FARAIDH (HUKUM WARIS) Bag.2

FARAIDH (HUKUM WARIS) Bag.2

3. Hajb

Hajb, secara bahasa bermakna terlarang dan secara syara’ adalah tercegah menerima hak waris, baik secara keseluruhan atau sebagian saja. Hajb terbagi menjadi dua bagian yaitu hajb bil hirman dan hajb bi an-nuqshan.

Hajb hirman adalah seseorang tidak berhak mendapatkan warisan sama sekali, bukan karena oleh dirinya sendiri seperti karena membunuh dan berbeda agama. Akan tetapi disebabkan oleh orang lain, yang derajatnya lebih dekat kepada mayat. Misalnya, kakek terhalangi oleh ayah, cucu laki-laki dan anak laki-laki terhalangi oleh anak laki-laki, dan saudara seibu terhalangi oleh ayah atau anak.

Hajb hirman ada tujuh, yaitu kakek, nenek saudari kandung, dua saudari seibu, dua saudari seayah, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan cucu laki-laki dari anak laki-laki, dengan penjelasan sebagai berikut.

1)      Kakek terhalangi oleh ayah.

2)      Nenek terhalangi oleh ibu.

3)      Dua saudari kandung terhalangi oleh anak laki-laki, atau cucu laki-laki dari anak laki-laki dan atau oleh ayah, berdasarkan ijma’ ulama.

4)      Dua saudari seibu terhalangi oleh ayah, kakek, dan keturunan yang menerima waris, seperti anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan cucu perempuan dari anak laki-laki.

5)      Dua saudari seayah terhalangi oleh dua saudari kandung apabila mereka tidak bersama muashshib-nya, yaitu saudaranya.

6)      Cucu perempuan dari anak laki-laki terhalangi oleh dua atau lebih anak perempuan apabila mereka tidak bersama muashshib-nya, yaitu cucu laki-laki.

7)      Cucu laki-laki dari anak laki-laki terhalangi oleh anak laki-laki.

Hajb Nuqshan

Hajb nuqshan adalah berkurangnya bagian ahli waris karena ada ahli waris lainnya. Hal ini ada lima macam, sebagaimana berikut.

1)      Berkurangnya bagian pasti, seperti suami yang mendapatkan seperdua, berkurang menjadi seperempat sebab terdapat anak; ibu yang mendapatkan sepertiga berkurang menjadi seperenam sebab adanya anak atau beberapa saudara/saudari; cucu perempuan dari anak laki-laki yang mendapatkan seperdua berkurang menjadi seperenam sebab terdapat satu anak perempuan.

2)      Berkurangnya bagian ahli waris ashabah menjadi bagian yang lebih sedikit. Misalnya, saudari kandung atau seayah yang bersama anak perempuan atau bersama cucu perempuan dari anak laki-laki. Hal ini apabila mereka bersama saudaranya (saudara kandung dan seayah). Bisa diartikan bahwa mereka yang semula mendapatkan warisan sebagai ashabah ma’al ghair -yaitu karena bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki- berubah menjadi mendapatkan warisan sebagai ashabah bin nafsi. Dan ini berakibat pada perolehan bagian mereka pula.

3)      Berkurang bagian ahli waris, yaitu mereka semula mendapatkan bagian pasti menjadi bagian ashabah. Misalnya, anak perempuan yang bersama anak laki-laki. Bagiannya berkurang dari bagian pasti, seperdua, menjadi ashabah yang lebih sedikit.

4)      Berkurangnya bagian ahli waris, yang semula mendapatkan ashabah, berubah mendapatkan bagian pasti. Misalnya, ayah atau kakek yang semula mendapatkan ashabah, berubah menjadi bagian pasti karena bersama anak laki atau cucu laki dari anak laki-laki.

5)      Banyaknya ahli waris yang memperoleh bagian pasti, seperti telah disebutkan dalam kasus ‘aul di depan

D. Hak Waris Anak dan Cucu

Alasan spesifikasi pembahasan hak waris anak dan cucu ini, sebagaimana Imam Nawawi juga menspesifikasi pembahasannya dalam al-Minhaj, karena pembahasan ini membutuhkan perhatian khusus. Meskipun sebenarnya pembahasan hak waris anak dan cucu bisa dilihat pada pembahasan para ahli waris terdahulu.

1.      Anak atau cucu yang sendirian berhak memperoleh semua harta peninggalan orang tuanya atau kakeknya.

2.      Anak perempuan yang sendiri mendapatkan seperdua dan dua anak perempuan mendapatkan dua pertiga, sebagaimana penjelasan terdahulu.

3.      Apabila terdapat anak laki-laki dan anak perempuan, harta peninggalan menjadi hak mereka dengan mengacu pada bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Allah SWT berfirman, “Allah mensyaratkan (mewajibkan) kepada kalian tentang (pembagian warisan untuk) anak-anak kalian, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan,” (Q.S. an-Nisa’ [4]: 17). Alasan laki-laki mendapatkan dua kali lipat bagian perempuan karena laki-laki berkewajiban jihad, menanggung diyat akibat pembunuhan tidak sengaja. Semua itu diambilkan dari nafkah atas dirinya dan istrinya.

4.      Cucu dari anak laki-laki apabila sendirian, dia memperoleh semua harta peninggalan.

5.      Apabila terdapat anak laki-laki dan cucu, maka cucu tidak berhak mendapatkan harta peninggalan. Begitulah ketetapan ijma’ ulama.

6.      Apabila tidak ada anak laki-laki, namun hanya ada anak perempuan saja, maka anak perempuan itu memperoleh seperdua, dan sisanya diberikan kepada cucu, laki-laki atau perempuan, dengan catatan bagian laki-laki lebih banyak daripada bagian perempuan. Bilamana hanya terdapat cucu perempuan, maka semuanya mendapatkan seperenam sebagai penyempurna bagian dua pertiga.

7.      Cicit dari cucu laki-laki dari anak laki-laki yang bersama cucu dari anak laki-laki, yaitu sama seperti cucu dari anak laki-laki yang bersama anak laki-laki.

Ahli waris dari kalangan laki-laki mengakibatkan ashabah kepada ahli waris perempuan yang sederajat dengannya seperti saudarinya, anak perempuan pamannya, dan orang yang lebih tinggi derajatnya seperti anak perempuan pamannya, asal tidak terdapat ahli waris yang memperoleh dua pertiga seperti dua anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan cicit laki-laki dari cucu laki-laki dari anak laki-laki. Seandainya terdapat ahli waris yang memperoleh dua pertiga, dia tidak bisa mengakibatkan ashabah kepada ahli waris lainnya seperti anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan cicit laki-laki dari cucu laki-laki dari anak laki-laki karena dia mempunyai bagian pasti dan tidak berhak menerima ashabah. Namun, cucu perempuan dari anak laki hanya menerima seperenam tanpa menerima ashabah karena perolehan bagian pasti sekaligus ashabah dari satu jalur hanya diperoleh oleh ayah dan kakek.

E. Hak Waris Ayah, Ibu, Kakek, dan Nenek

Ayah berhak menerima waris melalui bagian pasti, ashabah, dan kadang menerima warisan bagian pasti dan ashabah secara bersamaan.

Ayah menerima bagian pasti seperenam apabila terdapat anak laki-laki, atau cucu laki-laki dari anak laki-laki walau ke bawah. Adapun sisanya diberikan kepada para ahli waris lainnya. Ayah menerima ashabah saja ketika tidak terdapat ahli waris di atas, meskipun terdapat ahli waris lainnya seperti istri. Ayah menerima bagian pasti dan ashabah sekaligus apabila terdapat satu anak perempuan, atau satu cucu perempuan dari anak laki-laki yang bersama satu anak perempuan atau lebih. Dalam komposisi seperti ini, bapak mendapatkan seperenam dari jalur bagian pasti dan sekaligus memperoleh ashabah. Dalam hadits yang terdahulu dikatakan, “Berikanlah hak waris kepada orang-orangnya, dan jika masih tersisa maka berikanlah kepada orang laki-laki yang mempunyai anak tersebut.” Maksudnya, berikan kepada ahli waris laki-laki yang nasabnya paling dekat dengannya.

Ibu menerima sepertiga apabila mayat tidak mempunyai anak; dan mendapatkan seperenam apabila mayat mempunyai anak. Ibu mendapatkan sepertiga sisa dalam masalah gharawain yaitu dalam komposisi ahli waris: suami atau istri, ayah dan ibu.

Kakek seperti ayah, terkecuali dalam tiga permasalahan, sebagaimana berikut.

1)      Ayah menggugurkan bagian saudara kandung, baik laki-laki maupun perempuan. Tidak demikian dengan kakek, sebab mereka berbagi rata (muqasamah) kalau memang terdapat saudara kandung atau seayah.

2)      Ayah menghalangi nenek (ibunya ayah) untuk mendapatkan warisan karena jalur nasab nenek melalui ayah, sementara kakek tidak demikian karena nenek adalah istrinya sendiri dan seseorang tidak bisa menggugurkan hak waris.

3)      Dalam dua permasalahan gharawain, yaitu suami atau istri dan dua orang tua. Ayah mengubah perolehan bagian ibu dari sepertiga mejadi sepertiga sisa, sementara kakek tidak demikian. Ibu mendapatkan sepertiga penuh bersama kakek karena derajat kakek tidak sama dengan ibu. Dengan demikian kakek tidak berhak mendapatkan lebih, berbeda dengan ayah.

Nenek menerima bagian pasti seperenam, baik dia berjumlah dua maupun lebih. Diriwayatkan oleh al-Hakim bahwa Rasulullah saw memutuskan untuk kedua nenek mendapatkan seperenam dari harta peninggalan.

