Jangan Berhenti, Perjalanan Masih Jauh

 مَا أَرَادَتْ هِمَّةُ سَالِكٍ أَنْ تَقِفَ عِنْدَ مَا كُشِفَ لَهَا إِلَّا وَنَادَتْهُ هَوَاتِفُ الْحَقِيْقَةِ الَّذِيْ تَطْلُبُ أَمَامَكَ وَلَا تَبَرَّجَتْ لَهُ ظَوَاهِرُ الْمُكَوَّنَاتِ إِلَّا وَنَادَتْهُ حَقَائِقُهَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ

Tiada berkehendak semangat seorang yang berjalan menuju Allah untuk berhenti ketika terbuka padanya sebagian dari gaib melainkan diperingatkan oleh hakikat, ”bukan itu tujuanmu, teruskanlah berjalan.”

Demikian pula tidak tampak kepadanya keindahan alam melainkan dipanggil oleh hakikatnya, ”Sesungguhnya kami ini semata-mata sebagai ujian maka janganlah kamu tertipu sehingga menjadi kafir. “

 

DALAM kata hikmah ini, Ibnu Athaillah menyebut adab yang keempat dalam masuk ke Hadrah, yaitu lepas dari alam dunia dan naik dari maqam ke maqam yang lebih tinggi.

Seseorang yang menempuh jalan menuju Allah membutuhkan waktu yang lama dan perjalanan yang panjang. Ia harus memiliki bekal. Di samping ibadah yang teratur dari orang yang bersuluk itu ada keruhanian atau sirr. Sebab, banyak ujian dan cobaan dalam perjalanannya.

Di antara cobaan-cobaan itu adalah tampaknya keindahan alam dunia kepadanya. Datang kepadanya kekayaan, kemewahan, harta melimpah, wanita dan tahta. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam pernah dirayu gunung menjadi emas, dan rayuan itu ditolaknya. Dalam Mikrajnya Nabi juga mendapatkan banyak godaan, tetapi tidak dihiraukannya.

Di tengah perjalanannya juga akan timbul kekeramatan dan muncul kesaktian seperti bisa berjalan di atas air, bisa terbang, mendatangkan makanan, timbul cahaya, tersingkap rahasia gaib atau keanehan-keanehan yang lainnya.

Di saat godaan-godaan itu muncul ia diperingatkan oleh suara hatinya yang halus, “Hai orang yang berjalan menuju Allah, bukan itu tujuanmu. Teruslah engkau berjalan. Tutuplah matamu. Jangan menoleh kepada godaan-godaan itu. Perjalananmu masih panjang. Engkau belum sampai.”

Alangkah indahnya apa yang dikatakan At-Tusturi mengenai masalah ini. Ia berkata:

وَلَا تَلْتَفِتْ فِي السَّيْرِ غَيْرًا فَكُلُّ مَا          سـِوَى اللهِ غَـيـْرٌ وَاتَّـخِـذْ ذِكْـرَهُ حِـصْـنًا

وَكُلُّ   مَقَامٍ  لَا تَـقُـمْ   فِـيهِ  إِنَّهُ              حِجَابٌ  فَجِدِّ   السَّيْرَ   وَاسْتَنْجِدِ  الْعَوْنَا

Maka janganlah menoleh dalam perjalanmu kepada selain Allah,

Sebab apa yang selain Allah adalah merusak.

Maka jadikanlah dzikir kepada Allah sebagai benteng pertahanan.

Setiap maqam janganlah kau berdiam di situ,

Sebab segala sesuatu selain Allah akan menghambat perjalananmu.

Maka cepatkan jalanmu dan mintalah bantuan dari Allah.

 

Terkadang seseorang merasa sudah sampai karena sudah mendapatkan karomah. Padahal, bisa saja karomah itu timbul dari seseorang yang belum sempurna istiqamahnya.

Derajat-derajat dan tingkatan makrifat itu tidak ada nihayahnya. Maka Teruslah naik. Jangan sampai menoleh. Janganlah merasa sudah sampai. Kalau menoleh, maka dia turun derajat atau bahkan bisa dicabut kewaliannya oleh Allah. Sebaliknya, seseorang yang tidak merasa telah sampai kepada Allah akan terus naik derajat dan tanpa terasa ia sudah berada di puncaknya.

Ada nasehat Abul Hasan As-Syadzili:

“Kalau engkau ingin mencapai derajat kewalian maka abaikan seluruh manusia kecuali orang yang menunjukkan engkau jalan menuju Allah dengan isyarat (teori) yang tepat dan perbuatan yang tidak menyalahi al-Kitab dan Sunnah. Dan berpalinglah dari dunia keseluruhannya. Jangan berpaling dari dunia untuk mendapatkan bagian yang lain. Tetapi jadilah engkau hamba Allah yang diperintah mengabaikan musuhnya. Kalau engkau bisa melakukan dua hal ini, mengabaikan manusia dan zuhud terhadap dunia, maka tetaplah engkau bersama Allah dengan muraqabah, menetapi taubat, memperbanyak istighfar, dan tunduk kepada hukum Allah dengan istiqamah.”

Seharusnya engkau benar-benar merasa menjadi hamba Allah dalam segala apa yang engkau lakukan atau yang engkau tinggalkan. Janganlah sampai merasa bahwa di alam ini ada kekuasaan selain Allah atau merasa bisa berbuat sesuatu tanpa bantuan Allah. Orang yang memiliki perasaan seperti itu menunjukkan bahwa orang itu belum sempurna kehambaannya kepada Allah.

Jadilah engkau hamba yang dimiliki yang tidak berkuasa dan tidak berdaya apa-apa. Kalau benar perasaanmu dan tetap istiqamah seperti itu, maka niscaya Allah akan membukakan kepadamu pintu rahasianya yang belum pernah didengar oleh seseorang. Artinya orang itu akan mendapat makrifat dan mencapai maqam ihsan.

Dikutip dari Buku al Hikam Mutiara Hikmah Kehidupan asuhan Habib Ahmad bin Husen Assegaf.

Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya

Dua Macam Berpikir, Karena Iman ...
الْفِكْرَةُ فِكْرَتَانِ فِكْرَةُ تَصْدِيْقٍ وَإِيْمَانٍ وَفِكْ...
Berpikir Adalah Pelita Hati
الْفِكْرَةُ سِرَاجُ الْقَلْبِ فَإِذَا ذَهَبَتْ فَلَا إِضَاءَةَ...
Pikirkan Makhluk-Nya
الْفِكْرَةُ سَيْرُ الْقَلْبِ فِى مَيَادِيْنِ الْأَغْيَارِ Berp...
Sangat terhina, waktu kosong tap...
الْخِذْلَانُ كُلَّ الْخِذْلَانِ اَنْ تَتَفَرَّغَ مِنَ الشَّوَا...
Orang Yang Diberkati Umurnya
مَنْ بُوْرِكَ لَهُ فِى عُمْرِهِ اَدْرَكَ فِى يَسِيْرٍ مِنَ الز...
Ada kalanya, Umur Panjang Tapi K...
رُبَّ عُمْرٍ اِتَّسَعَتْ امَادُهُ وَقَلَّتْ اَمْدَادُهُ وَرُبّ...

Anggota DINULQOYIM