AKAD HUDNAH

1. Definisi, Landasan Hukum Pensyariatan dan Pihak yang Mengadakan Akad Hudnah
Hudnah, muwad’ah, mu’ahadah, musalamah dan muhadanah mempunyai arti yang sama. Menurut bahasa adalah mushalahah (berdamai). Sedangkan menurut syara’ adalah berdamai dengan orang-orang kafir musuh dengan menghentikan peperangan hingga masa yang telah ditentukan disertai sejumlah uang pengganti atau tanpa pengganti, baik di lingkungan mereka ada seseorang yang tetap memilih agamanya dan seseorang yang tidak tetap memilih agamanya.
Akad hudnah diberlakukan dengan para musuh yang berdomisili di berbagai negara yang mereka kuasai, bukan saat mereka mengambil alih negara kita secara paksa, seperti tindakan yang dilakukan bangsa Yahudi di Palestina. Pada saat terjadi pengambilalihan secara paksa, maka tidak dibenarkan membiarkan para pengghashab itu tetap melakukan pengghashaban, bahkan menurut syara’ wajib mengusir mereka dari negara yang dighashab tersebut.
Akad hudnah yang diadakan dengan musuh yang berada di negaranya, maka boleh memutuskan mengadakan akad hudnah bersama mereka selama imam atau yang mewakili memandang dapat membawa kemaslahatan. Karena Allah SWT berfirman, “(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrikin yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan mereka). Maka berjalanlah kalian di bumi selama empat bulan dan ketahuilah bahwa kalian tidak dapat melemahkan Allah, dan sesungguhnya Allah menghinakan orang-orang kafir” (QS. at-Taubah [9]: 1.2)
Firman Allah SWT, “ Tetap, jika mereka condong kepada perdamaian, maka terimalah dan bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui,” (QS. al-Anfal [8]: 61).
Nabi saw pernah berdamai dengan bangsa Quraisy pada saat perjanjian Hudaibiyah selama sepuluh tahun, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Syaikhani, dan perdamaian Shafwan bin Umayah selama empat bulan pada saat penaklukkan kota Mekah.
2. Syarat-Syarat Hudnah
Hudnah hukumnya jaiz bukan wajib dengan empat persyaratan.
Pertama, para pihak yang mengadakan akad hudnah. Akad hudnah untuk kawasan atau distrik yang sangat luas menjadi hak prerogratif imam atau yang mewakili, bukan hak orang-orang kafir secara mutlak. Sebab, di dalamnya mengandung sesuatu yang mengkhawatirkan, sedangkan imam atau yang mewakili ialah orang yang sudah teruji mengatasi berbagai persoalan yang berat, dan dia lebih mengerti tentang berbagai kemaslahatan daripada setiap individu pasukan yang memerangi musuh, dan lebih mampu mengatur dibandingkan mereka. Imam para pemberontak tidak dapat menggantikan posisi imam hudnah dalam mengadakan akad itu.
Gubernur sebuah kawasan diperbolehkan mengadakan akad hudnah dengan sebuah negara atau lebih, meskipun tanpa seizin imam. Namun, Imam Haramain menjelaskan harus mempertimbangkan izin dari imam. Inilah pendapat yang jelas.
Kedua, adanya kemaslahatan. Akad hudnah diadakan untuk memperoleh kemaslahatan, tidak cukup hanya meniadakan kerusakan, seperti halnya dalam akad jizyah. Sebab, di dalam perjanjian dengan orang-orang non muslim menjadi terlindunginya tempat-tempat tertentu tanpa mendatangkan kemaslahatan. Sedangkan dalam akad hudnah sebaiknya dapat mendatangkan kemaslahatan secara utuh karena Allah SWT berfirman, “Maka janganlah kalian lemah dan mengajak damai karena kalianlah yang lebih unggul …, ” (QS. Muhammad [47]: 35).
