan, sandal, atau dengan ujung pakaian. Hal ini sesuai dengan hadits dalam Shahih Muslim dari Anas ra, “Nabi mendera dalam kasus khamr dengan pelepah daun kurma dan sandal sebanyak empat puluh kali deraan.”
Apabila mengonsumsi minuman memabukkan dilakukan lebih dari satu kali sebelum dijatuhi hadd, peminum cukup dijatuhi satu kali hadd. Hadits yang menunjukkan perintah menghukum mati peminum dalam perbuatan yang keempat kalinya dinasakh oleh ijma’ ulama. Menurut pendapat yang ashah, hadd boleh dijatuhkan hingga mencapai delapan puluh kali deraan sebagai bentuk takzir.
Media penghukum yang telah disebutkan sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Syaikhani, “Nabi pernah memukul dengan pelepah daun kurma dan sandal.” Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan sebuah hadits dari Abu Hurairah tab, dia berkata, “Ada orang yang mabuk didatangkan ke hadapan Nabi. Lalu beliau menyuruh memukulnya, di antara kami ada seseorang yang memukulnya dengan tangan, ada yang memukulnya dengan sandal, dan ada yang memukul dengan bajunya,” yakni dengan baju yang dipintal sehingga menjadi keras.
Dalil bahwa penambahan hukuman melebihi empat puluh deraan sebagai takzir yaitu bahwa imam berwenang mengambil keputusan terbaik dengan menjatuhkan hadd sampai delapan puluh kali deraan. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, “Umar pernah menjatuhkan hadd sebanyak delapan puluh kali deraan,” dan Ali berkata kepada Umar, “Jika dia minum maka dia mabuk. Jika dia mabuk maka dia mengigau. Jika dia mengigau maka dia membuat kebohongan, dan hadd bagi orang yang membuat kebohongan ialah delapan puluh kali deraan.”  Lalu Umar segera mengambil keputusan itu dan tidak ada seorang sahabat pun yang menyangkalnya. Dengan demikian, kebijakan tersebut berdasarkan kesepakatan para sahabat. Apabila kelebihan hukuman itu dianggap hadd, maka hal tersebut tidak boleh ditinggalkan, padahal hukuman itu boleh ditinggalkan.
Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abdurrahman bin Ja’far pernah mencambuk al-Walid di hadapan Utsman. Sementara Ali menghitungnya hingga mencapai hitungan empat puluh, tiba-tiba dia berkata, “Tahanlah!” Kemudian dia berkata, “Nabi mendera sebanyak empat puluh kali, Abu bakar sebanyak empat puluh kali, dan Umar sebanyak delapan puluh kali, semuanya ialah sunah, tetapi aku lebih menyukai yang ini.” Namun, kategori hadits ini mursal.
Apabila terhukum cambuk meninggal dunia akibat penambahan hukuman yang melebihi empat puluh kali deraan, imam harus membayar kompensasi secara adil (sesuai dengan penambahan hukuman). Dengan demikian, apabila imam memukulnya sebanyak empat puluh satu kali, tiba-tiba dia meninggal dunia akibat pukulan itu, maka imam harus membayar sebagian diyat dari keempat puluh satu bagian itu.
4. Ketetapan Hadd
Pemabuk dijatuhi hadd berdasarkan salah satu dari dua perkara, yaitu alat bukti saksi atau berdasarkan pengakuan pelaku tanpa paksaan.
Alat bukti saksi, misalnya dua orang laki-laki atau lebih yang kesaksiannya bisa diterima memberi kesaksian yang memberatkan pemabuk. Saksi cukup mengatakan, “Dia telah minum khamr.” Pengakuan pelaku cukup dengan mengatakan secara mutlak bahwa dia telah minum khamr. Kesaksian cukup dengan mengatakan, “Si fulan telah minum khamr.” Saksi tidak perlu mendeskripsikan pelaku berinisiatif sendiri atau mengetahui larangan minum khamr. Sebab, pada dasarnya tidak ada unsur pemaksaan, dan pada galibnya peminum dalam kondisi mengetahui sesuatu yang diminumnya sehingga pengakuan dan kesaksian itu telah menggantikan posisinya.
Menghirup uap khamr dalam situasi mabuk dan muntah-muntah tidak dapat dikenai hadd. Sebab, ada kemungkinan dia minum dalam kondisi lalai atau dipaksa. Hadd tertolak akibat tuntutan yang samar.
Menurut pendapat yang shahih, seorang hakim tidak boleh mengambil keputusan hukum berdasarkan pengetahuannya dalam berbagai hadd Allah SWT.
5. Pelaksanaan Hadd
Pemabuk tidak dapat dijatuhi hadd pada saat dia mabuk. Satu di antara dua cambukan hadd dipilih antara menggunakan batang kayu, tongkat yang basah, dan yang kering.
Pemukulan dengan cambuk boleh dilakukan pada semua organ tubuh secara bergantian, kecuali bagian tubuh yang sensitif kematian, wajah, dan kepala. Contohnya jantung, tulang rahang, dan organ seks. Dengan demikian, eksekutor tidak boleh mengarahkan pukulan cambuk ke anggota badan tersebut sehingga pemukulan tidak boleh terfokus di satu tempat. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan al-Baihaqi dari Ali yang pernah berkata kepada para eksekutor hukuman cambuk, “Berikanlah hak masing-masing anggota badan, hindarilah muka dan anggota badan yang menghilangkan daya ingat.”