Adapun nenek yang menerima waris yaitu 1) nenek yang jalur nasabnya kepada mayat murni melalui ibu. Misalnya ibunya ibu dari ibu; 2) murni melalui laki-laki, semisal ibunya bapak dari bapak; dan 3) campuran, misalnya ibunya ibu dari ayah. Sedangkan nenek yang jalur nasabnya kepada mayat melalui laki-laki di antara dua perempuan, maka dia tidak berhak menerima warisan. Misalnya ibunya ayah dari ibu, seperti halnya ayahnya ayah dari ibu. Hal ini berlandaskan pada keputusan ijma’ ulama. Menurut pendapat yang masyhur, para kakek di atas nasab kakek dan ibu-ibunya, berhak menerima waris karena mereka adalah para nenek yang bernasab kepada mayat melalui jalur orang yang menerima waris. Dengan demikian, mereka mendapatkan warisan sebagaimana ibunya ayah.

Tabel Bagian Ahli Waris Perempuan

1. Anak perempuan

No

Bagian Warisan

Syarat

1 ½
  • Tidak ada cucu perempuan selain dirinya
2 Ashabah
  • Tidak ada anak, laki-laki maupun perempuan
3 2/3 untuk dua orang anak Perempuan atau lebih
  • Berjumlah dua orang atau lebih
  • Ada saudari

2. Anak dari anak laki-laki (cucu perempuan)

No

Bagian Warisan

Syarat

1.

1/2
  • Tidak ada cucu perempuan selain dirinya
  • Tidak ada anak, laki-laki maupun perempuan

2.

2/3 untuk dua orang cucu perempuan atau lebih
  • Berjumlah dua orang atau lebih
  • Tidak ada anak laki-laki atau perempuan

3.

1/6 untuk satu orang cucu perumpuan atau lebih
  • Sendirian atau bersama cucu perempuan lain
  • Ada anak perempaun
  • Tidak ada anak laki-laki dari anak laki-laki

(cucu laki-laki)

4.

Tidak memperoleh warisan
  • · Ada anak laki-laki

5.

Tidak memperoleh warisan
  • · Jika ada dua anak perempuan atau lebih, kecuali jika ada cucu laki-laki, dia mewarisi harta sebagai ashabah bersamanya.

3. Suami

No

Bagian Warisan

Syarat

1.

1/6
  • · Ada anak, baik laki-laki maupun perempuan
  • · Ada dua orang saudara, laki-laki maupun perempuan

2.

1/3 dari seluruh harta warisan
  • · Tidak ada ahli waris di atas (anak dan dua orang saudara)

3.

1/3 dari sisa pembagian harta warisan
  • · Tidak ada ahli waris yang disebutkan di atas (anak dan dua orang saudara)
  • · Ada tiga ahli waris lain bersamaan, yaitu suami/istri, ayah, dan ibu
  • · Harta warisan dibagikan setelah bagian suami/ istri ditentukan

4. Istri

No

Bagian Warisan

Syarat

1

1/4 (untuk satu istri atau dibagi rata di antara beberapa istri) Tidak ada anak (laki-laki maupun perempuan), anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki), anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan), atau siapa saja yang bernasab kepada mayat melalui anak laki-lakinya dari atas hingga ke bawah.

2.

1/8 (untuk satu istri atau dibagi rata di antara beberapa istri) Ada anak (laki-laki maupun perempuan; berasal dari pernikahan dengan pewaris maupun dengan istri yang lain).

 5. Saudari kandung

No

Bagian Warisan

Syarat

1.

½
  • · Tidak ada saudari kandung selain dirinya (sendirian)
  • · Tidak ada anak laki-laki maupun perempuan
  • · Tidak ada cucu laki-laki atau cucu perempuan
  • · Tidak ada bapak
  • · Tidak ada kakek
  • · Tidak ada saudara kandung

2.

2/3 untuk dua orang saudari kandung atau lebih
  • · Tidak ada saudari kandung selain dirinya (sendirian)
  • · Tidak ada ahli waris yang disebut di atas

3.

Ashabah
  • · Ada saudara kandung
  • · Tidak ada ahli waris yang disebutkan di atas kecuali saudara kandung
  • · Bagian perempuan setengah bagian laki-laki

4.

Ashabah
  • · Ada anak perempuan atau anak perempuan dari laki-laki (cucu perempuan) baik satu orang maupun lebih
  • · Tidak ada anak laki-laki dan anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki)

5.

Ashabah lil ghair Jika harta warisan habis dibagi di antara ashabul furudh hingga tidak ada lagi sisa bagi saudara-saudari kandung, mereka berbagi dengan saudara-saudari seibu dalam bagian yang mereka peroleh. Dua kelompok ini dianggap memiliki status yang sama karena mereka semua lahir dari ibu yang sama.

6.

Tidak memperoleh warisan Ada salah satu dari empat orang berikut;
  • · Anak laki-laki
  • · Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki)
  • · Bapak
  • · Kakek

6. Saudari seibu

No

Bagian Warisan

Syarat

1.

1/6
  • · Sendirian, tidak ada saudari seibu lain selain dirinya
  • · Tidak ada anak laki-laki maupun perempuan
  • · Tidak ada anak laki-laki maupun anak perempuan dari anak laki-laki

2.

1/3 untuk dua orang saudara/saudari seibu atau lebih
  • · Ada saudara/saudari seibu lain selain dirinya
  • · Pembagian dilakukan secara merata di antara mereka tanpa membedakan jenis kelamin

3.

Ashabah lil ghair Saudara-saudari seibu berbagi bersama saudara-saudari kandung jika harta warisan habis dibagi -bagi di antara ashabul furudh, sehingga tidak ada lagi sisa bagi saudara-saudari kandung

4.

Tidak memperoleh warisan Ada salah satu atau lebih dari lima orang berikut;
  • · Anak laki-laki maupun perempuan
  • · Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki)
  • · Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan)
  • · Bapak
  • · Kakek

7. Saudari seayah

No

Bagian Warisan

Syarat

1.

½
  • · Sendirian, tidak ada saudari seayah lain selain dirinya
  • · Tidak ada saudara seayah
  • · Tidak ada saudari kandung

2.

2/3 untuk dua orang saudari seayah satu lebih
  • · Ada saudari seayah lain selain dirinya
  • · Tidak ada ahli waris-ahli waris yang disebutkan di atas

3.

1/6
  • · Ada satu orang saudari kandung

4.

Ashabah bil ghair
  • · Ada saudara seayah, satu orang maupun lebih
  • · Pembagian dilakukan dengan prinsip, perempuan setengah bagian laki-laki

5.

Ashabah ma’al ghair
  • · Ada anak perempuan (satu orang maupun lebih) atau
  • · Ada anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan), satu orang maupun lebih
  • · Sisa harta warisan menjadi miliknya setelah dua ahli waris di atas memperoleh bagiannya

6.

Tidak memperoleh warisan Ada salah satu atau lebih dari lima orang berikut :
  • · Anak laki-laki berikut keturunan laki-lakinya, dari atas hingga ke bawah
  • · Bapak
  • · Saudara kandung
  • · Saudari kandung yang menjadi ashabah bersama saudara kandung
  • · Dua orang saudari kandung atau lebih (kecuali jika saudara seayah ini menjadi ashabah bersama saudara seayah, sehingga sisa harta warisan dibagi di antara mereka dengan prinsip, perempuan memperoleh setengah bagian laki-laki

8. Nenek

No

Bagian Warisan

Syarat

1.

1/6 untuk satu orang maupun lebih
  • · Tidak ada ibu
  • · Tidak ada nenek lain yang lebih dekat silsilah nasabnya kepada mayat

2.

Tidak memperoleh warisan
  • · Ada ibu

3.

Tidak memperoleh warisan
  • · Ada nenek lain yang lebih dekat silsilah nasabnya kepada mayat

F. Ahli Waris Hawasyi dan Ashabah

1. Ahli Waris Hawasyi

Ahli waris hawasyi yaitu saudara dan saudari kandung, jika tidak terdapat saudara dan saudari seayah mereka mendapatkan hak waris sama seperti anak kandung. Artinya saudara yang sendirian atau lebih mendapatkan seluruh harta peninggalan; satu saudari mendapatkan seperdua; dan dua saudari atau iebih mendapatkan duapertiga. Jika dua kelompok ini (saudara-saudari) ada maka saudara mendapatkan dua kali lipat bagian saudari.

Saudari dan saudara seayah berhak menerima waris seperti anak kandung (walad ash-shulbi) bila tidak terdapat saudara-saudari kandung, kecuali dalam masalah musyarakah yang ahli warisnya terdiri dari suami/istri, ibu, kakek, dua saudara atau lebih yang seibu, dan saudara sekandung. Saudara kandung mendapatkan bagian yang sama dengan saudara seibu, yaitu sepertiga yang dibagi sama rata. Seandainya di sana terdapat saudara seayah (bukan saudara kandung) maka bagian saudara seibu gugur.

Bilamana dua kelompok tersebut ada, yaitu saudara kandung dan saudara seayah, hukumnya sama seperti ketika anak kandung berkumpul dengan cucu dari anak laki-laki. Apabila di antara saudara kandung itu terdapat laki-laki meski ada yang perempuan maka hak waris saudara seayah gugur. Bila saudara/saudari seayah tersebut terdiri dari seorang perempuan, dia mendapatkan seperdua, dan sisanya diberikan kepada saudara seayah. Jika mereka terdiri dari beberapa saudara dan saudari seayah maka laki-laki memperoleh dua kali lipat bagian perempuan. Bilamana saudara seayah itu hanya seorang atau dua orang perempuan, dia atau mereka mendapatkan seperenam sebagai penyempurna bagian dua pertiga.

Apabila saudari kandung itu hanya terdiri dari dua orang atau lebih, keduanya atau mereka mendapatkan bagian dua pertiga, dan sisanya hanya diberikan kepada saudara seayah. Namun, jika mereka terdiri dari beberapa laki-laki dan perempuan maka khusus bagi perempuan tidak berhak menerima warisan bila ada dua saudari kandung atau lebih.