Di antara contoh-contoh kemaslahatan ialah kita merintanginya agar mereka lemah hingga meminimalisir jumlah pasukan dan berbagai persiapan pendukung perang, atau berharap mereka dapat masuk Islam, menyerahkan jizyah, akad dzimmah atau tindakan lain yang semacam itu, seperti keperluan imam supaya mereka dapat membantu imam mengalahkan selain mereka. Karena Nabi mengadakan perdamaian dengan Shafwan bin Umayah selama empat bulan pada tahun penaklukkan kota Mekah. Padahal jelas beliau saw dapat mengalahkannya, namun hal itu beliau lakukan karena berharap dia dapat masuk Islam, lalu dia masuk Islam sebelum akad hudnah habis masanya.

Ketiga, masa akad hudnah harus dibatasi waktu. Jika tidak membuat kita dianggap lemah, dan imam melihat bahwa dalam akad hudnah dapat mendatangkan kemaslahatan, akad hudnah itu hukumnya jaiz selama empat bulan bukan setahun, meskipun tanpa ada uang pengganti, juga boleh kurang dari empat bulan, sesuai ayat yang telah dikemukakan, “Maka berjalanlah kalian di bumi selama empat bulan …,” (QS. at-Taubah [9]: 2). Sebab, Nabi saw pernah mengadakan perdamaian dengan Shafwan seperti keterangan yang telah dipaparkan.
Akad hudnah tidak boleh diadakan sampai setahun lamanya karena setahun itu merupakan masa yang di dalamnya sudah ada kewajiban membayar jizyah. Dengan demikian, mereka tidak boleh dibiarkan dalam masa setahun tanpa dipungut jizyah. Dan karena setahun itu melebihi masa perjalanan (perang), padahal Allah SWT telah berfirman, “… maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja kalian temui mereka …,” (QS. at-Taubah [9]: 5), perintah itu dilakukan selama setahun, kecuali sesuatu yang ditakhshis dengan dalil lain yaitu selama empat bulan.
Ketentuan akad hudnah dibatasi masa semacam ini ketika berkenaan dengan diri manusia. Sedang akad terhadap harta benda mereka boleh diadakan selamanya. Di antara harta benda mereka ialah diyat, dan tidak memungut harta benda melebihi sepersepuluh. Namun demikian, apabila masa akad hudnah telah habis, sementara kebutuhan akan hal itu masih diperlukan, maka akad hudnah harus diperbarui (memperbarui masa hudnah).
Ketika imam mengadakan perjanjian damai dengan mereka sampai masa tertentu, kemudian dalam kurun waktu tersebut kita menjadi kuat sebelum habisnya masa hudnah, maka masa hudnah dengan mereka telah selesai karena mengikuti (tujuan diadakannya) akad tersebut.
Sementara itu, apabila kita berada dalam situasi yang lemah, maka hudnah hanya diperbolehkan sampai sepuluh tahun. Lalu masa yang kurang dari sepuluh tahun dengan memandang hajat kebutuhan, sehingga masa hudnah dilarang melebihi sepuluh tahun, karena masa sepuluh tahun ini merupakan masa maksimal mengadakan hudnah. Tidak diperbolehkan memungut sepersepuluh harta kecuali memang hal itu sangat diperlukan, “Nabi pernah mengadakan akad hudnah dengan bangsa Quraisy di Hudaibiyah sampai masa sepuluh tahun ini hal itu diadakan sebelum lslam kuat.
Ketika imam atau yang mewakili menambah masa hudnah melebihi kadar yang diperbolehkan dalam ketentuan akad hudnah dengan memandang hajat (empat bulan ketika kita dalam situasi kuat, dan sepuluh tahun ketika kita dalam situasi lemah), maka untuk kadar yang diperbolehkan hukumnya sah dan yang batal hanyalah masa tambahan yang melebihi kadar yang diperbolehkan karena dia telah menggabungkan antara sesuatu yang boleh disepakati dalam akad dan sesuatu yang tidak boleh dalam satu akad.
Pengucapan perjanjian tanpa menyebutkan masa di dalamnya dapat membatalkan akad hudnah karena menuntut akad hudnah diadakan untuk selama-lamanya. Hal itu tidak diperkenankan karena tujuan akad hudnah semacam ini bertentangan dengan kemaslahatan.