Pergantian objek organ tubuh hukumnya wajib. Sebab, pemukulan pada satu objek organ secara bertubi-tubi dapat menimbulkan rasa sakit yang sangat luar biasa, bahkan kematian.
Eksekutor tidak boleh mengarahkan pukulan cambuk ke wajah sesuai hadits Imam Muslim, “Ketika salah seorang di antara kalian menghukum cambuk, hendaklah dia menghindari wajah.” Sebab, wajah adalah organ tempat berkumpulnya berbagai macam kecantikan sehingga bekas yang timbul pada wajah sangat luar biasa buruk.
Eksekutor hukuman cambuk tidak boleh mengangkat tangannya hingga putih kulit ketiaknya terlihat. Juga tidak boleh menurunkannya dengan sangat rendah. Dia harus mengambil posisi sedang. Dia tidak perlu menghiraukan terpidana cambuk yang berkulit tipis yang kulitnya bisa berdarah terkena cambuk.
Tangan terhukum cambuk tidak boleh diikat. Biarkan tangannya terlepas agar dia dapat menggunakannya untuk melindungi diri. Ketika dia meletakkan tangannya di satu organ, maka eksekutor mencambuk bagian tubuh lainnya.
Badan terhukum tidak boleh dalam posisi terbalik (kepala di bawah dan kaki di atas). Posisi seorang laki-laki saat dihukum cambuk, yakni sambil berdiri sedangkan perempuan sambil duduk.
Baju tipisnya yang tidak dapat menahan rasa sakit bekas pukulan dan melindungi tubuhnya tidak boleh dilepas sehingga hal tersebut tidak mengurangi efek penerapan hukuman. Pakaian yang dapat menutupi tubuh seorang perempuan dibiarkan melekat pada badannya, dan pakaiannya diikatkan pada tubuhnya.
Kaum laki-laki berwenang mencambuk terhukum laki-laki karena hukuman cambuk bukan pekerjaan perempuan. Seorang perempuan atau mahram berwenang mencambuk terhukum perempuan. Posisi mahram berada di dekatnya. Jika auratnya terbuka, dia segera menutupnya. Eksekusi dilakukan berulang-ulang hingga efek jera dan rasa takut terwujud.
Eksekusi hadd tidak dilaksanakan di dalam masjid. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh :Ibnu Abbas, “Nabi saw melarang pelaksanaan hadd di dalam masjid.” Sebab, mungkin saja darah mengalir dari kulitnya atau dia mengeluarkan hadats akibat menahan pukulan yang sangat keras sehingga masjid menjadi kotor dengan najis.
Jika hadd dilangsungkan di dalam masjid, kewajiban hadd telah gugur karena larangan itu ditujukan untuk menjaga kesucian masjid. Namun, larangan tersebut tidak mengurangi keabsahan hadd, seperti halnya shalat yang dilaksanakan di tanah hasil mengghashab.
Selain hadd pembegalan sebelum adanya penangkapan, taubat dari semua hadd termasuk minum khamr tidak dapat menggugurkan hadd .
6. Hukuman Berlapis (Gabungan Hadd)
Didalam masalah ini, termuat penjelasan sebagai berikut.
•    Kejahatan Sejenis dan Berulang-ulang sebelum Menerima Hukuman
Seseorang yang berulang kali berbuat zina sebelum menerima hukuman, maka semua perbuatannya dijatuhi hadd sebanyak satu kali hadd. Begitu juga ketika dia berulang kali mencuri atau meminum khamr.
•    Kejahatan Beragam dan Berulang-ulang selain Kasus Pembegalan
Ketika seseorang melakukan berbagai macam kejahatan yang masing-masing mempunyai hukuman yang berbeda-beda, adakalanya semua hukuman itu akibat melanggar hak Allah, melanggar hak setiap manusia, atau gabungan antara kedua hak tersebut.
Pertama, semua hukuman itu berhubungan dengan hak setiap orang, contohnya kewajiban qishas dalam kasus pembunuhan, pemotongan anggota badan, dan hadd karena menuduh orang lain berbuat zina. Jika wali korban menuntut agar pelaku dihukum, untuk pertama kali dia harus dihukum cambuk karena menuduh orang lain berzina, kemudian anggota badannya dipotong sebagai hukuman qishas karena memotong anggota badan orang lain. Terakhir, dia dihukum mati sebagai hukuman qishas karena menghilangkan nyawa orang. Sebab, kebijakan semacam itu lebih memenuhi semua tuntutan tersebut. Dengan demikian, jika hukuman takzir yang menjadi hak seseorang turut menyertai berbagai hukuman itu, hukuman dimulai dengan takzir tersebut.
Hukuman mati harus segera dilaksanakan setelah hukuman pemotongan terhadap anggota badannya dilakukan, tanpa ada jeda waktu kedua hukuman tersebut. Sebab, eksekusi hukuman mati harus secepatnya dilaksanakan.
Setelah dia menerima hukuman cambuk, pemotongan anggota badan tidak harus segera dimulai jika penuntut hukuman mati dipastikan belum hadir. Sebab, terkadang pelaku tewas akibat pemukulan berulang-ulang sehingga si penuntut kehilangan hak mengqishas karena pembunuhan.