Hanya saja, cucu perempuan dari anak laki-laki mendapatkan sisa harta warisan jika terdapat orang yang sederajat dengannya (yaitu cucu laki-laki dari anak laki-laki) atau orang yang berada pada derajat nasab di bawahnya. Yang membuat saudari mendapatkan sisa harta warisan adalah saudaranya, bukan anak laki-lakinya saudara bukan pula anak laki-lakinya paman dari ayah.

Bila seseorang wafat dengan meninggalkan dua saudari kandung, satu saudari seayah, dan anak laki-lakinya saudara seayah, maka dua saudari mendapatkan dua pertiga dan sisanya untuk anak laki-lakinya saudara. Dia tidak meng-ashabahi saudari seayah karena dia sendiri tidak bisa mengakibatkan saudarinya mendapatkan ashabah, tidak pula meng-ashabahi bibinya dari pihak ibu.

a.   Saudara dan Saudari Seibu

Satu saudara/saudari seibu mendapatkan bagian seperenam; sedangkan dua atau lebih saudara/saudari seibu mendapatkan sepertiga. Allah SWT berfirman, “Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara (seibu) atau seorang saudari (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudari seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu,” (QS. an-Nisa [4]: 12).

 

b.   Ashabah ma’al Ghair

Saudari kandung atau seayah bila bersama dengan beberapa anak perempuan atau beberapa cucu perempuan dari anak laki-laki, mereka mendapatkan sisa harta warisan (ashabah), sama seperi saudaranya. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud ra ditanya tentang hak waris anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan saudari, dia menjawab, “Dalam kasus ini aku pasti menghukumi sesuai keputusan yang telah dikeluarkan oleh Rasulullah, yaitu anak perempuan mendapatkan seperdua, cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam, dan sisanya diberikan kepada saudari mayat.”

Sisi positif saudari kandung mendapatkan sisa harta warisan yaitu, apabila saudari kandung berkumpul dengan anak perempuan kandung atau cucu perempuan dari anak laki-laki, atau bersama keduanya dan beberapa saudari seayah, maka dia menggugurkan hak waris beberapa saudari seayah, seperti halnya saudara kandung.

c.    Anak Laki-Laki Saudara (Keponakan)

Hak waris anak laki-laki saudara kandung atau seayah sama seperti ayahnya, baik ketika berkumpul maupun sendiri. Perbedaannya adalaha sebagai berikut.

Pertama, keberadaan mereka tidak mengubah warisan ibu dari sepertiga menjadi seperenam. Karena, Allah SWT memberikan ibu bagian sepertiga jika tidak terdapat para saudara, dan mereka tidak sama dengan anak-anaknya.

Kedua, anak laki-laki saudara kandung tidak berhak menerima warisan bila terdapat kakek, justru hak warisnya gugur oleh kakek. Sebaliknya ayah mereka mendapatkan warisan bersama kakek, karena kakek seperti saudara, mengingat keduanya memperoleh bagian yang sama rata saat ada.

Ketiga, anak laki-laki saudara kandung tidak berhak menerima waris dalam kasus musyarakah, lain halnya dengan ayah mereka yang sekandung. Sebab, landasan tasyrik adalah kerabat ibu.

Demikianlah tiga titik perbedaan antara anak laki-laki saudara dan ayah mereka.

d. Paman dari Ayah (‘Amm)

Hak waris paman dari ayah (‘amm) yang sekandung atau seayah sama dengan saudara dari dua sisi, baik ketika berkumpul maupun sendiri. Hak waris anak laki-laki paman dari ayah yang sekandung atau seayah sama seperti ‘amm sekandung atau seayah, asalkan dia tidak ada, seperti halnya anak-anak saudara.

Ahli waris ashabah lainnya seperti anak laki-laki dari anak laki-lakinya ‘amm, anak laki-laki dari anak lakinya saudara, dan seterusnya bisa diqiyaskan dengan paman dari ayah.

2. Ahli Waris Ashabah

Ashabah secara bahasa adalah jalur kekerabatan laki-laki pada ayahnya seperti paman dari ayah dan anak laki-laki paman dari ayah. Secara syara’ ashabah adalah orang yang tidak mendapatkan bagian pasti (fardan) yang telah ditentukan, melainkan mendapatkan sisa harta warisan. Ahli waris ashabah kadang berhak memperoleh seluruh tirkah (harta warisan) bila jika ahli warisnya hanya dia seorang diri, dan kadang mendapatkan sisa tirkah yang telah dibagikan kepada ashhabul furudh sesuai ketentuan syara’.

Ashabah ada dua macam; sababiyah dan nasabiyah.

a. Ashabah Sababiyah

Ashabah sababiyah adalah hak waris ashabah yang dimiliki oleh tuan karena telah memerdekakan budaknya. Hak waris ini terus berlanjut kepada ahli waris ashabah bin nafsi majikannya secara berurutan. Inilah yang dinamakan waris ‘. Yaitu bila seseorang (mantan hamba sahaya) meninggal dan tidak mempunyai ahli waris ashabah dari jalur nasab namun masih ada tuan yang memerdekannya, maka tuan ini, baik laki-laki maupun perempuan, berhak memperpleh seluruh tirkah atau sisa tirkah yang telah dibagikan kepada ashabul furudh.

Ketentuan di atas mengacu pada hadits yang bersifat umum, “Wala’ bagi tuan yang memerdekakan, Pemberian hak merdeka kepada budak bisa dilakukan oleh tuan laki-laki atau perempuan, karena itu hak mereka dalam waris wala’ pun sama, sesuai ijma’ ulama.

Penerimaan hak waris wala’ ini disyaratkan tidak terdapat ahli waris ashabah dari jalur nasab, sesuai hadits, “Wala adalah segenggam daging seperti daging nasab. Dalam hadits ini wala’ diserupakan dengan nasab, dan kita tahu bahwa bahwa obyek yang diserupakan (musyabah) bukanlah obyek yang diserupai (musyabah bih).

b.  Ashabah Nasabiyah

Yaitu hak waris ashabah yang murni melalui jalur nasab. Mereka adalah para kerabat laki-laki mayat yang silsilah nasabnya tidak dipisahkan oleh perempuan, semisal anak laki-laki, ayah, saudara, dan paman dari ayah, saudari dengan saudaranya, dan saudari bersama seorang anak perempuan. Ketentuannya mereka memperoleh sisa tirkah yang telah dibagikan kepada ashabui furudh.

Apabila dalam silsilah nasab kepada mayat ditengahi oleh perempuan, mereka masuk dalam kelompok dzawil arham, seperti ayahnya ibu (kakek), anak laki-laki dari anak perempuan (cucu) atau termasuk ashabul furudh, seperti saudaranya ibu (paman).

Dasar hukum waris ashabah yaitu firman Allah SWT, “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepada kalian tentang (pembagian warisan untuk) anak-anak kalian, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan,” (QS. an-Nisa’ [4]: 11). Kemudian Allah SWT menjelaskan bagian yang diperoleh oleh ayah, ibu, dan lainnya. Penjelasan tersebut mengindikasikan bahwa anak mendapatkan sisa tirkah setelah ayah dan ibu memperoleh bagiannya.

 Ashabah nasabiyah ada tiga macam

Pertama, ashabah bin nafsi yaitu setiap laki-laki yang mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat kepada mayat dan dalam jalur nasabnya tidak diselingi oleh perempuan. Ashabah bin nafsi ada empat jalur yang derajatnya tidak sama. Mereka semua berjumlah dua belas orang, dengan perincian sebagai berikut :

(i)                 Jalur anak (bunuwwah), yaitu keturunan mayat yang mencakup anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki), dan seterusnya ke bawah.

(ii)               Jalur ayah (ubuwwah), yaitu orang tua mayat yang meliputi ayah, ayahnya ayah (kakek) dan seterusnya ke atas.

(iii)             Jalur saudara (ukhuwwah), yaitu anak-anak dan ayahnya mayat yang mencakup saudara kandung atau seayah dan anak laki-lakinya saudara kandung atau seayah (keponakan).

(iv)             Jalur paman (umumah), keturunan dari kakeknya mayat mencakup paman dari ayah yang sekandung atau seayah, anak laki-laki paman dari ayah yang sekandung atau seayah, dan seterusnya ke bawah. Selanjutnya adalah paman dari ayah yang sekandung atau seayah, anak laki-laki paman dari ayah yang sekandung atau seayah, anak laki-laki paman dari ayahnya (anaknya kakek) dari jalur ayah yang sekandung atau seayah kemudian pamannya kakek (buyut) dari jalur ayah lalu anak laki-lakinya.

Secara prioritas ashabah dari jalur anak didahulukan dari jalur bapak, lalu dari jalur saudara, dan terakhir dari jalur paman.

Standar prioritas yang digunakan untuk menentukan ahli waris ashabah mana yang lebih berhak pertama adalah jihhah (kerabat yang bernasab kepada mayat melalui jalur), lalu kedua bi qurbil darajah (kerabat yang bernasab kepada mayat berdasarkan kedekatan derajatnya), dan kemudian bi quwwatil qarabah (kerabat yang bernasab kepada mayat berdasarkan kekuatan kedekatan dengan mayat).

Kedua, ashabah bil ghair yaitu setiap ahli waris perempuan yang mendapatkan bagian pasti dan mendapatkan sisa karena bersama dengan ahli waris laki-laki yang sederajat dengannya.

Ashabah bil ghair ini terjadi pada ahli waris perempuan yang mendapatkan seperdua ketika sendirian dan dua pertiga ketika jumlahnya lebih dari satu orang. Mereka ada empat kelompok yaitu; (i) anak perempuan bersama anak laki-laki yang sederajat; (ii) anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) bersama anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki) yang sederajat, (iii) saudari kandung bersama saudara kandung, dan (iv) saudari seayah bersama saudara seayah.