Keempat, akad hudnah bersih dari persyaratan yang batal, menurut pendapat yang shahih yang telah dinash. Misalnya imam atau yang mewakili berjanji agar menolak membebaskan para tawanan perang kita dari mereka, membiarkan harta kaum muslim dimanfaatkan mereka, dia mengadakan perjanjian dengan setiap orang dari mereka berupa akad dzimmah kurang dari 1 dinar, dengan menyerahkan sejumlah harta kepada mereka tanpa ada darurat untuk menyerahkannya. Atau syarat agar mereka menetap di Hijaz, memasuki Tanah Haram, membiarkan diri mereka secara terang-terangan minum khamr di negara muslim, atau sejenis persyaratan yang batal lainnya, sesuai dengan ayat yang telah lewat, “Janganlah kalian lemah dan mengajak damai karena kalianlah yang lebih unggul …,” (QS. Muhammad [47]: 35). Dan di dalam persyaratan itu menyimpan penghinaan atas Islam yang harus dijauhi.
Apabila situasi darurat mendorong dilakukannya penyerahan harta maka tindakan itu hukumnya jaiz seperti menebus para tawanan perang, (mereka) mengepung kaum muslim dan takut kaum muslim menjadi binasa. Secara faktual, akad dalam situasi semacam ini hukumnya batal, dan mereka tidak dapat memiliki harta yang diberikan kepada mereka. Sebab, mereka mengambilnya dengan cara yang tidak dapat dibenarkan.
Akad hudnah hukumnya sah dengan persyaratan bahwa imam akan membatalkan akad hudnah itu kapan saja dia menghendaki. Sesuai dengan hadits al-Bukhari, bahwasannya Nabi saw pernah mengadakan perjanjian damai dengan orang Yahudi Khaibar. Beliau bersabda, “Aku menetapkan kalian (dalam perjanjian ini) selama Allah menetapkan kalian.”
Namun, ungkapan semacam ini sekarang tidak diperbolehkan. Sebab, Nabi saw mengetahui sesuatu yang berada di sisi Allah SWT dengan perantara wahyu, berbeda dengan orang selain beliau.
3. Tuntutan Akad Hudnah
Ketika akad hudnah dihukumi sah, maka diwajibkan atas pihak yang mengadakan akad hudnah dan orang-orang setelahnya yang berstatus sebagai imam menjaga diri mereka dan melindungi dari sesuatu yang menyakitkan sampai habisnya masa hudnah, untuk memenuhi janji dan mengikuti firman Allah SWT, “… dan penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta pertanggunganjawabannya,” (QS. al-lsra ‘ [17]: 34). Atau mereka membatalkan akad hudnah dengan ungkapan yang tegas dari mereka, atau mereka menyerang kaum muslim tanpa alasan yang jelas, atau mengirimkan surat tertulis kepada orang-orang kafir musuh dengan mengungkapkan kekurangan kaum muslim, atau dengan membunuh seorang muslim.
Kita tidak harus melindungi dan memediasi kafir musuh. Karena hudnah bertujuan memberikan perlindungan, bukan menjaga, berbeda dengan akad dzimmah.
4. Pembatalan Akad Hudnah
Jika akad hudnah batal, sementara kaum kafir berada di negaranya, maka diperbolehkan membunuh mereka secara diam-diam. Allah SWT berfirman, “… yang datang pada malam hari ketika mereka sedang tidur, ” (QS. al A’raf [7]: 97). Baik itu mereka mengetahui bahwasannya perbuatan mereka itu merusak akad hudnah atau tidak karena Allah SWT berfirman, “Jika mereka melanggar sumpah setelah ada perjanjian, dan mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin kafir itu. Sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, mudah-mudahan mereka berhenti,” (QS. at-Taubah [ 9]: 12).
Sebab, status kaum kafir ketika terjadi situasi semacam ini seperti situasi di mana mereka belum mengadakan akad hudnah. Jadi, jika mereka merusak janji mereka dengan menyerang, menolong musuh, membunuh seorang muslim, atau mengambil sejumlah harta, akad hudnah menjadi batal. Sebab, Allah SWT berfirman, “… maka mereka berlaku jujur terhadap kalian, hendaklah kalian berlaku jujur (pula) terhadap mereka. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang bertakwa,” (QS. at-Taubah [9]: 7). Dengan demikian, firman Allah SWT itu menunjukkan bahwasannya jika mereka tidak berlaku baik terhadap kaum muslim, maka kaum muslim tidak perlu berlaku baik terhadap mereka.