Begitu pula pemotongan anggota badan, tidak boleh dimulai jika penuntut hak qishas telah hadir namun dia berkata, “Lakukanlah segera pemotongan anggota badan, dan saya akan segera membunuhnya setelah dia dihukum penggal.” Menurut pendapat ashah, kita (ulama Syafi’iyah) tidak harus segera melaksanakan pemotongan anggota badan tersebut karena tuntutan hukuman mati pasti dilaksanakan.
Ketika penuntut hak qishas hukuman mati menunda pelaksanaan haknya, sementara kedua penuntut yang lain, yaitu penuntut hak pemotongan anggota badan dan hadd qadzaf , meminta segera hak mereka dipenuhi, maka pertama kali dia harus dihukum cambuk guna memenuhi hadd qadzaf . Ketika telah sembuh, dia dihukum potong untuk memenuhi tuntutan pemotongan anggota badan. Kedua hukuman itu tidak boleh dilakukan secara beruntun karena takut menimbulkan kematian, dan mengakibatkan kesempatan mengqishas karena pembunuhan menjadi Sirna.
Apabila penuntut hak atas pemotongan anggota badan menunda pelaksanaan haknya, sementara korban yang dituduh berzina telah memohon agar haknya segera dipenuhi, maka si pelaku segera dihukum cambuk. Sementara itu, penuntut hak qishas atas pembunuhan harus bersabar sampai tuntutan pemotongan anggota badan terpenuhi.
Apabila penuntut hak qishas atas pembunuhan meminta haknya segera dipenuhi, lalu pembunuh itu dihukum mati, maka penuntut hak atas pemotongan anggota badan berhak atas diyat yang dibebankan ke harta peninggalan orang yang telah dihukum mati tersebut. Hal tersebut, karena si penuntut hak qishas itu kehilangan objek untuk memenuhi haknya dan penuntut hak qishas karena pembunuhan dianggap telah dipenuhi haknya.
Apabila penuntut hak hukuman cambuk menunda pelaksanaan haknya, sesuai dengan tuntutan qiyas, maka kedua penuntut hak yang lain agar bersabar sampai hak dia terpenuhi .
Kedua, apabila terdapat gabungan hadd Allah SWT, maka wajib mendahulukan yang lebih ringan dari sekian banyak hadd yang ada. Setelah itu, disusul hadd yang agak berat agar eksekusi semua hukuman dapat dijalankan. Hadd yang lebih ringan dari sekian banyak hadd Allah SWT ialah hadd karena mengonsumsi minuman yang memabukkan sehingga pelaku harus dijatuhi hukuman. Kemudian ditangguhkan sampai dia sembuh dari bekas hadd tersebut. Setelah itu, dia dihukum cambuk akibat berbuat zina, lalu ditangguhkan sampai dia pulih, lantas dihukum potong karena mencuri. Terakhir, dihukum mati tanpa ada penangguhan hukuman. Sebab, hukuman mati harus segera dipenuhi, dan tidak perlu dilakukan pengasingan.
Ketiga, apabila terdapat gabungan tuntutan hukuman karena melanggar hak Allah SWT dan hak manusia, maka hak manusia harus didahulukan. Misalnya, hadd menuduh orang lain berzina didahulukan daripada hadd berbuat zina. Sebab, hadd itu merupakan hak setiap orang. Menurut pendapat yang ashah, hadd karena menuduh orang lain berbuat zina lebih didahulukan daripada hadd karena mengonsumsi minuman yang memabukkan. Tuntutan hak qishas, baik berupa hukuman mati maupun pemotongan anggota badan, harus didahulukan daripada hadd berbuat zina. Sebab, hadd tersebut merupakan hak setiap orang.
Apabila hukuman takzir turut menyertai berbagai macam hadd tersebut, takzir itulah yang harus didahulukan.
Apabila ada gabungan hukuman seperti hukuman mati karena murtad dan hukuman rajam karena berzina, maka hukuman mati karena murtad lebih didahulukan. Sebab, kerusakan yang ditimbulkan oleh kemurtadan lebih kentara.
Ketentuan pemotongan anggota badan yang diberlakukan bagi pembegal sama seperti pemotongan anggota badan dalam pidana pencurian. Menurut pendapat yang ashah, pemotongan anggota badan karena mencuri lebih didahulukan daripada pemotongan anggota badan karena membegal. Sebab, hukuman yang pertama lebih ringan, dan eksekusi kedua hukuman itu boleh dikerjakan secara beruntun.
F. Had Murtad [Riddah]
1. Makna, Hukuman, dan Contoh Riddah
Menurut bahasa, riddah adalah keluar dari suatu perkara menuju perkara yang lain. Di antaranya firman Allah SWT, “Janganlah kalian berbalik ke belakang (karena takut kepada musuh),” (QS. al-Ma’idah [5]: 21). Riddah merupakan perbuatan kufur terburuk dan paling berat hukumannya serta melebur pahala amal, jika terbawa sampai meninggal dunia.
Allah SWT berfirman, “Barang siapa murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya, “ (QS. al-Baqarah [2]: 217).
Apabila seseorang kembali memeluk Islam, dia tidak diwajibkan mengulang ibadah haji yang dilakukannya sebelum murtad, berbeda dengan pendapat Abu Hanifah. Sebab, gugurnya pahala amal tidak serta merta menggugurkan amal tersebut, dengan dalil bahwa shalat di tanah hasil mengghashab hukumnya sah dan tidak ada kewajiban mengqadha shalat, meskipun menurut mayoritas ulama tidak ada pahala dalam mengerjakan shalat semacam ini.