Ketiga, ashabah ma’al ghair, setiap perempuan yang mendapatkan sisa tirkah karena bersama ahli waris perempuan lainnya. Ashabah ma’al ghair mempunyai dua pola; (i) saudari kandung bersama dengan anak perempuan atau anak perempuannya anak laki-laki (cucu perempuan); dan (ii) saudari seayah bersama dengan anak perempuan atau anak prempuannya anak laki-laki (cucu perempuan). Dalam kasus ini perempuan kandung berhak atas warisan bersama mu’ashib-nya seperti, saudara seayah, dan menghalangi hak waris saudara-saudara seayah. Demikian pula, saudari seayah mendapat hak waris ashabah bersama mu’ashib-nya seperti saudara seayah, dan menghalangi hak waris anak laki-lakinya saudara kandung dan ahli waris setelahnya.

G.  Hak Waris Dzawil Arham

         Dzawil arham adalah seluruh kerabat yang tidak mendapatkan bagian pasti dan sisa. Mereka adalah:

1)     Kakek dan nenek yang tidak menerima waris karena dihalangi oleh ahli waris lainnya

2)     Anak-anak dari anak perempuan (cucu)

3)     Anak-anak saudari (keponakan)

4)     Anak laki-lakinya saudara seibu

5)     Paman dari ayah yang seibu

6)     Anak perempuannya paman dari ayah

7)     Bibi dari ayah, saudari, dan bibi dari ibu.

Mengenai pewarisan dzawil arham masih diperselisihkan para ulama. Setidaknya ada tiga pendapat tentang masalah ini, yaitu sebaga berikut.

1)     Sebagian ulama mengacu pada Madzhab Ahli Tanzil (selain Madzhab Hanafiyah menurut pendapat ma’tamad) bahwa dzawil arham menerima waris dengan cara menempatkan mereka di posisi orang tua (ushul) mereka yang berhak menerima warisan yaitu bapak/ibu, kakek, dan lainnya Dzawil arham memperoleh bagian tirkah atas nama orang tua nya seolah mereka masih hidup, berdasarkan prinsip firman Allah, “Bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan,” (QS.an-Nisa’ [4]: 11).

2)     Ulama lainnya mengacu pada Madzhab Ahli Qarabah, yaitu Madzhab Hanafiyah. Madzhab ini memprioritaskan kerabat terdekat mayatlah yang lebih berhak atas waris, kemudian orang yang setelahnya, diqiyaskan dengan ahli waris ashabah. Pewarisan dalam madzhab ini berdasarkan derajat kedekatan kepada mayat sebagaimana ahli waris ashabah. Tata cara yang kedua ini diberi nama Ahli Qarabah karena yang menerima warisan adalah mereka yang paling dekat kerabatnya, kemudian diikuti oleh ahli waris yang setelahnya.

3)     Sebagian ulama lainnya mengacu pada Madzhab Ahli Rahim atau Madzhab Taswiyah yaitu seluruh dzawil arham mendapatkan harta peninggalan secara sama rata. Tidak ada perbedaan antara kerabat yang dekat atau jauh, laki-laki atau perempuan, karena mereka menerima waris atas dasar rahimiyah yang dalam nal ini mereka semua sama.

Imam Nawawi menyatakan bahwa pendapat yang paling benar dan paling tepat qiyasnya adalah Madzhab Ahli Tanzil. Wallahu a’lam.

Ulama sepakat bahwa dzawil arham, dari jalur anak dan jalur saudara mendapatkan seluruh harta peninggalan mayat ketika sendirian, baik laki-laki maupun perempuan. Perbedaan hanya terjadi manakala dzawil arham lebih dari satu orang.

Madzhab Ahli Tanzil mengecualikan dzawil arham paman dari ibu dan bibi dan ibu. Menurutnya, mereka menempati posisi ibu. Begitu juga paman dari ayah dan bibi dari ayah menempati posisi ayah. Jika seseorang yang wafat dengan meninggalkan bibi dari ibu dan bibi dari ayah, bibi dari ibu mendapatkan sepertiga dengan menempati posisi ibu dan bibi dari ayah mendapatkan dua pertiga dengan mengganti posisi ayah yang juga mendapatkan sisa tirkah.

Kaidah Ahli Tanzil berkonsekuensi menempatkan anaknya anak perempuan (cucu) pada posisi anak perempuan, anak saudara di posisi saudara, dan anak paman diposisi paman. Contoh kasus, orang yang wafat meninggalkan anak perempuannya anak perempuan (cucu perempuan), anak perempuannya saudara, dan anak perempuannya paman dari ayah. Maka, menurut kaidah ini, berarti mayat meninggalkan anak perempuan, saudara, dan paman dari ayah. Jadi, harta peninggalan hanya dibagi kepada anak perempuan dan saudara saja sebab paman tidak berhak menerima waris karena terhalang oleh saudara. Artinya, cucu perempuan mendapat bagian ibunya yaitu seperdua dan anak perempuannya saudara memperoleh bagian ayahnya: seperdua sebagai ashabah.

Seseorang yang wafat dengan meninggalkan anak laki-lakinya anak perempuan (cucu laki-laki), anak perempuan dari anak perempuannya anak laki-laki (cicit perempuan), anak perempuannya saudari kandung, anak perempuannya saudari seayah. Maka, asal masalahnya enam karena kita mengumpamakan mayat meninggalkan anak perempuan, anak perempuannya anak laki-laki (cucu perempuan), saudari kandung, dan saudari seayah. Anak perempuan mendapatkan seperdua, tiga bagian; cucu perempuan mendapatkan seperenam, satu bagian; dan saudari kandung mendapatkan sisa, dua bagian; sedangkan saudari seayah tidak memperoleh bagian. Seluruh bagian tersebut dibagikan kepada anak-anak mereka (dzawil arham), seolah mereka wafat dengan meninggalkan anak-anaknya.

H. Hak Waris Orang yang Dipermasalahkan (Musytabih Fihim)

Orang yang hak warisnya dipermasalahkan ada enam. Tiga orang termasuk ashabul furudh dan tiga lainnya dari golongan ahli waris ashabah. Penjelasannya sebagai berikut.

1. Hak waris istri yang diceraikan suaminya yang sakit parah (dalam kondisi kritis)

Apabila seorang istri ditalak ba’in oleh suaminya yang sakit parah (kritis), menurut pendapat shahih, si istri tidak berhak menerima waris. Dengan demikian dia telah berstatus tertalak ba’in (bainunah) sebelum kematian suaminya sehingga hak warisnya hilang. Kasus ini seperti talak dalam kondisi sehat.

Apabila istri menggugat cerai dan gugatannya dikabulkan oleh suami maka istri tidak berhak menerima waris, sebab suami bukan tertuduh.

Jika suami menta’lik talak istri dalam keadaan sehat dengan kondisi tertentu yang dapat terjadi sebelum sakit, lalu kondisi itu terjadi saat sakit, maka istrinya tidak berhak mendapatkan warisan, karena suami tidak tertuduh mewujudkan kondisi tersebut.

Apabila suami menta’lik talak istri dalam kondisi sakit parah dengan mengerjakan sesuatu yang bisa ditinggalkan, lalu dia melakukannya, maka istri tidak mendapatkan hak waris, karena suami tidak tertuduh dalam masalah waris istrinya. Demikian juga, menurut pendapat shahih, istri tidak mendapatkan warisan jika melakukan perbuatan yang tidak mungkin ditinggalkan seperti shalat dan sebagainya.

Apabila suami menuduh zina (qadf) istri dalam kondisi sehat kemudian meli’annya saat sakit, istri tidak berhak menerima waris, sebab suami perlu melakukan li’an untuk terhindari hukuman hadd. jadi suami tidak dikenai tuduhan.

Apabila suami mem-fasakh pernikahan saat kondisi kritis sebab suatu aib, menurut pendapat rajih istrinya tidak berhak mendapatkan warisan karena jika pernikahan itu dipertahankan dapat menimbulkan efek negatif. Apabila suami menalak istrinya dalam kondisi kritis, kemudian sembuh lalu meninggal; atau suami menalak istrinya dalam kondisi sakit kemudian istri murtad, namun kembali lagi masuk Islam dan kemudian suaminya meninggal, maka istri tidak berhak mendapatkan hak waris karena istri telah melakukan sesuatu yang andaikata suami meninggal (dalam hal ini murtad), dia tidak berhak mendapatkan waris.

2. Hak waris orang yang tewas karena tenggelam atau tertimbun

Apabila dua orang yang saling mewarisi tewas tenggelam atau tertimbun, penjelasan hukumnya sebagai berikut.

Jika diketahui siapa yang lebih dulu tewas tapi kemudian lupa, pembagian warisan ditangguhkan dulu hingga ingat, karena bisa diharapkan akan ingat kembali, sebagaimana penjelasan di depan.

Jika diketahui bahwa keduanya tewas secara bersamaan, atau tidak diketahui siapa yang lebih dulu tewas, atau diketahui siapa yang lebih dulu tewas tapi tidak diketahui pasti personalnya, maka warisan masing-masing korban diberikan kepada ahli warisnya yang masih ada. Mereka tidak bisa saling mewarisi, sebab status siapa yang lebih dulu tewas belum jelas, seperti halnya janin yang terlahir dalam kondisi tak bernyawa.

3. Hak waris tahanan dan orang hilang

Apabila seseorang dipenjara atau hilang dan tidak diketahui kabarnya (masih hidup atau sudah mati) maka hartanya tidak boleh diwariskan sebelum berlalu waktu di mana orang yang sebaya dengannya tidak mungkin masih hidup. Jika pewarisnya meninggal dunia, tirkah dibagikan kepada ahli waris yang ada, sementara sisanya ditangguhkan hingga keadaannya diketahui.

