Tidaklah Bercahaya Hati yang Bergambar Dunia

كَيْفَ يُشْرِقُ قَلْبٌ صُوَرُ الْأَكْوَانِ مُنْطَبِعَةٌ فِيْ مِرْآتِهِ, أَمْ كَيْفَ يَرْحَلُ إِلَى اللهِ وَهُوَ مُكَبَّلٌ بِشَهَوَاتِهِ, أَمْ كَيْفَ يَطْمَعُ أَنْ يَدْخُلَ حَضْرَةَ اللهِ وَهُوَ لَــمْ يَتَطَهَّرْ مِنْ جَنَابَةِ غَفَلاتِهِ, أَمْ كَيْفَ يَرْجُوْ أَنْ يَفْهَمَ دَقَائِقَ الْأَسْرَارِ وَهُوَ لَــمْ يَتُبْ مِنْ هَفَواتِهِ

Bagaimana akan terang hati seseorang yang gambar dunia ini terlukis di cermin hatinya, atau bagaimana akan pergi menuju Allah sedangkan dia masih terbelenggu syahwat nafsunya, atau bagaimana ia ingin masuk ke hadirat Allah sedang dia belum bersuci dari janabah kelalaian, atau bagaimana ia berharap mengerti rahasia-rahasia yang halus, padahal ia belum bertaubat dari kesalahannya.

BERKUMPULNYA dua hal yang berlawanan adalah mustahil. Misalnya, gerak dan diam, cahaya dan kegelapan, tidak mungkin disatukan. Dalam kata hikmah ini Ibnu Athaillah menyebutkan beberapa hal yang berlawanan yang tidak mungkin dikumpulkan.

Ibnu Athaillah heran; Bagaimana akan bersinar terang hati seseorang yang gambar dunia ini terlukis di cermin hatinya. Sebab, terangnya hati yang ditimbulkan oleh cahaya iman dan keyakinan berlawanan dengan kegelapan yang disebabkan condong kepada selain Allah.

Ibnu Athaillah juga heran; Bagaimana seseorang akan melakukan perjalanan menuju Allah sedangkan ia masih terbelenggu oleh hawa nafsunya. Ini tidak mungkin. Sebab, seseorang yang menuju Allah harus menyingkirkan segala rintangan nafsu dan harus bebas dari belenggu hawa nafsunya itu. Kalau ia masih menuruti nafsunya, maka ia tidak bisa naik ke atas, ia akan tetap berada di alam bawah bersama alam benda.

Cinta kepada Allah di hati tidak bisa berkumpul dengan mencintai selain Allah. Hati seseorang tidak bisa terbagi. Allah Ta’ala berfirman:

مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ

“Allah tidak menjadikan dua hati di dada seseorang.” (QS. Al-Ahzab: 4)

Imam Ghazali menyebutkan bahwa dunia dan akhirat itu bagaikan timur dan barat. Seseorang yang menuju akhirat maka semakin jauh ia dari dunia. Begitupula, orang yang sangat cinta kepada dunia, maka semakin berkurang cintanya kepada Allah.

Seyogyanya di hati seseorang tidak ada sisa sedikit pun kecintaan terhadap dunia. Tetapi ini sulit dilakukan. Hanya orang tertentulah yang memiliki keistimewaan ini. Namun bagi mereka yang belum sampai kepada tingkatan ini, maka paling sedikit, kecintaannya kepada Allah harus lebih banyak dan lebih kuat dari kecintaannya terhadap dunia. Yang menang di hatinya adalah cintanya kepada Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman lebih sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)

Selanjutnya Ibnu Athaillah merasa heran, Bagaimana seseorang akan masuk ke hadirat Allah sedang dia belum bersuci dari janabah kelalaian. Hadirat Allah adalah hadirat yang suci. Orang yang masuk ke hadirat Allah haruslah orang yang suci. Ini berlawanan dengan orang yang masih belum bersuci dari janabah kelalaian. Artinya, seseorang yang belum bisa meninggalkan kelalaian, masih berlumuran dosa, masih kotor dengan noda-noda dunia, mana mungkin ia bisa masuk ke hadirat Allah yang suci. Ini mustahil.

Ibnu Athaillah juga heran dengan orang yang berharap mengerti rahasia-rahasia yang halus padahal ia belum bertaubat dari kesalahannya.

Rahasia-rahasia yang halus adalah bimbingan khusus dari Allah, atau ilmu yang didapat langsung dari Allah tanpa belajar (Ilmu ladunni). Ada seseorang ingin mendapatkan ilmu ladunni tetapi ia masih terus menerus melakukan maksiat dan berbuat kesalahan. Ini mustahil. Sangat berlawanan antara ilmu ladunni dengan maksiat, karena ilmu ladunni datang disebabkan ketakwaan kepada Allah.