Menurut pandangan syariat, riddah adalah keluar dari lslam menuju kekafiran, memutus kontinuitas dalam memeluk ‘lslam dengan niat kufur, ucapan yang mengarah pada kekafiran atau perbuatan yang mengakibatkan kekafiran, baik hal itu dia ucapkan karena ejekan, penentangan, maupun sebagai kepercayaan.
Artinya, di satu sisi keluar dari Islam dapat terjadi karena kepercayaan, ucapan, dan perbuatan di sisi yang lain. Apabila seseorang berniat melakukan kekafiran di masa yang akan datang, seketika itu juga dia menjadi kafir. Al-Mawardi mengatakan bahwa niat itu ialah kesengajaan melakukan sesuatu yang disertai perbuatan. Apabila berniat melakukan sesuatu namun dia menunda pelaksanaannya itu disebut ‘azam. Jika hal tersebut diungkapkan dengan menggunakan istilah ‘azam, pasti telah memuat kedua perkara tersebut.
Contoh-contoh riddah yang bersifat i’tiqad di antaranya yaitu mengingkari Dzat Yang Maha Pencipta, Allah SWT, mengingkari para utusan, mendustakan seorang rasul atau nabi, mencela, dan meremehkan seorang rasul atau nabi, serta sebutannya. Tidak hanya itu, contoh riddah lainnya adalah meremehkan nama Allah, perintah, janji atau ancaman-Nya, mengingkari satu ayat dari al-Qur’an yang telah disepakati keberadaannya, atau menambahkan sebuah ayat dalam al-Qur’an dengan meyakini bahwa ayat tersebut bagian dari firman Allah SWT. Begitu pula, meremehkan sunah, menghalalkan perkara yang diharamkan berdasarkan ijma’ ulama, seperti khamr dan berzina, atau mengharamkan perkara yang halal berdasarkan ijma’ ulama, seperti jual beli dan pernikahan. Selain itu, contoh lain riddah adalah mengingkari perkara yang telah disepakati para ulama, misalnya seseorang mengingkari kewajiban satu rakaat dari shalat lima waktu, atau sebaliknya. Contoh lainnya, seseorang meyakini sesuatu yang tidak wajib berdasarkan ijma’ ulama, seperti penambahan satu rakaat dalam shalat fardhu, atau mewajibkan puasa sehari pada bulan Syawal.
Kasus lain, misalnya seseorang berniat kufur besok pagi, atau dia bimbang dalam kekafiran seketika karena muncul keraguan yang bertentangan dengan kemantapan niatnya memeluk Islam, atau dia meyakini dirinya bersatu dengan Dzat Allah (wihdatul wujud).
Contoh-contoh riddah yang berupa ucapan karena ejekan atau penentangan, di antaranya yaitu ejekan terhadap ayat al-Qur’an, menuduh Allah SWT mempunyai sekutu, atau ucapan seseorang yang ditujukan kepada musuhnya, “Andaikan dia tuhanku maka aku tidak akan menyembahnya,” maka dia menjadi kafir. Atau dia berkata, “Andaikan dia seorang nabi maka aku tidak akan beriman kepadanya,” atau dia mengatakan tentang anak atau istrinya, “Dia lebih aku cintai daripada Allah, atau daripada utusan-Nya,” atau orang yang sakit setelah dia sembuh mengatakan, “Aku bertemu sesuatu saat mengalami sakit semacam ini.” “Andaikan aku dapat membunuh Abu Bakar dan Umar, pasti aku tidak mengalami sakit semacam ini,” maka dia menjadi kafir. Atau seseorang mengklaim bahwa dia telah menerima wahyu, meskipun dia tidak mengaku nabi.
Atau seseorang mengaku bahwa dia akan masuk surga dan memakan sebagian dari buah-buahan surga, dan dia berpelukan dengan bidadari, ulama sepakat, dia telah menjadi kafir.
Contoh-contoh riddah berupa perbuatan di antaranya secara jelas menghina atau mengingkari agama Islam, seperti membuang mushaf (lembaran-lembaran yang memuat tulisan kalam Allah SWT yang diapit di antara sampul kitab) di tempat kotor. Sebab, tindakan tersebut jelas merupakan bentuk pelecehan terhadap kalam Allah SWT. Pelecehan terhadap kalam Allah sama seperti pelecehan terhadap mutakallim (Allah SWT). Disamakan dengan mushaf ialah kitab-kitab hadits dan lembaran kertas yang berisi ilmu pengetahuan syariat. Perbuatan lain adalah sujud pada berhala, sujud pada matahari atau makhluk lainnya, perbuatan sihir yang mengandung ritual penyembahan terhadap bintang, karena hal itu menetapkan sekutu bagi Allah SWT.
Begitu juga dikatakan riddah jika seseorang menuduh sesat sekelompok umat, menuduh kafir seorang sahabat, mengingkari mukjizat al-Qur’an, mengubah sebagian ayat al-Qur’an, atau mengingkari tanda-tanda yang menunjukkan adanya Allah SWT dalam penciptaan langit dan bumi dengan berkata, “Dalam penciptaan langit dan bumi sama sekali tidak menunjukkan wujud Allah.” Kemudian mengingkari kebangkitan orang-orang mati dari kuburan mereka dengan terkumpulnya kembali organ-organ tubuh dan mengembalikan ruh ke dalam jasad mereka. Selanjutnya, mengingkari surga dan neraka, pahala kebaikan, siksa akhirat, atau mengakui semua itu namun dia berkata, “Makna yang dikehendaki dengan semua itu berbeda dengan makna yang sebenarnya.”