4.         Hak waris istri yang dili’an (mula’anah)

Apabila suami meli’an istri dan menafikan nasab anaknya maka hubungan pewarisan keduanya (ayah dan anak) terputus, sebab keduanya sudah tidak ada hubungan nasab. Sedangkan hubungan pewarisan antara ibu (istrinya yang telah dili’an) dan anak masih terjalin, mengingat mereka masih mempunyai ikatan nasab. Jika anak tersebut meninggal dan tidak ada ahli waris lain selain ibu maka ibunya memperoleh sepertiga tirkah.

Apabila istri melahirkan dua anak kembar lalu suaminya tidak mengakui mereka dengan li’an, kemudian salah satunya wafat (meninggalkan ibu dan saudara kembarnya), maka menurut pendapat shahih, anak yang masih hidup mewarisi harta peninggalan saudaranya dalam posisi sebagai saudara seibu. Antara mereka berdua tidak ada ikatan nasab dari jalur ayah. Jadi bila mengacu pada ketentuan ini mereka tidak bisa saling mewarisi (jika salah satunya meninggal). Hal ini sama seperti dua anak kembar yang lahir diluar nikah (zina), ketika salah satunya meninggal.

5. Hak waris khuntsa (waria)

Jika ahli waris seorang khuntsa -berkelamin ganda- maka apabila diketahui ternyata laki-laki, dia berhak atas warisan sebagai ahli waris laki-laki. Sebaliknya, apabila diketahui ternyata perempuan, dia memperoleh warisan sebagai ahli waris perempuan. Namun, bila tidak diketahui jenis kelaminnya (khuntsa musykil) dia memperoleh warisan sebagai ahli waris perempuan. Walhasil, dia berhak mendapatkan setengah tirkah, bila seorang diri; jika mempunyai anak, dia mendapat sepertiga dan anaknya setengah, sebab ini sudah pasti benar, sedangkan seperenam tirkah ditangguhkan pembagiannya karena masih diragukan.

5.Hak waris janin

Apabila seorang pria wafat dengan meninggalkan janin yang masih dikandung, dan mempunyai ahli waris selain janin tersebut, solusi hukumnya sebagai berikut.

Jika ahli waris tersebut mempunyai bagian pasti (ashabul furudh), seperti istri, dia mendapat bagian sebagaimana mestinya dan sisa tirkah ditangguhkan sampai identitas dan jumlah janin jelas.

Jika ahli waris tidak mempunyai bagian pasti (ashabah), anak misalnya, semua harta peninggalan ditangguhkan dulu (tidak langsung dibagi), karena belum diketahui berapa jumlah dan identitas seksual janin yang dikandung.

Bayi yang baru lahir dan telah mengeluarkan tangisan keras dan sebagainya berhak menerima warisan. Namun, bila bayi itu lahir dalam keadaan mati, dia tidak berhak mendapat hak waris. Sebab kita tidak tahu apakah dia memang menjadi ahli waris saat pewarisnya meninggal.

I. Asal Masalah,  ‘Aul, Metode Penghitungan Warisan, dan Munasakhah

1. Penghitungan Warisan

Ahli waris kadang terdiri dari satu golongan dan kadang dua golongan.

a. Satu golongan

Ahli waris satu golongan terdiri dari ahli waris ashabah. Dalam kasus ini semua harta peninggalan dibagikan sama-rata jika seluruhnya laki-laki, seperti beberapa anak laki-laki, saudara, atau paman dari ayah bukan seibu, atau seluruhnya perempuan seperti tiga orang perempuan yang memerdekakan seorang hamba sahaya (dalam kasus waris wala’).

b. Dua golongan

Apabila ahli waris senasab terdapat dua golongan, laki-laki dan perempuan, misalnya dua anak laki-laki dan dua anak perempuan, cara menghitungnya, satu laki-laki sebanding dua perempuan (laki-laki dua kepala sedangkan perempuan satu kepala). Jumlah bilangan kepala ini menjadi asal masalah, yaitu bilangan yang digunakan untuk menghitung bagian mereka.

Ahli Waris Ashabah dan Ashabul Furudh

Apabila ahli waris terdiri dari ashabah dan satu ashabul furudh seperti anak perempuan dan paman dari ayah, atau dua orang ashabul furudh yang mempunyai bagian yang sama, maka asal masalah diambil dari bilangan penyebut pecahan tersebut. Bilangan penyebut seperdua (1/2) adalah dua (2), penyebut sepertiga (1/3) tiga (3), penyebut seperempat (1/4) empat (4), penyebut seperenam (1/6) enam (6), dan penyebut seperdelapan (1/8) adalah delapan (8).

Apabila ahli waris terdiri dua ashabul furudh yang berbeda maka asal masalah diambil dengan cara menghitung dua penyebut tersebut, bisa dengan cara tadakhul, tawafuq, atau tabayun.

1. Dalam kasus tadakhul asal masalah diambil dari bilangan penyebut yang paling besar, seperti seperenam dan sepertiga. Misalnya, ahli waris terdiri dari ibu, saudara seibu, dan paman dari ayah. Ibu mendapat sepertiga, saudara seibu seperenam, dan sisanya bagian paman dari ayah. Asal masalahnya enam, sebab bilangan penyebut bagian pasti (fardh) yang paling besar adalah seperenam. Sepertiga masuk dalam seperenam.

Ahli Waris

Hak Waris

Asal Masalah

Siham

Keterangan

Ibu 1/3 6 2 6:3=2×1=2
Saudara Seibu 1/6 1 6:6=1×1=1
Paman dari ayah Sisa 3 Sisa dari siham yang diperoleh oleh ibu dan saudara seibu

2. Tawafuq, jika antara dua bilangan penyebut terdapat kesesuaian maka wifq (setengah nilai penyebut) salah satunya dikalikan pada penyebut yang lain. Hasil perkalian ini menjadi asal masalah, seperti seperenam dan seperdelapan.

Contohnya, ahli waris terdiri dari ibu, istri, dan anak laki-laki. Ibu mendapatkan seperenam, istri seperdelapan, dan sisanya menjadi bagian anak laki-laki. Enam dan delapan, yang diperoleh dari bilangan penyebut masing-masing, terjadi tawafuq. Asal masalah diperoleh dari mengalikan wifq salah satu penyebut pada penyebut lainnya. Dalam kasus ini berarti 3×8 = 24 atau 4×6 = 24.

Ahli Waris

Hak Waris

Asal Masalah

Siham

Keterangan

Ibu 1/6 24: (6:2 = 3) (8:2 = 4) Maka (6×4) = 24) atau (8×3) = 24) 4 24 : 6 = 4 x 1 = 4
Istri 1/8 3 24 : 8 = 3 x 1 = 3
Anak laki-laki Sisa (ashabah) 17 Sisa siham

3. Dalam kasus tabayun, kalikanlah penyebut dengan penyebut lainnya. Hasil perkalian itu menjadi asal masalah. Misalnya bagian sepertiga dan seperempat dalam ahli waris yang terdiri dari ibu, istri, dan saudara kandung. Ibu mendapatkan sepertiga, istri seperempat, sisanya untuk saudara kandung. Penyebut keduanya jelas tabayun, jadi asal masalahnya cukup dengan mengalikan penyebut yang satu pada yang lain, yaitu 3×4 = 12.

Ahli Waris

Hak Waris

Asal Masalah

Siham

Keterangan

Ibu 1/3 12 (3×4= 12) 4 12 :3 = 4x 1 =4
Istri 1/4 3 12:4=3×1=3
Saudara sekandung Sisa (ashabah) 5 Sisa siham

2. Asal Masalah

Asal masalah ada tujuh yaitu dua, tiga, empat, enam, delapan, dua belas, dan dua puluh empat.

Asal masalah yang bisa mengalami ‘aul -sebagaimana telah dipaparkan di depan- yaitu enam ‘aul menjadi tujuh dalam ahli waris suami dan dua saudari: suami mendapat setengah dan dua saudari dua pertiga. Jadi, 2×3 = 6 ‘aul menjadi 7.

Ahli Waris

Hak Waris

Asal Masalah

Siham

Keterangan

‘Aul

Suami 1/2 6 : (2×3-6) dengan cara tabayun 3 6:2= 3×1 = 3 Siham = 8 Asal masalah= 6 Aul = 2 Asal masalah baru = 8
2 saudari 2/3 4 6:3=2×2 = 4

Asal masalah enam ‘aul menjadi delapan, dalam ahli waris yang terdiri dari suami, dua saudari, dan ibu. Ibu memperoleh bagian pertiga dan dua saudari dua pertiga. Jadi, 2×3 = 6, ‘aul menjadi 8.

Ahli Waris

Hak Waris

Asal Masalah

Siham

Keterangan

‘Aul

Suami 1/2 6 : (2×3=6) Dengan cara tabayun atau tadakhul yaitu 6 3 6:2= 3×1 = 3 Siham = 8 Asal masalah= 6 ‘Aul = 2 Asal masalah baru = 8
2 saudari 2/3 4 6:3=2×2 = 4
Ibu 1/6 1 6:6= 1

Asal masalah enam ‘aul menjadi sembilan dalam ahli waris suami, dua saudari, ibu, dan saudara seibu. Suami mendapat setengah, dua saudari dua pertiga, ibu seperenam, dan saudara seibu seperenam. Jadi asalnya masalah 2×3 = 6, ‘aul menjadi 9.

Ahli Waris

Hak Waris

Asal Masalah

Siham

Keterangan

‘Aul

Suami 1/2 6 : (2×3-6) dengan cara tabayun atau tadakhul yaitu 6 3 6:2= 3×1 = 3 Siham = 9 Asal masalah= 6 ‘Aul = 3 Asal masalah baru = 9
2 saudari 2/3 4 6:3= 2×2 = 4
Ibu 1/6 1 6:6= 1
saudara seibu 1/6 1 Sisa dari siham suami, 2 saudara perempuan dan saudara seibu

Asal masalah enam bisa ‘aul menjadi sepuluh. Misalnya dalam ahli waris suami, dua saudari, ibu, dan dua saudara seibu. Ibu mendapat bagian seperenam, dua saudari sepertiga, saudara seibu dua pertiga. Asal masalahnya 2×3 = 6, ‘aul menjadi 10.