Sedangkan jika kaum kafir berada di negara kaum muslim maka tidak boleh memerangi mereka, bahkan kaum muslim harus mengantarkan mereka ke tempat yang aman.
Pembatalan akad hudnah tidak perlu menunggu keputusan hukum dari imam untuk membatalkannya. Sebab, hukum itu dikeluarkan dalam memastikan perkara yang masih samar, padahal tindakan yang mereka lakukan tidak mengarah ke hal lain kecuali merusak perjanjian.
Andaikan sebagian dari mereka merusak akad hudnah dengan melakukan satu dari sekian banyak hal yang telah disampaikan, sementara sebagian yang lain tidak menyangkalnya dengan ucapan dan tidak (pula) dengan tindakan, misalnya mereka diam tanpa komentar, maka perjanjian damai dengan sebagian yang lain juga menjadi batal. Sebab, sikap diam mereka membuktikan (bahwa mereka) sepakat dengan tindakan tersebut sehingga sikap itu merupakan bukti perusakan janji dari mereka.
Ketentuan ini berbeda dengan akad jizyah karena pembatalan akad jizyah oleh sebagian dari mereka tidak membatalkan akad jizyah secara keseluruhan. Sebab, akad jizyah sangat kuat, sementara akad hudnah sangat lemah.
Apabila sebagian yang lain menyangkalnya dengan cara memisahkan diri mereka dari orang-orang kafir yang merusak akad hudnah, atau sebagian orang-orang kafir yang menyangkal memberi tahu kepada imam tentang status mereka yang masih tetap memegang janji, maka perjanjian damai bagi mereka tidak menjadi batal, meskipun yang merusak janji ialah pemimpin mereka sendiri. Karena Allah SWT berfirman, “… Kami selamatkan orang-orang yang melarang orang berbuat jahat …, ” (QS. al-A’raf [7]: 165)
Apabila mereka hanya menyangkal tanpa memisahkan diri atau memberi tahu imam tentang statusnya itu, maka mereka semua ialah orang-orang yang merusak perjanjian damai, berbeda dengan akad dzimmah.
5. Menghentikan atau Merusak Perjanjian Damai
Andaikan imam takut orang yang mengajukan akad hudnah berkhianat dengan adanya tanda-tanda yang mengarah pada sesuatu yang ditakuti, tidak hanya berdasarkan dugaan belaka, maka dia boleh menghentikan perjanjian damai dengan mereka. Sebab, Allah SWT berfirman, “Jika engkau (Muhammad) khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berkhianat,” (QS. al-Anfal [8]: 58). Yakni orang-orang yang sama dalam mengetahui perusakan janji tersebut.
Imam harus memperingatkan mereka setelah perjanjian damai dihentikan. Imam wajib mengantarkan mereka ke tempat yang aman setelah mereka menunaikan segala kewajibannya, dan ini demi memenuhi janji dengan mereka.
Imam tidak boleh menghentikan akad dzimmah hanya berdasarkan kecurigaan ketika imam merasakan terjadinya pengkhianatan mereka, berbeda dengan akad hudnah.
Ada tiga perspektif yang membedakan antara dzimmah dengan hudnah.
Pertama, dalam akad dzimmah, posisi orang-orang kafir, sehingga diwajibkan memenuhi akad tersebut jika mereka meminta. Sementara dalam akad hudnah, posisi kita kuat, sehingga tidak diwajibkan memenuhi akad hudnah tersebut.
Kedua, orang kafir yang mengadakan akad dzimmah berada dalam genggaman pemerintahan Islam. Jika mereka terbukti melakukan pengkhianatan, maka imam mungkin masih bisa memperbaikinya. Berbeda dengan orang-orang kafir yang mengadakan akad hudnah.
Ketiga, akad dzimmah posisinya sangat kuat karena disepakati untuk selama-lamanya, dan karena akad dzimmah merupakan akad tukar-menukar.