2. Hukuman bagi Orang Murtad di Dunia dan Akhirat
Di dalam al-Qur’an telah disampaikan empat ayat yang menunjukkan secara tegas tentang balasan bagi orang murtad di akhirat.
Ayat pertama, “Barang siapa murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya,” (QS. al-Baqarah [2]: 217).
Ayat kedua, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman lalu kafir, kemudian beriman (lagi), kemudian kafir lagi, lalu bertambah kekafirannya, maka Allah tidak akan mengampuni mereka, dan tidak (pula) menunjukkan kepada mereka jalan (yang lurus),” (QS. an-Nisa’ [4]: 137).
Ayat ketiga, “Wahai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagi kalian, dan janganlah kalian berbalik ke belakang (karena takut kepada musuh), nanti kalian menjadi orang yang rugi,” (QS. al-Ma’idah [5]: 21), begitu pula dengan ayat 54 surah yang sama.
Ayat keempat, “Sungguh, orang-orang yang berbalik (pada kekafiran) setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, setanlah yang merayu dan memanjangkan angan-angan mereka,” (QS. Muhammad [2]: 25).
Hadits Nabi telah menunjukkan tentang hukuman bagi orang murtad di dunia dengan berbagai ketetapan hadits yaitu hukuman mati, di antaranya:
Sabda Nabi saw , “Siapa saja yang menukar agamanya (dengan agama lain), maka bunuhlah dia.”
Sabda Nabi saw, “Darah seorang muslim tidak halal, kecuali akibat adanya salah satu dari tiga faktor: seorang janda yang berbuat zina, hukuman mati akibat membunuh orang lain, dan orang yang meninggalkan agamanya, serta memisahkan diri dari jamaah (kaum muslimin).”
Para ulama sepakat bahwa hukuman mati bagi laki-laki murtad hukumnya wajib. Begitu juga menurut pendapat jumhur ulama selain para pengikut Madzhab Hanafi, seorang perempuan yang murtad harus dihukum mati. Karena seorang perempuan yang dikenal dengan sebutan Ummu Rumman pernah keluar dari islam, sampailah kabar tersebut kepada Rasulullah saw. Lalu Rasulullah saw menyuruhnya bertaubat. Jika dia mau bertaubat, maka dia tidak dihukum mati. Namun, jika tidak maka dia harus dibunuh.
3. Murtad Berulang Kali
Apabila kemurtadan dan keislaman seseorang dilakukan berulang-ulang, maka keinginan kembali masuk islam dari dirinya dapat diterima, dan dia harus ditakzir supaya tidak keluar dari islam lagi.
4. Batasan Seseorang Dihukumi Murtad
Seseorang yang keluar dari agama Islam, baligh, berakal, serta tanpa ada paksaan, dapat dituntut hukuman mati. Oleh sebab itu, anak-anak, orang gila, dan orang yang dipaksa keluar dari islam tidak boleh dihukum mati. Sebab, kemurtadan mereka tidak dianggap sah menurut hukum Islam. Apabila seseorang menjadi murtad, tiba-tiba dia gila, dia tidak boleh dibunuh pada saat dia gila.
Menurut al-madzhab, kemurtadan dan keislaman orang yang mabuk karena minuman keras hukumnya sah, ucapannya sama seperti orang yang sehat.
5. Kualifikasi Eksekutor Hukuman Murtad
Kualifikasi eksekutor hukuman murtad ialah imam atau yang mewakili, seperti hakim pada masa kita sekarang ini. Hal ini guna menghindari kekacauan dan memastikan adanya kemurtadan, selain karena hukuman yang harus dijatuhkan sangat berat, yaitu hukuman mati. Apabila orang yang mengeksekusi hukuman tersebut selain imam atau yang mewakili, maka dia harus ditakzir, dan dia tidak berkewajiban membayar diyat dan kafarat.
Imam atau yang mewakili, diwajibkan menyuruh orang yang murtad baik laki-laki maupun perempuan supaya bertaubat. Karena mereka adalah orang-orang yang dilindungi jiwanya oleh Islam. Sebab, terkadang unsur kesamaran tiba-tiba ada pada diri mereka, sehingga imam harus segera menghilangkannya. Pada umumnya, kemurtadan itu timbul dari sesuatu kesamaran yang muncul secara tiba-tiba.
Perintah wajib taubat bersumber dari Umar ra dan Nabi saw dalam hadits Jabir yang telah dikemukakan sebelumnya. Dalam hadits tersebut Nabi saw pernah menyuruh Ummu Rumman untuk kembali masuk Islam, jika dia mau bertaubat. Jika tidak demikian maka dia harus dibunuh.
Adapun larangan membunuh wanita yang ditetapkan dalam hadits yang dijadikan sumber hukum oleh Abu Hanifah, ditujukan untuk wanita kafir harbi, sedangkan hadits Ummu Rumman untuk wanita yang murtad.