Ahli Waris

Hak Waris

Asal Masalah

Siham

Keterangan

‘Aul

Suami 1/2 6: (2×3-6) dengan cara tabayun atau tadakhul yaitu 6 3 6:2= 3×1 = 3 Siham = 10 Asal masalah= 6 ‘Aul = 4 Asal masalah baru = 10
2 saudari 2/3 4 6:3=2×2 = 4
Ibu 1/6 1 6:6= 1
2 saudara seibu 1/6 4 6:3=2

Selanjutnya, asal masalah dua belas bisa ‘aul menjadi tiga belas, seperti dalam ahli waris istri, ibu, dua saudari kandung. Istri mendapat bagian seperempat, ibu seperenam, dan dua saudara kandung dua pertiga. Asal masalahnya 4 x 3 = 12, dan ‘aul menjadi 13.

Ahli Waris

Hak Waris

Asal Masalah

Siham

Keterangan

‘Aul

Istri 1/4 12 (4×3=12) dengan cara tabayun 3 12:4 = 3×1=3 Siham = 13 Asal masalah= 12 ‘Aul = 1 Asal masalah baru = 13
Ibu 1/6 2 12:6=2×1=2
2 saudari sekandung 2/3 8 12:3=4×2=8

Asal masalah dua belas bisa juga ‘aul hingga lima belas, seperti dalam ahli waris istri, ibu, dua saudari kandung, saudara seibu. Istri mendapat bagian seperempat, ibu seperenam, dua saudari kandung dua pertiga, dan saudara seibu mendapat bagian seperenam. Asal masalahnya 3×4 = 12, ‘aul menjadi 15.

Ahli Waris

Hak Waris

Asal Masalah

Siham

Keterangan

‘Aul

Istri 1/4 12 (4×3=12) Dengan cara tabayun 3 12:4 = 3×1=3 Siham = 15 Asal masalah= 12 ‘Aul = 3 Asal masalah baru = 15
Ibu 1/6 2 12:6=2×1=2
2 Saudari sekandung 2/3 8 12:3=4×2=8
Saudara seibu 1/6 2 12:6=2×1=2

Asal masalah dua belas juga ‘aul hingga tujuh belas, seperti ahli waris yang telah disebutkan di atas (lihat tabel kasus asal masalah dua belas ‘aul menjadi lima belas) ditambah saudara seibu lainnya (misalnya ayah pewaris menikahi lebih dari satu perempuan). Dia mendapatkan seperenam. Asal masalahnya 4 x 3 = 12, dan ‘aul menjadi 17.

Ahli Waris

Hak Waris

Asal Masalah

Siham

Keterangan

‘Aul

Istri 1/4 12 (4×3=12) Dengan cara tabayun 3 12:4 = 3×1=3 Siham = 17 Asal masalah= 12 ‘Aul = 5 Asal masalah baru = 17
Ibu 1/6 2 12:6=2×1=2
2 Saudari sekandung 2/3 8 12:3=4×2=8
Saudara seibu (dari istri pertama) 1/6 2 12:6=2×1=2
Saudara seibu (dari istri pertama) 1/6 2 12:6=2×1=2

Asal masalah dua belas ‘aul hingga tujuh belas juga terjadi dalam kasus umm al-aramil. Yakni jika seseorang wafat dengan meninggalkan tiga orang istri, dua nenek, empat saudari seibu, dan delapan saudari seayah. Mereka mendapatkan siham 17 yang dibagi secara rata, 3 + 2 + 4 + 8 = 17.

Ahli Waris

Hak Waris

Asal Masalah

Siham

Keterangan

‘Aul

3 Istri 1/4 12 (4×3=12) Dengan cara tabayun 3 12:4 = 3×1=3 Siham = 17 Asal masalah= 12 ‘Aul = 5 Asal masalah baru = 17
2 Nenek 1/6 2 12:6=2×1=2
4 Saudari seibu 1/3 4 12:3=4×1 = 4
8 Saudari seayah 2/3 8 12:3=4×2=8

Adapun asal masalah dua puluh empat dapat ‘aul menjadi dua puluh tujuh, seperti dalam ahli waris yang terdiri dari dua anak perempuan, ayah dan ibu, dan istri. Dua anak perempuan mendapat bagian sepertiga (sihamnya 16), dua ayah mendapat sepertiga (sihamnya 8), dan istri seperdelapan (sihamnya 3). Asal masalahnya 24, dan ‘aul menjadi 27.

Ahli Waris

Hak Waris

Asal Masalah

Siham

Keterangan

‘Aul

2 Anak  perempuan sekandung 2/3 24 (8×3=24) dengan cara tabayun 16 24:3=8×2=16 Siham = 27 Asal masalah= 24 ‘Aul = 3 Asal masalah baru = 27
Ayah dan Ibu 1/3 8 24:3=8×1=8
Istri 1/8 3 24:8=3×1=3

3. Definisi Tamatsul, Tadakhul, Tawafuq dan Tabayun

Jika dua bilangan penyebut nilainya sama (tamatsul) -seperti tiga dengan tiga diambil dari penyebut sepertiga dan dua pertiga dalam ahli waris yang terdiri dari dua anak seibu dan dua saudari kandung- cara menentukan asal masalah sudah jelas. Yaitu cukup dengan mengambil salah satunya. Dua bilangan yang sama (mutamatsilain) adalah dua bilangan yang jika salah satunya dibagi dengan yang lain ia akan habis dalam sekali pembagian.

Apabila dua bilangan penyebut nilainya berbeda, dan bilangan yang lebih besar habis dibagi dengan bilangan yang lebih kecil dengan dua kali atau lebih pembagian, kondisi ini dinamakan mutadakhal (dua bilangan yang membagi habis), seperti tiga dan enam, tiga dan sembilan, atau tiga dan lima belas. Enam habis dibagi tiga dengan dua kali pembagian, sembilan habis dibagi tiga dengan tiga kali pembagian, dan lima belas habis dibagi tiga dengan lima kali pembagian. Dinamakan tadakhul karena bilangan yang lebih kecil masuk pada bilangan yang lebih besar. Asal masalah dalam kasus tadakhul diambil dari bilangan paling besar.

Selanjutnya jika ada dua bilangan yang berbeda dan tidak bisa dibagi hingga habis kecuali oleh bilangan ketiga, ini disebut tawafuqan bil juz (saling berkesesuaian dengan bantuan bilangan lain), seperti empat dan enam. Empat tidak bisa membagi habis enam, begitu juga sebaliknya. Bilangan ketiga yang bisa membagi habis keduanya adalah dua. Lalu kalikanlah setengah nilai salah satu penyebut (bilangan penyebut dibagi dua/wifq) dengan penyebut yang lain.

Kita ketahui, enam dibagi empat menyisakan dua, dan dua dapat membagi habis empat. Jadi dualah yang membagi habis kedua penyebut itu, dan bilangan ini (dua) di luar empat dan enam. Seandainya kedua penyebut bisa dibagi habis dengan tiga maka muwafaqah-nya dengan sepertiga. Asal masalah dalam kasus muwafah diambil dari pengalian wifq (bilangan hasil pembagian penyebut dengan bilangan ketiga) dengan salah satu penyebut. Dalam hal ini, wifq enam adalah tiga dan wifq empat, dua: 3×4 atau 2×6 = 12.

Jika dua bilangan penyebut tidak bisa dibagi habis dan hanya menyisakan satu, seperti tiga dan empat, ini dinamakan tabayun. Sebab salah satu penyebut hanya bisa dihabiskan dengan cara dikurangi sisa pembagian, yaitu satu. Asal masalah dalam kondisi tabayun diperoleh dari pengalian antar penyebut.

4. Tashhihul Masalah

Tashhihul masalah, metode penghitungan warisan dengan bilangan terkecil hingga seluruh ahli waris mendapatkan siham secara bulat, bukan pecahan. Karena itu metode ini dinamakan tashhih. Artinya, setiap ahli waris harus memperoleh bagiannya dalam bentuk bilangan bulat.

Apabila asal masalah telah diketahui dan siham dibagikan kepada seluruh ahli waris yang berhak, berarti penghitungan waris telah selesai dan tidak perlu ada pengalian. Misalnya, ahli waris terdiri dari suami dan tiga anak laki-laki: suami mendapat seperempat dan tiga anak laki-laki mendapat sisanya. Total sihamnya empat, setiap ahli waris mendapat satu.

Ahli Waris

Hak Waris

Asal Masalah

Siham

Keterangan

Suami 1/4 4 1 4:4 = 1×1 = 1
3 Anak laki-laki Sisa (ashabah) 3 Dibagi rata

Contoh lainnya ahli waris terdiri dari istri, tiga anak laki-laki, dan satu anak perempuan. Istri mendapat seperdelapan dan sisanya diberikan kepada anak-anak, pembagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Jadi asal masalahnya delapan. Istri menerima siham satu, anak perempuan mendapat siham satu, dan siham tiga anak laki tiga: masing-masing mendapatkan dua.

Ahli Waris

Hak Waris

Asal Masalah

Siham

Keterangan

Istri 1/8 8 1 8:8 = 1×1 =1
Anak perempuan Sisa (ashabah) 1 Setengah siham anak laki-laki
3 Anak laki-laki Sisa (ashabah) 6 Dibagi rata

Apabila satu golongan ahli waris memperoleh siham dalam bentuk bilangan pecahan, siham ini dibandingkan dengan jumlah kepala golongan ahli waris tersebut.