Allah memberi isyarat hal ini dalam ayat:

وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ

Dan bertakwalah kalian kepada Allah niscaya kalian akan diajar oleh Allah.” (QS. Al-Baqarah: 282)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا

“Wahai orang-orang yang beriman apabila kalian bertakwa kepada Allah maka Allah akan menjadikan untuk kalian furqan (Pemisah).” (QS. Al-Anfal: 29)

 وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا  وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Siapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah memberinya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak ia duga.” (QS. At-Thalaq: 2-3)

Artinya, Orang yang bertakwa akan diberi jalan keluar dari segala kesulitan (baik ekonomi atau ilmu) dan kesamaran. Segalanya tampak mudah dan terang baginya. Dan Allah memberinya rezeki yang tak terduga, baik rezeki nyata atau maknawi. Diberi rezeki maknawi dari jalan yang tidak terduga berarti ia diberi ilmu tanpa belajar dan diberi kepintaran walau belum berpengalaman. Dengan bahasa yang lebih mudah, ia diberi ilmu ladunni. Ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana sebagiannya disebut di atas, menjelaskan bahwa takwa adalah kunci hidayah dan kasyf dari Allah.

Juga disebut dalam hadits:

مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَّثَهُ اللَّهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

“Siapa yang mengamalkan apa yang diketahuinya, maka Allah mewariskan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya.” (HR. Abu Nuaim)

Yahya bin Ma’in berkata:

Ahmad bin Hanbal bertemu dengan Ahmad bin Abil Hawari. Ahmad bin Hanbal berkata kepada Ahmad bin Abil Hawari: “Ceritakan kepadaku ucapan yang engkau dengar dari gurumu, Abi Sulaiman Ad-Darani.”

Ahmad bin Abil Hawari berkata, “Hai Ahmad bin Hanbal, Katakan Subhanallah tanpa kekaguman.” Ahmad bin Hanbal melakukannya. Ia mengucapkan Subhanallah dengan memanjangkan suaranya dan tanpa kekaguman.

Ahmad bin Abil Hawari berkata,”Aku pernah mendengar Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Apabila jiwa itu sudah benar-benar berniat untuk meninggalkan dosa maka ia berkeliling di alam malakut. Kemudian ia kembali dengan membawa hikmah-hikmah (baru) yang indah tanpa diajar oleh seorang alim.”

Ahmad bin Hanbal berdiri dan duduk sebanyak tiga kali.

“Aku tidak pernah mendengar dalam Islam ungkapan yang lebih mengagumkan diriku dari ini,” ucapnya. Kemudian ia menyebut hadits Rasulullah yang berbunyi:

مَنْ عَمِلَ بِمَا يَعْلَمُ وَرَّثَهُ اللَّهُ مَا لَمْ يَعْلَمْ

“Barangsiapa mengamalkan ilmu yang ia ketahui maka Allah akan memberinya ilmu yang tidak ia ketahui.”

Lalu Ahmad bin Hanbal berkata kepada Ahmad bin Abil Hawari, “Wahai Ahmad, kamu dan gurumu benar.”

Dikutip dari Buku al Hikam Mutiara Hikmah Kehidupan asuhan Habib Ahmad bin Husen Assegaf.

Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya

Dua Macam Berpikir, Karena Iman ...
الْفِكْرَةُ فِكْرَتَانِ فِكْرَةُ تَصْدِيْقٍ وَإِيْمَانٍ وَفِكْ...
Berpikir Adalah Pelita Hati
الْفِكْرَةُ سِرَاجُ الْقَلْبِ فَإِذَا ذَهَبَتْ فَلَا إِضَاءَةَ...
Pikirkan Makhluk-Nya
الْفِكْرَةُ سَيْرُ الْقَلْبِ فِى مَيَادِيْنِ الْأَغْيَارِ Berp...
Sangat terhina, waktu kosong tap...
الْخِذْلَانُ كُلَّ الْخِذْلَانِ اَنْ تَتَفَرَّغَ مِنَ الشَّوَا...
Orang Yang Diberkati Umurnya
مَنْ بُوْرِكَ لَهُ فِى عُمْرِهِ اَدْرَكَ فِى يَسِيْرٍ مِنَ الز...
Ada kalanya, Umur Panjang Tapi K...
رُبَّ عُمْرٍ اِتَّسَعَتْ امَادُهُ وَقَلَّتْ اَمْدَادُهُ وَرُبّ...

Anggota DINULQOYIM