6. Pengambilan Keputusan Hukum Terkait Kemurtadan Seseorang Berdasarkan Kesaksian
Sebelum mengeluarkan keputusan hukum terhadap orang yang murtad, hakim wajib memiliki kecurigaan yang sangat kuat. Kesaksian terkait kemurtadan seseorang dapat diterima secara mutlak dari dua orang saksi laki-laki yang muslim serta adil, tanpa harus memberi keterangan secara rinci. Status hukum kemurtadan seseorang tidak dapat dikemukakan oleh seorang saksi, kecuali berdasarkan bukti yang nyata.
Hal itu jika mereka bersaksi bahwa seseorang telah keluar dari kepercayaan (yang selama ini dia yakini). Apabila mereka bersaksi bahwa orang itu telah murtad, tanpa mengatakan dari kepercayaan yang selama ini dia yakini, atau mereka mengatakan, “Dia telah kafir,” tanpa mengatakan ‘billahi’, kesaksian semacam ini dipastikan tidak dapat diterima.
Apabila dua orang atau lebih memberikan kesaksian terkait kemurtadan seseorang, dan mereka tidak memberikan keterangan secara rinci, tiba-tiba kesaksiannya ditolak oleh orang tersebut, maka pengambilan keputusan hukumnya tetap berdasarkan kesaksian. Sementara penolakan yang bersangkutan menjadi tidak ada gunanya. Bahkan, dia harus melakukan sesuatu hal yang mengubah status dirinya sebagai orang kafir menjadi orang muslim karena argumen hukum telah terpenuhi.. Sementara itu, pengingkaran dan penolakan kesaksian tidak dapat menghilangkan bukti tersebut.
Seperti kasus apabila alat bukti saksi terkait perbuatan zina telah ada, tiba-tiba dia menyangkalnya, atau mengatakan bahwa para saksi telah berbohong, dia tidak dapat melepaskan dirinya dari tuntutan hadd.
Apabila dia mengerjakan sesuatu hal yang dapat mengubah status dirinya dari seorang kafir menjadi muslim sebelum ada keputusan hukum tetap, pengambilan keputusan hukum terhadap dirinya berdasarkan kesaksian terkait kemurtadan menjadi tertolak. Namun demikian, dia harus menerima keputusan hukum yang ditetapkan akibat adanya kesaksian tersebut, yakni istri-istrinya menjadi tertalak ba’in jika dia murtad sebelum melakukan senggama dengan mereka atau setelah senggama dilakukan, dan masa ‘iddah telah habis.
Apabila dia berkata, “Saya dipaksa keluar dari Islam,” dan alat bukti menguatkan pernyataannya seperti menjadi tahanan orang-orang kafir, maka pernyataannya dapat dibenarkan jika disertai sumpah. Apabila tidak ada alat bukti yang menguatkan pernyataannya, misalnya dia berdomisili di wilayah kekuasaan orang-orang kafir, namun dia diberikan kebebasan memilih jalan hidupnya, maka pernyataannya tidak dapat diterima. Dengan demikian, status hukum istrinya yang belum pernah disenggama menjadi tertalak ba’in, dan dia dituntut mendatangkan dua keterangan saksi karena tidak ada alat bukti yang menguatkan pernyataannya.
Apabila kedua orang saksi tidak mengatakan irtadda (dia telah murtad), tetapi mengatakan sebuah kata seperti kafara (dia telah kafir), atau dia telah melakukan perbuatan kufur, tiba-tiba terhukum mengaku dipaksa setelah dia membenarkan kesaksian mereka tentang perbuatan itu, maka pengakuannya dapat dibenarkan dengan disertai sumpah secara mutlak, baik ditemukan alat bukti maupun tidak. Sebab, dalam kasus ini tidak ditemukan penolakan terhadap keterangan para saksi. Berbeda dengan masalah sebelumnya, karena keterpaksaan itu bertentangan dengan kemurtadan, tetapi tidak bertentangan dengan pernyataan yang menggunakan kata riddah dan tidak bertentangan dengan perbuatan yang mengakibatkan kafir.
Namun, disunahkan memperbarui pengakuan Islam. Menurut pendapat yang rajih, apabila dia dibunuh sebelum bersumpah tidak ada kewajiban membayar kompensasi kematiannya. Karena pernyataan riddah telah terbukti, dan pada dasarnya kemurtadannya itu dilakukan tanpa ada pemaksaan.
7. Ketentuan Hukum Orang Murtad
Ada beberapa ketentuan hukum setelah kemurtadan seseorang ditetapkan, yaitu sebagai berikut.
Pertama, haram menerima atau memberi warisan.
Semua utang orang yang murtad, pembayaran ganti rugi akibat kejahatannya, nafkah istri dan kerabatnya harus ditunaikan karena hak-hak tersebut telah menjadi kewajibannya dan tidak boleh diabaikan.
Hartanya yang tersisa dikembalikan (fai’) kepada jamaah kaum muslimin yang disimpan di baitul mal. Pernyataan terakhir ini pendapat jumhur ulama selain para pengikut Madzhab Hanafi, sesuai sabda Nabi saw, “Orang kafir tidak mewarisi orang muslim, dan orang muslim tidak mewarisi orang kafir.” Dengan demikian, orang murtad tidak dapat memperoleh warisan dari kerabat-kerabatnya, dan hartanya tidak dapat diwariskan pada mereka.
