Hari Raya Para Murid

وُرُوْدُ الْفَاقَاتِ اَعْيَادُ الْمُرِيْدِيْنَ

Tibanya saat-saat kemiskinan adalah sebagai hari raya bagi para murid (yang melatih diri bertaqarrub kepada Allah).

 

KEGEMBIRAAN manusia berbeda-beda. Kebanyakan orang muslim merasa senang kalau mendapatkan keinginan, syahwat dan tujuannya. Tetapi ada pula yang berbeda dengan kebanyakan manusia. Malah, ia berbahagia kalau tidak memperoleh keinginan, tidak menuruti syahwat dan gagal tujuannya. Ini keadaan orang orang khusus dari para murid yang sedang bersuluk dan melatih dirinya untuk bertaqarrub kepada Allah.

Saat-saat menyedihkan, ketika ditimpa cobaan dan kesulitan, adalah hari raya bagi para murid tersebut. Di saat itu mereka merasa sangat bahagia. Itu adalah saat terbaik dan kemenangan bagi mereka.

Ini disebabkan perhatian para murid itu hanya tertuju pada hati. Mereka berusaha menjaga dan membersihkan hatinya. Mereka terus memerangi hawa nafsunya. Dan pada saat mereka dalam kesulitan dan kesedihan itulah hati mereka menjadi bersih. Sebab, orang yang menderita itu banyak ingat dan kembali kepada Allah dan kesenangan duniawi itu bisa membuat orang lupa diri dari Allah.

Mereka menganggap saat-saat yang memilukan itu sebagai kemenangan bagi mereka. Sebab, orang yang tertimpa bala dan kesusahan itu menjadi hina dan rendah hati. Nafsu mereka menjadi tunduk dan terhina. Keberhasilan menundukkan nafsu inilah layak disebut sebuah kemenangan.

Oleh karena itu, para murid lebih memilih kemiskinan daripada kekayaan, dan kelaparan daripada kekenyangan, dan kerendahan daripada ketinggian, dan kehinaan daripada kemuliaan, dan kerendahan hati daripada kesombongan.

Abu Ishaq Ibrahim Al-Harawi berkata: “Siapa yang menghendaki untuk mencapai kemuliaan yang sebenarnya, maka hendaknya ia memilih tujuh dan meninggalkan tujuh lawannya. Sesungguhnya orang-orang saleh dahulu memilih tujuh ini sehingga mereka sampai ke puncak kemuliaan. Yaitu memilih kemiskinan daripada kekayaan, memilih kelaparan daripada kekenyangan, memilih kerendahan daripada ketinggian, memilih kehinaan daripada kemuliaan, memilih rendah hati daripada kesombongan, memilih kesusahan daripada kebahagiaan, dan memilih kematian daripada kehidupan.”

Para salihin itu rela memilih tujuh hal tersebut untuk mencapai cita-citanya. Sebab, kemuliaan, baik dunia atau akhirat, tidak bisa dicapai dengan bermalas-malasan dan santai serta banyak istirahat. Kemuliaan itu bisa dicapai dengan perjuangan dan kehinaan. Seseorang menjadi alim dan dimuliakan orang setelah ia bersusah payah mencari ilmu dan terhina dalam rangka meraih tujuannya. Begitupula banyak orang yang menjadi kaya setelah ia melewati kehinaan dan kerendahan diri. Tak beda halnya dengan itu kemuliaan akhirat, ia juga bisa diraih melalui penderitaan dan kehinaan.

Nabi Musa berusaha menenangkan kaumnya yang lama ditindas oleh kekejaman Firaun. Musa berkata kepada kaumnya, seperti yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya:

قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Musa berkata kepada kaumnya: “Wahai kaumku, mintalah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya bumi itu milik Allah yang diwariskan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya, dan kesudahan yang baik itu untuk orang-orang yang bertakwa.”(QS. Al-A’raf: 128)

Nabi Musa menasihati kaumnya bahwa dengan berdoa, memohon pertolongan Allah dan berjuang dengan penuh kesabaran maka kemenangan bisa diraih. Apa yang dikatakan Musa menjadi kenyataan. Akhirnya, setelah menjalani penderitaan yang panjang, kaum Musa meraih kemenangan. Fir’aun dan seluruh pasukannya ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan.

Orang yang mendapat kemuliaan melalui kehinaan diri dan kebutuhannya kepada Allah, setelah ia meraih kemuliaan itu tidak merasakan bahwa kemuliaan itu berasal dari usahanya. Akan tetapi ia merasa bahwa semuanya dari Allah. Ia tetaplah seorang hamba yang tidak memiliki daya apapun. Maka orang itu tidak merasa sombong diri.

Nabi Yusuf, seteleh ia mulia dan memberi makan satu negeri, tidak sombong. Bahkan ia menampakkan kehambaannya dengan kenyang satu hari dan lapar di hari berikutnya. Nabi Muhammad memilih menjadi nabiyyan abdan (nabi yang hamba) daripada menjadi nabiyyan malikan (nabi yang raja). Semuanya itu demi untuk menampakkan ubudiah kepada Allah. Sebab, semakin besar kadar ubudiah-nya (kehambaannya) kepada Allah, semakin besar pula nilai batin yang didapatnya.

Dikutip dari Buku al Hikam Mutiara Hikmah Kehidupan asuhan Habib Ahmad bin Husen Assegaf.

Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya

Dua Macam Berpikir, Karena Iman ...
الْفِكْرَةُ فِكْرَتَانِ فِكْرَةُ تَصْدِيْقٍ وَإِيْمَانٍ وَفِكْ...
Berpikir Adalah Pelita Hati
الْفِكْرَةُ سِرَاجُ الْقَلْبِ فَإِذَا ذَهَبَتْ فَلَا إِضَاءَةَ...
Pikirkan Makhluk-Nya
الْفِكْرَةُ سَيْرُ الْقَلْبِ فِى مَيَادِيْنِ الْأَغْيَارِ Berp...
Sangat terhina, waktu kosong tap...
الْخِذْلَانُ كُلَّ الْخِذْلَانِ اَنْ تَتَفَرَّغَ مِنَ الشَّوَا...
Orang Yang Diberkati Umurnya
مَنْ بُوْرِكَ لَهُ فِى عُمْرِهِ اَدْرَكَ فِى يَسِيْرٍ مِنَ الز...
Ada kalanya, Umur Panjang Tapi K...
رُبَّ عُمْرٍ اِتَّسَعَتْ امَادُهُ وَقَلَّتْ اَمْدَادُهُ وَرُبّ...

Anggota DINULQOYIM