6. Pertanggungjawaban Orang Kafir yang Mengadakan Akad Hudnah dan Akad Aman atas Perusakan Barang dan Tindak Pidana Lainnya
Orang kafir yang mengadakan akad hudnah atau akad aman yang melakukan perusakan harta benda yang merugikan seorang muslim wajib menanggung harta tersebut.
Apabila orang kafir membunuh seorang muslim, maka dia wajib dihukum qishas. Jika dia menuduh seorang muslim melakukan zina, maka dia wajib dikenakan hadd karena akad hudnah menuntut terciptanya keamanan bagi kaum muslimin yang berkenaan dengan jiwa, harta, dan kehormatan. Dengan demikian, mereka tetap terikat untuk melaksanakan kewajiban yang berkenaan dengan hal tersebut.
Orang kafir yang meminum khamr atau berzina tidak wajib dikenakan hadd, karena perbuatan itu merupakan hak Allah SWT. Hak-hak Allah SWT tidak wajib dilaksanakan akibat adanya akad hudnah.
Apabila orang kafir yang terikat akad hudnah atau akad aman mencuri harta orang muslim, maka sanksi hukum pencurian tidak harus ditegakkan kepadanya seperti halnya sanksi hukum akibat meminum khamr dan berzina.
Berdasarkan ketentuan tersebut, jika seorang kafir musuh memasuki negara Islam didasari dengan akad aman untuk kepentingan perniagaan atau menyampaikan surat, maka ketentuan akad aman ditetapkan terhadapnya berkenaan dengan jiwa dan harta bendanya. Status hukum dalam hal pertanggungjawaban atas jiwa dan harta, dan perkara yang mengharuskan adanya pertanggungjawaban dan sanksi hadd seperti ketentuan hukum bagi orang kafir yang terikat akad hudnah. Jadi, dalam hal pertanggungjawaban pun serupa dengannya sebagaimana ketentuan hukum yang telah dikemukakan penjelasannya.
7. Sebagian Persyaratan yang Batal
Dalam akad hudnah, tidak boleh menampakkan persyaratan yang merugikan kaum muslimin. Di antaranya ialah tidak boleh berjanji mengembalikan wanita muslimah yang datang dari lingkungan mereka (para musuh), meskipun dia memeluk Islam ketika berada di antara kita. Karena Allah SWT berfirman, “… jika kalian telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, janganlah kalian kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka) . Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka …,” (QS. al-Mumtahanah [60]: 10). Jadi, menurut pendapat yang ashah, jika persyaratan itu dikemukakan maka persyaratan dan akad tersebut hukumnya batal.
Apabila imam atau yang mewakili berjanji mengembalikan seseorang dari kalangan mereka yang datang kepada kita dengan status muslim, atau akad bersifat mutlak, misalnya dia tidak mengutarakan janji mengembalikan atau tidak, tiba-tiba seorang wanita datang dalam keadaan memeluk Islam, maka menurut pendapat yang azhar tidak diwajibkan menyerahkan mahar kepada suaminya. Sebab, tercerabutnya akad nikah akibat keIslamannya baik sebelum atau setelah disenggama, karena vagina bukanlah harta sehingga akad aman itu meliputi vagina tersebut.
Anak-anak dan orang gila yang telah baligh tidak boleh dikembalikan, baik dia laki-laki atau perempuan, mencari kedua orang tuanya yang kafir atau tidak, dan gangguan jiwa orang gila muncul setelah dia baligh, musyrik atau tidak. Sebab, kedua orang semacam ini dianggap lemah seperti halnya perempuan, dan tidak boleh mengadakan mediasi dengan janji mengembalikan keduanya.
Menurut pendapat al-madzhab, begitu juga tidak boleh mengembalikan orang merdeka yang tidak mempunyai keluarga, karena dia dianggap hina menurut mereka. Sementara seseorang yang mempunyai keluarga yang mencarinya, dia boleh dikembalikan kepadanya bukan kepada selain keluarganya. Nabi pernah mengembalikan Abu Jandal kepada ayahnya Suhail bin ‘Amr  karena keluarganya dapat melindungi dan menjaganya.