Seseorang-yang dikenal memeluk Islam-meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang anak yang keduanya muslim. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Dia telah murtad sehingga mati dalam keadaan kafir. “ Jika anak tersebut mampu mengemukakan faktor kekafiran ayahnya, dia tidak dapat mewarisi harta sang ayah, dan bagian waris miliknya menjadi harta fai”. Namun, ketika dia tidak mengemukakan faktor kekafiran sang ayah dengan mengungkapkan pernyataan secara mutlak, dia tetap mendapat harta waris, menurut pendapat azhar.
Kedua, keislaman anak-anak dari orang yang murtad.
Jika anak orang murtad diyakini ada sebelum atau setelah terjadinya kemurtadan, sementara salah seorang dari kedua orang tuanya berstatus muslim, maka dia dihukumi muslim.
Menurut pendapat azhar, apabila kedua orang tuanya murtad, maka dia berstatus murtad jika di antara nenek moyang kedua orang tuanya tidak ditemukan yang muslim. Apabila di antara nenek moyangnya ada yang muslim, dia berstatus muslim karena mengikuti kepercayaan yang dianut nenek moyangnya.
Ketiga, hilangnya kepemilikan harta.
Menurut pendapat azhar, harta orang murtad dibekukan “mauquf” seperti berhubungan seks dengan istrinya, baik dia berdomisili di wilayah yang dikuasai musuh maupun tidak. Jika dia meninggal dunia dalam keadaan murtad, kepemilikan harta menjadi hilang dari dirinya akibat murtad. Dengan demikian, harta miliknya menjadi harta fai’, dan sesuatu yang diperolehnya dari hasil mengumpulkan kayu bakar dan sejenisnya tetap dihukumi mubah.
Jika dia kembali memeluk Islam, sudah jelas bahwa kepemilikan hartanya tidak hilang dari dirinya. Sebab, hancurnya amal perbuatan Seseorang bergantung pada hancurnya orang tersebut dengan melakukan kemurtadan. Demikian pula dengan hilangnya kepemilikan harta.
Dalam situasi apa pun, kewajiban utang orang murtad sebelum dia murtad harus dilunasi dari hartanya, dan kewajiban memberi nafkah.
Menurut pendapat yang ashah, dia harus mengganti harta benda orang lain yang dirusak saat dia murtad hingga apabila sekelompok orang menjadi murtad dan mereka menolak untuk tunduk kepada imam, dan tidak mudah untuk menundukkan mereka, kecuali dengan memeranginya. Maka, menurut pendapat azhar, sesuatu yang mereka hancurkan dalam peperangan ketika mereka kembali memeluk Islam, harus mereka ganti.
Menurut pendapat yang ashah, dia harus memberikan nafkah kepada para istri yang status pernikahannya dibekukan, begitu juga dengan menafkahi kerabat. Sebab, nafkah itu merupakan hak-hak yang berhubungan dengan orang yang murtad.
Keempat, pembekuan berbagai macam tindakan hukum.
Menurut pendapat azhar, ketika status kepemilikan harta bendanya dibekukan, tindakan hukum terkait dengan harta bendanya, maka tidak dapat ditindaklanjuti. Hal tersebut jika pembekuannya dapat dilakukan, seperti wasiat. Jika dia kembali memeluk Islam, tindakan hukumnya dapat diteruskan. Jika tidak, maka tindakan hukumnya tidak dapat diteruskan.
Apabila tindakan hukumnya tidak dapat dibekukan, contohnya hibah dan gadai, maka tindakan hukum tersebut menjadi batal. Pada saat tindakan hukumnya dibekukan, maka hartanya berada di bawah penjagaan, yakni di bawah pengawasan seseorang yang dapat dipercaya serta adil.
Kelima, penyerangan terhadap sekelompok orang yang murtad.
Apabila orang-orang yang murtad melindungi diri mereka dengan menggunakan semacam benteng, kita (kaum muslimin) harus mempunyai inisiatif untuk mulai memerangi mereka. Karena kekafiran mereka dianggap pelanggaran yang sangat berat dan kuat, dan karena mereka lebih mengetahui titik kelemahan kaum muslimin. Mereka yang melarikan diri harus kita ikuti terus, sedang mereka yang terluka kita biarkan hidup. Mereka yang menjadi tahanan kita perintahkan bertaubat, dan mereka berkewajiban mengganti sesuatu yang mereka hancurkan pada saat terjadi peperangan.
Sementara itu, qishas akibat pembunuhan lebih didahulukan daripada qishas akibat murtad, dan dia diwajibkan membayar diyat sekiranya diyat itu harus dibebankan ke dalam hartanya secara mutlak, karena tidak mempunyai keterikatan harus segera dibayarkan dalam kasus pembunuhan dengan sengaja, dan ditangguhkan sampai waktu tertentu dalam kasus selain itu. Jika dia telah meninggal dunia, diyat itu sudah saatnya dilunasi karena pembayaran secara jatuh tempo menjadi gugur akibat terjadi kematian, dan utang jatuh tempo tidak berubah menjadi utang tunai akibat murtad.
Apabila orang murtad menyetubuhi seorang perempuan yang murtad akibat faktor yang samar, misalnya dia menyetubuhinya dalam keadaan dipaksa, orang laki-laki  atau perempuan yang murtad diminta melayani secara paksa, maka kewajiban membayar mahar dan upah dibekukan.
Apabila dia melakukan sesuatu pada saat murtad yang mengakibatkan dia dituntut hadd, misalnya dia berbuat zina, mencuri, menuduh orang lain berzina, atau minum khamr, maka dia harus dijatuhi hadd, kemudian dihukum mati.