Jika siham dan jumlah kepala ahli waris terjadi tabayun, kalikanlah jumlah kepala tersebut dengan asal masalah atau dikalikan dengan ‘aulnya, bila terjadi ‘aul. Hasil perkalian ini menjadi asal masalah yang baru.

Contoh asal masalah yang tidak mengalami ‘aul seperti ahli waris yang terdiri dari istri dan dua saudara. Asal masalahnya empat. Siham istri satu, dan sisanya, tiga, diberikan kepada dua saudara (tiga dibagi dua hasilnya tidak bulat, pecahan). Solusinya, jumlah kepala saudara (dua) dikalikan empat (asal masalah), menjadi delapan.

Ahli Waris

Hak Waris

Asal Masalah

Siham

Keterangan

Istri 1/4 4 1 4:4 = 1×1 – 1
2 Saudara Sisa (ashabah) 3 Pembagian tiga dengan dua tidak menghasilkan bilangan bulat

Tashhihul Masalah

Istri 1/4 8 (Asal masalah [4] dikalikan jumlah kepala saudara [2]) 2 8:4=2×1=2
2 saudara Sisa (ashabah) 6 6:2= 3

Asal masalah yang terjadi ‘aul seperti terlihat dalam ahli waris yang terdiri dari suami dan lima saudari kandung. Suami mendapat seperdua dan lima saudari kandung mendapat dua pertiga. Jadi, asal masalahnya enam dan ‘aul menjadi tujuh. Suami memperoleh tiga, dan lima saudara mendapat empat, yang tentu tidak bisa dibagi secara bulat dan tidak terjadi tawafuq. Solusinya jumlah kepala dikalikan asal masalah yang telah di-‘aul-kan.

Ahli Waris

Hak Waris

Asal Masalah

Siham

Keterangan

Suami 1/2 6(karena jumlah siham lebih besar dari asal masalah [selisih satu], asal masalah ‘aul menjadi 7) 3 6:2= 3×1= 3
5 saudari sekandung 2/3 4 6:3= 2×2= 4 4:5= tidak bulat

Tashhihul Masalah

Suami 35 (asal masalah baru [7] dikalikan jumlah kepala [5]) 15 3×5=15
5 saudari sekandung 20 4×5= 20 Setiap saudari sekandung memperoleh 4 siham

Apabila siham salah satu ahli waris ber-muwafaqah dengan jumlah kepalanya maka kalikanlah wifq jumlah kepala tersebut dengan asal masalah -bila tidak terjadi ‘aul- atau dengan ‘aul-nya bila terjadi ‘aul.

Contoh susunan ahli waris yang tidak terjadi ‘aul, seperti ahli waris yang terdiri dari ibu dan empat paman dari ayah. Ibu mendapat sepertiga dan empat paman dari ayah mendapat sisanya. Berarti untuk ibu satu bagian dan dua bagian diberikan kepada empat paman dari ayah. Dua tidak bisa dibagi empat, tetapi keduanya terjadi tawafuq, yang bisa membaginya yaitu dua. Hasil pembagian dengan dua itu lalu dikalikan dengan asal masalah dan menjadi asal masalah baru.

Ahli Waris

Hak Waris

Asal Masalah

Siham

Keterangan

Ibu 1/3 3 1 3:3= 1×1= 1
4 Paman dari ayah Sisa (ashabah) 2 Dua tidak bisa dibagi empat. Karena terjadi tawafuq, kalikanlah wifq dengan asal masalah

Tashhihul Masalah

Ibu 1/3 6 (asal masalah lama [3] dikali wifq jumlah kepala paman dari ayah [2]) 2 6:3=2×1=2
4 paman dari ayah Sisa (ashabah) 4 Masing-masing mendapat 1 siham

Contoh kasus yang mengalami ‘aul yaitu ahli waris terdiri dari suami, orang tua (ibu dan ayah), dan enam anak perempuan. Suami mendapat seperempat, orang tua mendapatkan bagian sepertiga, dan enam anak perempuan mendapat dua pertiga. Asal masalahnya dua belas, dan ‘aul menjadi lima belas. Ini menyebabkan bagian anak perempuan tidak genap. Namun jumlah kepalanya (6) ber-muwafaqah dengan sihamnya (8), karena itu kalikanlah wifq jumlah kepala dengan asal masalah yang telah di-‘aul-kan: 3×15 = 45.

Ahli Waris

Hak Waris

Asal Masalah

Siham

Keterangan

‘Aul

Suami 1/4 12 dengan cara tabayun 3 12:4 = 3×1=3 Siham = 15 Asal masalah= 12 ‘Aul = 3 Asal masalah baru = 15
Orang Tua 1/3 4 12:3=4×1=4
6 Anak perempuan 2/3 8 12:3=4×2=8 delapan tidak bisa dibagi enam

Tashhihul Masalah

Suami 1/4 45 (asal masalah yang telah di-‘aul-kan [15] dikali wifq jumlah kepala anak perempuan [3]) 9 3×3 (wifq jumlah kepala anak perempaun)
Orang Tua 1/3 12 4×3
6 Anak perempuan 2/3 24 8×3

• Ahli Waris Terdiri dari Beberapa Golongan

Apabila siham dua golongan ahli waris tidak bulat, bandingkanlah siham masing-masing dengan jumlah kepala golongan yang bagiannya tidak bulat. Bila keduanya terjadi muwafaqah (dalam dua golongan atau salah satunya) ambillah wifq-nya. Bila tidak terjadi muwafaqah, dan kedua bilangan itu (siham dan jumlah kepala dua golongan atau salah satunya) terjadi tabayun, biarkanlah bilangan tersebut.

Selanjutnya, apabila jumlah kepala dua golongan itu terjadi tamatsul setelah dilakukan pengembalian setiap golongan pada wifq-nya, membiarkan apa adanya, atau mengembalikan salah satunya dan membiarkan yang lain, lalu kalikanlah salah satu bilangan yang sama tersebut dengan asal masalah -bila tidak ‘aul- atau kalikan dengan ‘aul-nya, apabila asal masalah mengalami ‘aul.    .

Apabila kedua jumlah kepala itu terjadi tadakhul, kalikanlah jumlah kepala yang paling besar dengan asal masalah, sebagaimana telah disinggung didepan.

Jika terjadi tabayun, kalikanlah jumlah kepala golongan yang satu dengan yang lain, lalu hasilnya dikalikan lagi dengan asal masalah -jika tidak terjadi ‘aul, atau dikalikan dengan ‘aul-nya jika terjadi ‘aul. Dengan tiga cara di atas pembagian siham terhadap beberapa golongan ahli waris akan menghasilkan bilangan yang bulat.

Contoh tawafuq antara dua golongan ahli waris dan jumlah kepalanya seperti, ibu, enam saudara seibu, dan dua belas saudari seayah. Ibu mendapat seperenam, enam saudara seibu sepertiga, dan dua belas saudari seayah dua pertiga. Semula asal masalahnya enam dan ‘aul menjadi tujuh. Saudara seibu mendapat dua siham yang bermuwafaqah dengan jumlah kepala. Wifq-nya tiga. Saudari mendapatkan empat siham yang bermuwafaqah dengan jumlah kepala mereka. wifq-nya tiga. Kemudian salah satu wifq ini dikalikan tujuh. Jadi asal masalahnya dua puluh empat.

Contoh kasus tadakhul seperti ahli waris yang terdiri dari ibu, delapan saudara seibu, dan delapan saudari seayah. Ibu mendapat seperenam, saudara seibu mendapat sepertiga, dan saudari seayah mendapat dua pertiga. Asal masalahnya enam. Hasilnya siham saudara seibu dua, dan siham saudari empat. Karena keduanya tadakhul, siham yang paling besar (4) dikalikan tujuh (asal masalah yang telah di-‘aul-kan). Asal masalah baru dua puluh delapan.

Contoh kasus tabayun seperti ahli waris yang terdiri dari ibu, dua belas saudara seibu, dan enambelas saudari kandung. Setelah melalui proses perbandingan dengan metode muwafaqah ditemukan bahwa wifq jumlah kepada saudara adalah empat dan wifq jumlah kepala saudari empat. Kemudian kalikanlah setengah nilai salah satu jumlah kepala tersebut pada yang lain, 3 x 4 atau 2 x6 = 12, lalu kalikan dengan tujuh (asal masalah yang telah di-‘aul-kan) hasilnya delapan puluh empat.

Contoh lain ahli waris terdiri dari ibu, enam saudara seibu, dan delapan saudari seayah. Ditemukan wifq jumlah kepala saudara adalah tiga, dan wifq saudari dua. Dua bilangan ini tabayun, karena itu kalikanlah salah satunya dengan yang lain. Hasilnya enam, lalu dikalikan tujuh (asal masalah yang telah di- ‘aul-kan, menjadi empat puluh dua.

Contoh di atas, yakni solusi permasalahan siham dua golongan ahli waris yang tidak bulat, dapat diqiyaskan pada kasus jumlah siham tiga golongan ahli waris yang tidak genap. Misalnya seperti ahli waris terdiri dari dua nenek, tiga saudara seibu, dan dua paman dari ayah. Asal masalahnya enam, dan di-tashhih menjadi tiga puluh enam. Dan juga diqiyaskan pada ketidakbulatan siham bagi empat golongan ahli waris, seperti dua istri, empat nenek, tiga saudara seibu, dan dua paman. Asal masalahnya dua belas, dan di-tashhih menjadi tujuh puluh dua.

Cara mengetahui besarnya bagian setiap ahli waris dari asal masalah yang telah di-tashhih adalah dengan mengalikan bagiannya dengan asal masalah yang lama. Hasil perkalian tersebut merupakan bagiannya, kemudian bagilah bagian itu kepada seluruh jumlah kepalanya.