Tidak diperbolehkan mengembalikan orang merdeka kepada orang lain selain keluarganya, karena mereka berpotensi menyakitinya. Kecuali orang yang dicari mampu mengatasi orang yang mencarinya secara paksa dan melarikan diri darinya. Jika terjadi situasi semacam ini maka dia boleh diserahkan kepadanya. Atas dasar itulah Nabi saw terdorong menyerahkan Abu Bashir ketika dua orang lelaki datang mencarinya, lalu Abu Bashir membunuh salah seorang dari mereka di tengah perjalanan, dan membebaskan yang lainnya.
Orang yang dicari tidak wajib kembali kepada orang yang mencarinya, karena perjanjian damai tidak melibatkan dirinya. Oleh karena itu, Nabi saw tidak menyangkal penolakan dan tidak (pula) pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang dicari terhadap orang yang mencarinya, bahkan dia harus merahasiakan perbuatan yang dilakukannya. Andaikan hal itu wajib hukumnya, pasti Nabi memerintahkannya untuk kembali ke Mekah.
Orang yang dicari boleh membunuh orang yang mencarinya untuk melindungi jiwa dan agamanya, sesuai dengan kisah Abu Bashir.

Imam atau setiap individu yang muslim boleh menyindir orang yang dicari agar membunuh orang yang mencarinya. Sebab, darah salah seorang dari mereka seperti darah anjing, dan dia disindir agar membunuh ayahnya.
Kita tidak boleh terang-terangan memerintah orang yang dicari untuk membunuh orang yang mencarinya karena mereka berada dalam ikatan akad aman. Apabila imam atau yang mewakili mengajukan persyaratan agar mereka memulangkan seseorang dari golongan kita yang datang kepada mereka dalam keadaan murtad, laki-laki atau perempuan, maka mereka wajib memenuhi persyaratan tersebut karena mengikuti kesanggupan mereka. Dengan demikian, jika mereka menolak memulangkannya, maka mereka adalah orang-orang yang merusak janji karena telah menyalahi persyaratan tersebut.
Menurut pendapat yang azhar, boleh mengajukan persyaratan agar mereka tidak memulangkan seseorang, meskipun yang murtad ialah seorang perempuan. Sebab, Nabi saw pernah mengajukan persyaratan semacam itu dalam mengadakan akad hudnah dengan orang-orang Quraisy di mana beliau bersabda kepada Suhail bin ‘Amr ra, sungguh telah datang seorang utusan mereka, “Siapa saja yang datang kepadaku dari golongan kalian dalam keadaan muslim, maka aku akan memulangkannya, dan siapa saja yang datang kepada kalian dari golonganku, maka semoga Allah menjauhkan dari rahmat-Nya.” Namun demikian, mereka harus mengganti mahar wanita yang murtad.

Demikian penjelasan tentang Hudnah yang Kami kutip dari Buku al-Fiqhu asy-Syafi’iy al-Muyassar, karya Prof. Dr. Wahbah Zuhaili

Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya

Dua Macam Berpikir, Karena Iman ...
الْفِكْرَةُ فِكْرَتَانِ فِكْرَةُ تَصْدِيْقٍ وَإِيْمَانٍ وَفِكْ...
Berpikir Adalah Pelita Hati
الْفِكْرَةُ سِرَاجُ الْقَلْبِ فَإِذَا ذَهَبَتْ فَلَا إِضَاءَةَ...
Pikirkan Makhluk-Nya
الْفِكْرَةُ سَيْرُ الْقَلْبِ فِى مَيَادِيْنِ الْأَغْيَارِ Berp...
Sangat terhina, waktu kosong tap...
الْخِذْلَانُ كُلَّ الْخِذْلَانِ اَنْ تَتَفَرَّغَ مِنَ الشَّوَا...
Orang Yang Diberkati Umurnya
مَنْ بُوْرِكَ لَهُ فِى عُمْرِهِ اَدْرَكَ فِى يَسِيْرٍ مِنَ الز...
Ada kalanya, Umur Panjang Tapi K...
رُبَّ عُمْرٍ اِتَّسَعَتْ امَادُهُ وَقَلَّتْ اَمْدَادُهُ وَرُبّ...

Anggota DINULQOYIM