Keenam, hal-hal yang dikerjakan terhadap orang yang murtad setelah dia dihukum mati.
Apabila orang yang murtad telah bertaubat dan kembali memeluk Islam, itulah pilihan yang terbaik. Jika dia enggan bertaubat dan dia telah dihukum mati, maka dia tidak harus dimandikan, dishalati dan dikuburkan di pemakaman kaum muslimin karena dia meninggal dunia dalam keadaan kafir.
8. Hukum Orang yang Mengerjakan Dosa Besar
Mengerjakan dosa-dosa besar yang diharamkan tidak mengakibatkan seseorang menjadi kafir, dan tidak mereduksi sebutan mukmin. Ketika orang fasik mati dan belum bertaubat, dia tidak menjadi penghuni neraka untuk selamanya, wallahu a’lam.
9. Hukum Orang yang Meninggalkan Shalat
Apabila seorang muslim meninggalkan shalat karena mengingkari kewajiban shalat, dan dia tidak mempunyai alasan untuk meninggalkannya karena tidak ada dalam ketentuan Islam yang dianutnya, dan berbaur dengan kaum muslimin lainnya, dia dihukumi kafir. Sebab, dia mengingkari sebuah rukun Islam yang telah pasti ketentuan hukumnya. Dan dia tidak mempunyai alasan tertentu dalam meninggalkannya, sehingga keingkarannya itu mengandung pengingkaran kepada Allah SWT dan utusan-Nya. Siapa yang mengingkarinya maka dia benar-benar telah kafir dan harus dihukum mati. Dengan demikian, status hukumnya sama seperti orang yang murtad dalam berbagai ketentuan yang telah dikemukakan, sehingga dia harus dihukum mati, sesuai hadits yang telah dikemukakan, “Siapa saja yang menukar agamanya (dengan agama lain), bunuhlah dia.”
Apabila dia meninggalkan shalat, tetapi masih meyakini kewajiban melaksanakan shalat itu, hanya saja dia meninggalkan shalat karena malas melakukannya sampai akhirnya waktu shalat telah habis, menurut pendapat shahih, dia tidak menjadi kafir. Inilah pendapat jumhur ulama. Sesuai dengan hadits yang telah dikemukakan berdasarkan riwayat Syaikhani , “Darah seorang muslim tidaklah halal, kecuali akibat salah satu dari ketiga faktor: kufur setelah beriman, berzina setelah dia muhshan, dan membunuh seseorang tanpa alasan yang dibenarkan.”
Dan sesuai dengan sabda Nabi saw, “Siapa saja yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, dan Isa adalah hamba Allah serta kalimat Allah yang diletakkan oleh Allah kepada Maryam dan ruh dari-Nya, dan bersaksi bahwa surga adalah benar dan neraka adalah benar, Allah pasti memasukkannya ke dalam surga, apa pun perbuatan yang dia lakukan.”
Dan karena kekafiran itu berkaitan dengan keyakinan dan keyakinannya benar. Sementara hadits yang dijadikan sumber hukum oleh seseorang yang mengatakan kafir diarahkan pada orang yang mengingkari perkara yang wajib.
10. Hukum Orang yang Meninggalkan Wudhu, Mandi Besar, dan Shalat Jum’at
Menurut pendapat shahih, orang yang meninggalkan wudhu dan mandi besar harus dibunuh. Apabila seseorang meninggalkan shalat Jum’at dan dia berkata, “Saya melakukan shalat Zhuhur,” dan dia tidak mempunyai alasan yang membenarkan tindakannya, maka dia harus dibunuh, seperti pendapat yang diunggulkan oleh an-Nawawi dan asy-Syasyi, dan dipilih oleh Ibnu Shalah. Al-Ghazali mengatakan dia tidak dibunuh. Karena Shalat Jum’at mempunyai pengganti dan dapat gugur karena berbagai alasan tertentu.
Demikian penjelasan tentang Hukuman (Hudud) yang Kami kutip dari Buku al-Fiqhu asy-Syafi’iy al-Muyassar, karya Prof. Dr. Wahbah Zuhaili

Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya

Dua Macam Berpikir, Karena Iman ...
الْفِكْرَةُ فِكْرَتَانِ فِكْرَةُ تَصْدِيْقٍ وَإِيْمَانٍ وَفِكْ...
Berpikir Adalah Pelita Hati
الْفِكْرَةُ سِرَاجُ الْقَلْبِ فَإِذَا ذَهَبَتْ فَلَا إِضَاءَةَ...
Pikirkan Makhluk-Nya
الْفِكْرَةُ سَيْرُ الْقَلْبِ فِى مَيَادِيْنِ الْأَغْيَارِ Berp...
Sangat terhina, waktu kosong tap...
الْخِذْلَانُ كُلَّ الْخِذْلَانِ اَنْ تَتَفَرَّغَ مِنَ الشَّوَا...
Orang Yang Diberkati Umurnya
مَنْ بُوْرِكَ لَهُ فِى عُمْرِهِ اَدْرَكَ فِى يَسِيْرٍ مِنَ الز...
Ada kalanya, Umur Panjang Tapi K...
رُبَّ عُمْرٍ اِتَّسَعَتْ امَادُهُ وَقَلَّتْ اَمْدَادُهُ وَرُبّ...

Anggota DINULQOYIM