5. Munasakhah

Munasakhah termasuk salah satu metode tashhihul masalah. Naskh secara bahasa berarti ‘membatalkan sesuatu’ atau ‘menghilangkannya’. Secara istilah munasakhah adalah metode penghitungan warisan ketika salah satu ahli waris meninggal sebelum warisan yang pertama dibagikan. Dinamakan munasakhah karena hak waris berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Munasakhah merupakan bahasan faraid yang rumit.

Apabila seseorang wafat meninggalkan beberapa ahli waris, kemudian salah satu ahli waris itu meninggal dunia sebelum warisan dibagikan maka solusinya sebagai berikut.

Jika ahli waris yang masih hidup merupakan ahli waris mayat pertama, mereka sajalah yang berhak mewarisi harta mayat kedua. Artinya, hak waris mereka dari mayat kedua seperti pewarisannya dari mayat pertama. Cara menghitungnya seolah mayat kedua tidak termasuk ahli waris mayat pertama. Misalnya ahli waris terdiri dari beberapa saudara dan beberapa saudara tidak seibu, atau terdiri dari beberapa anak laki-laki dan beberapa anak perempuan, kemudian salah satu dari mereka meninggal dunia. Karena harta itu diperoleh ahli waris dengan cara yang sama, maka ahli waris yang meninggal setelah mayat pertama seolah tidak ada.

Jika warisan mayat kedua tidak dapat dibagi pada ahli waris yang masih hidup, atau dapat dibagi tetapi terdapat perbedaan hak mereka dari mayat pertama dan kedua, hitunglah asal masalah mayat pertama, kemudian baru menghitung asal masalah mayat kedua.

Selanjutnya perhatikan, jika bagian mayat kedua dari asal masalah mayat pertama dapat dibagi pada asal masalah mayat kedua, tentu penghitungannya sudah jelas. Misalnya ahli waris terdiri dari suami dan dua saudari lain ibu, kemudian salah seorang saudari itu wafat dengan meninggalkan saudari dan seorang anak perempuan. Asal masalah pertama enam, lalu ‘aul menjadi tujuh. Asal masalah kedua, dua, karena bagian anak perempuan setengah, dan bagian ibunya dari mayat pertama, dua. Bagian tersebut dibagi pada mayat kedua dan anak perempuan (sebagai ahli waris mayat kedua).

Bilamana bagian mayat kedua dari asal masalah pertama tidak bisa dibagi kepada ahli waris kedua, ketentuannya sebagai berikut. Jika asal masalah kedua dan bagian mayat kedua terjadi muwafaqah, kalikanlah wifq asal masalah kedua dengan wifq asal masalah pertama. Misalnya, ahli waris terdiri dari dua nenek dan tiga saudari campuran (ada yang seayah dan yang sekandung). Kemudian salah satu dari saudara seibu wafat dengan meninggalkan saudari kandung (saudari seibu dari mayat pertama).

Seseorang wafat meninggalkan dua saudari kandung dan seorang nenek (yang juga menjadi ahli waris mayat pertama). Diketahui asal masalah pertama enam, lalu dibulatkan menjadi dua belas. Asal masalah kedua enam. Siham mayat kedua dari asal masalah pertama adalah dua. Hubungan dua asal masalah ini muwafaqah. Karena itu wifq asal masalah kedua, yaitu tiga, dikalikan asal masalah pertama, dua belas, dan hasilnya tiga puluh enam.

Pembagiannya, nenek dari masalah pertama mendapatkan siham sembilan (3×3); ahli waris pada masalah kedua mendapat satu siham dari masalah pertama, dan saudari kandung mendapat siham delapan belas (6 x 3) dalam masalah pertama, dan satu siham dari masalah kedua.

Apabila antara asal masalah pertama dan kedua tidak terjadi muwafaqah, melainkan hanya mubayanah, kalikanlah bagian masing-masing ahli waris dengan asal masalah pertama, sehingga hasilnya bulat.

Dapat disimpulkan bahwa ahli waris yang memperoleh bagian dari masalah pertama, dalam kasus munasakhah, bagian tersebut dikalikan dengan wifq asal masalah kedua atau dengan seluruhnya. Sebaliknya, ahli waris yang memperoleh bagian dari masalah kedua, kalikan bagiannya dengan asal masalah pertama, atau dikalikan dengan wifq-nya, jika antara asal masalah pertama dan bagiannya terjadi muwafaqah.

Contoh kasus, seseorang wafat meninggalkan istri, tiga anak laki-laki, dan satu anak perempuan. Kemudian anak perempuan itu wafat dengan meninggalkan ibu dan tiga saudara: mereka orang yang sama dalam masalah pertama. Asal masalah pertama delapan, dan asal masalah kedua dibulatkan menjadi delapan belas. Bagian mayat kedua (anak perempuan) dari asal masalah pertama tidak ber-muwafaqah dengan asal masalah pertama. Karena itu kalikanlah bagiannya dengan asal masalah pertama, dan hasilnya 144. Jadi istri dari masalah pertama mendapat bagian delapan belas dan dari masalah kedua mendapat tiga. Masing-masing anak laki-laki dari masalah pertama mendapatkan dua bagian, yaitu 36, dan dari masalah kedua mendapatkan bagian lima. Bilangan bulat yang dihasilkan dari dua masalah sama seperti masalah pertama.

Apabila ada ahli waris ketiga meninggal sebelum warisan pertama dibagikan, solusinya seperti penghitungan masalah mayat kedua, dan begitu seterusnya.

Contoh Penggunaan Tashhisul Masalah dalam Kasus Munasakhah

Perbandingan antara siham mayat kedua pada asal masalah pertama dengan asal masalah kedua menghasilkan satu dari tiga hal yaitu, mumatsalah, muwafaqah, dan mubayanah.

1. Mumatsalah; siham mayat kedua bisa dibagi dengan asal masalahnya, sehingga kedua asal masalah itu dapat dibulatkan.

Contoh kasus seseorang wafat meninggalkan suami, ibu, dan paman dari ayah (‘am). Asal masalahnya enam. Suami mendapat setengah, sihamnya tiga; ibu sepertiga, sihamnya dua; dan sisanya bagian paman dari ayah. Sebelum harta warisan itu dibagi, suami wafat meninggalkan tiga anak laki-laki.

Proses selanjutnya bandingkan siham suami dari pembulatan asal masalah pertama, yaitu tiga yang tentu dapat dibagi pada ahli warisnya secara bulat. Hasilnya dua asal masalah ini dapat dibulatkan, yaitu enam: ibu mendapatkan dua siham, paman dari ayah satu siham, dan tiga anak laki-laki mendapat tiga siham.

2. Mubayanah, siham mayat kedua tidak dapat dibagi kepada ahli warisnya.

Misalnya, kasus di atas, namun di sini suami yang wafat meninggalkan lima anak laki-laki. Tentu sihamnya tidak bisa dibagi langsung. Perbandingan lima dengan asal masalah pertama, enam, tergolong tabayun. Jadi kita tinggal mengalikan asal masalah kedua, lima, dengan asal masalah pertama, enam. Hasilnya tiga puluh. Dengan demikian kedua masalah tersebut dapat dibulatkan; siham ibu menjadi sepuluh (2 x 5), dan siham paman lima (1×5).

Cara di atas secara sederhana dapat dirumuskan, orang yang memperoleh siham dari pewarisan pertama (dalam contoh ini suami) bagiannya dikalikan dengan asal masalah kedua. Sementara orang yang memperoleh siham dari pewarisan kedua (dalam contoh ini lima anak laki-laki) jumlahnya dikalikan dengan siham pewarisnya (suami/ayah).

3. Muwafaqah; siham mayat kedua dalam asal masalah kedua ber-muwafaqah dengan sihamnya dalam asal masalah pertama dengan nilai pembagi tertentu, seperti dua atau tiga.

Contoh kasus, suami dalam komposisi ahli waris di atas, wafat meninggalkan enam anak laki-laki. Siham suami, tiga, tidak bisa dibagi kepada asal masalah kedua yaitu enam (menghitung jumlah kepala anak). Akan tetapi ada bilangan yang bisa membagi enam dan tiga, yaitu tiga. Selanjutnya, wifq asal masalah kedua, dua, dikalikan asal masalah pertama, enam, hasilnya dua belas. Dengan demikian, dua masalah tersebut dapat dibulatkan.

Singkatnya, orang yang mempunyai siham dalam asal masalah pertama (suami) dikalikan dengan wiq asal masalah kedua. Sebaliknya orang-orang yang memperoleh siham pada asal masalah kedua (enam anak laki-laki) dikalikan dengan wifq asal masalah petama.

Demikian penjelasan tentang Faraidh (Hukum Waris) Bag.2 yang Kami kutip dari Buku al-Fiqhu asy-Syafi’iy al-Muyassar, karya Prof. Dr. Wahbah Zuhaili

Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya

Dua Macam Berpikir, Karena Iman ...
الْفِكْرَةُ فِكْرَتَانِ فِكْرَةُ تَصْدِيْقٍ وَإِيْمَانٍ وَفِكْ...
Berpikir Adalah Pelita Hati
الْفِكْرَةُ سِرَاجُ الْقَلْبِ فَإِذَا ذَهَبَتْ فَلَا إِضَاءَةَ...
Pikirkan Makhluk-Nya
الْفِكْرَةُ سَيْرُ الْقَلْبِ فِى مَيَادِيْنِ الْأَغْيَارِ Berp...
Sangat terhina, waktu kosong tap...
الْخِذْلَانُ كُلَّ الْخِذْلَانِ اَنْ تَتَفَرَّغَ مِنَ الشَّوَا...
Orang Yang Diberkati Umurnya
مَنْ بُوْرِكَ لَهُ فِى عُمْرِهِ اَدْرَكَ فِى يَسِيْرٍ مِنَ الز...
Ada kalanya, Umur Panjang Tapi K...
رُبَّ عُمْرٍ اِتَّسَعَتْ امَادُهُ وَقَلَّتْ اَمْدَادُهُ وَرُبّ...

Anggota DINULQOYIM